Jalanhijrah.com-Setelah HUT ke-77 RI berlalu, apa yang tersisa dari kita? Mungkin seseorang akan menjawab, bahwa lomba panjat pinang di sejumlah daerah masih terus berlangsung. Masyarakat, terutama generasi muda, yang bereuforia dengan lomba-lomba Agustus-an, boleh jadi masih sibuk. Tetapi setelah itu hendak ke mana? Apakah selesai begitu saja? Apakah pasca-HUT ke-77 RI tidak ada pelajaran yang bisa diambil atau titik tolak menuju perbaikan diri dan bangsa yang direncanakan?
Hari-hari ini, perlu disadari bersama, kondisi bangsa tidak terlalu aman. Banyak tantangan, banyak ancaman. Tantangannya adalah persatuan di tengah arus kuat radikalisme, sementara ancamannya adalah perpecahan dan konflik horizontal. Karena itu, tanpa pembenahan yang signifikan, tantangan dan ancaman tersebut akan semakin membesar. Bukankah sudah selaiknya pasca-HUT ke-77 RI ini kita semua berefleksi diri untuk jauh lebih baik daripada sebelumnya?
Pada upacara HUT ke-77 RI di Istana Merdeka kemarin, seluruh hadirin tampak khidmat dan bersatu tanpa sekat perbedaan apa pun. Berbagai baju adat dari seluruh Indonesia ada di sana. Keadaan tersebut benar-benar mencerminkan Indonesia yang semestinya: berbeda suku, ras, dan golongan, tetapi bersatu di bawah satu panji Merah Putih. Pluralisme terlihat jelas, dan tidak ada romansa perpecahan sama sekali—suatu pemandangan yang indah.
Maka untuk melestarikan pemandangan semacam itu, merajut persatuan dan melawan semua potensi perpecahan adalah wajib. Satu bangsa dan satu bahasa; Indonesia, dengan sistem pemerintahan yang telah menjadi konsensus para pendiri bangsa, yaitu demokrasi Pancasila. Spirit untuk mensupremasi hukum tertentu, misalnya klaim hukum Tuhan seperti yang digelorakan para transnasionalis-teroris, harus dikonter sekuat mungkin. Bangsa ini sudah mufakat akan hukumnya sendiri.
Apakah merajut persatuan dan mengonter perpecahan itu harus menyasar semua pihak? Iya, jelas. Apa pun agama dan suku kita, kita terikat oleh Indonesia. Musuh kita bersama adalah para pemecah-belah: yang ingin menyalahi konsensus, mengubah pakem, dan membangun sistem baru yang berasal dari luar, yaitu khilafah yang manipulatif. Merekalah musuh besar Indonesia, dan untuk menghadapinya kita bangsa Indonesia harus mereaktualisasi makna persatuan dan kesatuan.
Reaktualisasi Persatuan dan Kesatuan
Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri NU, pernah dimintai fatwa oleh Bung Karno tentang hukum perang membela tanah air. Sang Kiai kemudian memfatwakan bahwa berperang lawan penjajah dan membela tanah air adalah fardhu ‘ain, yakni kewajiban mutlak bagia setiap individu. Jika mati dalam keadaan berjuang membela negara, Kiai Hasyim menghukuminya sebagai mati syahid. Dan ia juga berfatwa bahwa membunuh musuh adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar. Kiai Hasyim dawuh,
“Mereka yang mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah, wajib hukumnya dibunuh.”
Bagaimana makna perkataan tersebut, yang dikenal sebagai Resolusi Jihad, dalam konteks hari ini?
Hari ini, Indonesia tidak lagi dijajah oleh Belanda, Jepang, apalagi Inggris. Juga tidak sedang dijajah Amerika Serikat, sekalipun negara kapitalis tersebut punya aset besar di Freeport Papua. Penjajah di negara ini ialah para transnasionalis yang ingin menegakkan Daulah dengan sistem khilafah—versi mereka. Penjajah jenis ini terdiri dari banyak kelompok, mulai dari turunan DI-TII, HTI, hingga Wahhabi. Mereka menjajah sistem negara, ingin merombaknya dengan yang baru.
Dalam konteks itu, persatuan dan kesatuan yang merupakan senjata terampuh dilakukan tidak hanya dengan menjalin rasa kebersamaan dan melengkapi satu sama lain, tidak hanya dengan menjalin rasa kemanusiaan, toleransi dan harmoni, juga tidak hanya dengan menjalin persahabatan, kekeluargaan, an sikap tolong-menolong dan mengembangkan nasionalisme. Persatuan dan kesatuan yang aktual ialah bersatu-padu mengonter perpecahan akibat propaganda transnasionalisme.
Persatuan dan kesatuan mempunyai nilai-nilai penting, yaitu mempertahankan wilayah NKRI, meningkatkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, menjunjung toleransi dan HAM, serta mengedepankan musyawarah dan keadilan. Sementara itu, radikalisme dan ekstremisme mengandung nilai yang sebaliknya, yakni merongrong NKRI, menggerus kebhinekaan, menyemarakkan intoleransi dan pelanggaran HAM, serta bertindak dengan semena-mena.
Di situlah reaktualisasi persatuan dan kesatuan menemukan perannya. Kalau persatuan kuat, provokasi segencar apa pun tidak akan berpengaruh. Dan secara otomatis, perpecahan juga terantisipasi. HUT ke-77 RI mesti jadi momen merefleksikan cita-cita tersebut.
HUT ke-77 RI sebagai Momen Refleksi
Siapa pun yang mendengar lagu kemerdekaan, hatinya akan tersentuh selama ia mencintai Indonesia. Berbeda misalnya dengan para aktivis HTI dan para maniak khilafah lainnya, yang memang anti-NKRI. Mereka tidak akan bereuforia, tidak akan menyanyikan lagu kebangsaan, apalagi sampai ikut upacara. Seharusnya fakta tersebut menggugah hati kita bahwa di depan kita, musuh NKRI sangat terang-benderang. Harusnya HUT ke-77 RI ini menjadi refleksi nasional.
HUT ke-77 RI mesti menjadi titik tolak kita untuk semakin beragama, semakin bersaudara, dan semakin Indonesia. Merajut persatuan dengan mereka yang mencintai Indonesia, dan melawan perpecahan yang digelorakan para musuh bangsa. Negara ini tidak kurang islami, maka islamisme sama sekali tidak relevan. Semua upaya untuk menggerus pilar-pilar kebangsaan harus dicegah, dan pelakunya—seperti dalam fatwa Resolusi Jihad—wajib dibunuh.
Jihad kita, bangsa Indonesia, adalah mempertahankan negara ini sekuat tenaga dari segala ancaman. Penjajah, berkedok apa pun, harus dilawan. Para Wahhabi ingin menjajah paham keislaman yang moderat di Indonesia, mereka harus kita lawan. Para aktivis khilafah ingin menjajah sistem pemerintahan di Indonesia, mereka juga wajib kita lawan. Tidak ada toleransi untuk para pemecah-belah. Pasca-HUT ke-77 RI, semangat melawan mereka harus maksimal dan sekeras-kerasnya.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Penulis