Merespons Tegas Gerakan Islam Transnasional di Media Sosial

Jalanhijrah.com – Media sosial adalah platform yang paling efektif untuk menyebarkan paham-paham ekstremis, dan mengkader calon-calon teroris. Indonesia ibarat pasar yang menjanjikan, beragam komoditas disajikan, termasuk dengan ajaran kekerasan. Penulis mengamati bahwa kelompok-kelompok Islam transnasional di Indonesia sudah berani menunjukkan batang hidungnya secara terang-terangan.

Seperti yang terlihat pada akun Instagram Brave Voyagers (@bravevoyagers) yang penulis yakini merupakan bagian dari kelompok Islam transnasional tersebut. Saat artikel ini ditulis, akun tersebut terpantau masih aktif dalam memprovokasi netizen agar bersama-sama mendengungkan kewajiban menerapkan sistem khilafah.

Selain itu, postingan dalam akun tersebut juga menyoal tentang sistem demokrasi yang dinilai gagal dalam menyejahterahkan rakyat. Akun bravevoyagers juga menganggap bahwa pembahasan mengenai radikalisme tidak penting, karena tidak terdapat di dalam al-Qur’an. Secara umum, isi postingan dalam akun tersebut merupakan seruan-seruan agar umat Islam terprovokasi agar mau menegakkan khilafah dan agar umat Islam membenci negaranya sendiri.

Akun instagram Bravevoyagers (@bravevoyagers) hanyalah satu contoh, dan masih banyak lagi akun-akun serupa. Fakta ini juga menunjukkan bahwa kelompok-kelompok Islam transnasional ini memang menyasar masyarakat awam yang kurang paham terkait persoalan agama. Hal itu dinilai lebih mudah dan tidak memerlukan banyak tenaga. Tapi benarkah Islam telah mengatur sistem pemerintahan secara formal?

Tafsir al-Qur’an di Medsos

Penulis beranggapan bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui dulu hal-hal yang melatarbelakangi munculnya gerakan Islam transnasional tersebut. Penulis mencatat bahwa pangkal dari gerakan tersebut adalah pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb yang kemudian dijadikan dasar pijakan oleh kelompok tersebut sebagai dalil untuk melakukan amaliyah.

Baca Juga  Doa Rasulullah Menyambut Datangnya Bulan Ramadhan

Sayyid Qutb (2008) dalam kitab “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” menjelaskan bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam, bahkan pertentangan ini bersifat mendasar dan memasuki bidang akidah apabila meyakini manusia sebagai sumber dan pembuat hukum bukan Allah. Tafsiran inilah yang digunakan sebagai dalil untuk mengharamkan demokrasi.

Selain penafsiran Sayyid Qutb, dalil lain yang digunakan adalah QS: Al-Ma’idah :44. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Nadirsyah Hosen dalam bukunya “Tafsir Qur’an di Medsos”. Gus Nadir (demikian sapaan akrabnya) menjelaskan bahwa kelompok Islam transnasional selalu menjadikan ayat al-Qur’an tentang kewajiban menegakkan hukum Allah sebagai dalil untuk tidak menaati segala produk hukum yang lahir dari sistem/hukum selain khilafah Islamiyyah.

Dalil itu juga yang digunakan untuk menuding Pancasila sebagai thogut, bukan hanya harus diingkari bahkan wajib untuk diperangi. Dengan hadirnya media sosial, pemahaman ekstrem seperti ini berseliweran di internet dan bisa menyasar siapa saja. Padahal, Islam sama sekali tidak mengajarkan kekerasan, dan tindakan itu murni akibat dari penafsiran Islam yang rigid, kaku, tekstualistik.

Bagi Gus Nadir bila al-Qur’an ditafsirkan secara kontekstual, bisa saja, ada hukum manusia (siyasah wadh’iyyah) bertentangan dengan hukum Allah secara nash, tetapi bersesuaian dengan roh nash. Penekanannya ada pada substansinya. Jadi memang perlu mengembangkan pendapat di masa kini, yakni makna kontekstual bimaa anzala Allah dalam QS: Al-Mai’sudah :44 tersebut.

Baca Juga  Politisasi Identitas dan Komitmen untuk Menyudahinya

Setelah menguraikan dua dalil yang melatarbelakangi tindakan-tindakan ekstremis dan teroris, maka dinilai perlu menghadirkan penafsiran dari Prof. Quraish Shihab sebagai jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan di atas.

Quraish Shihab (1996) menulis bahwa tidak secara eksplisit al-Qur’an memberikan perhatian seputar bentuk negara (Islam) kecuali sebatas spirit dan prinsip-prinsip dasar dalam bernegara (mengelola kekuasaan) seperti prinsip permusyawaratan (QS: 42:38) yang dilaksanakan dengan penuh amanah dan menjunjung tinggi rasa keadilan (QS: 4:58). Dengan kata lain, Islam membenarkan sistem pemerintahan apapun bentuknya selama sesuai dengan spirit dan prinsip-prinsip yang telah digariskan, termasuk sistem demokrasi.

Strategi Deradikalisasi di Medsos

Jika Indonesia tidak ingin seperti negara-negara Timur Tengah yang telah luluh lantah akibat tindakan terorisme, maka diperlukan keseriusan dalam menangkal gerakan radikalisme ini, terutama di media sosial. Kendati pun pemerintah telah membuat satuan khusus untuk menangani kelompok Islam transnasional ini, masyarakat juga harus mengambil peran dalam mengawal keutuhan NKRI, seperti yang telah diimplementasikan oleh Nahdlatul Ulama.

Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam merespons gerakan radikalisme ada dua upaya, yakni dengan pendekatan lunak (soft power) dan pendekatan keras (hard power), dalam pendekatan soft power NU banyak melakukan dakwah kultural (pribumisasi Islam), kampanye di media sosial dengan menggunakan jaringan Cyber Force (NU Cyber Troop), melakukan diplomasi ke berbagai aktor baik itu dalam cakupan nasional dan internasional.

Baca Juga  Menguak Kebenaran dan Keadilan Palsu Para Pengasong Khilafah

Sedangkan pendekatan hard power, Nahdlatul Ulama melalui badan otonomnya Gerakan Pemuda Ansor atau sering dikenal dengan GP Ansor telah berkomitmen dalam mengawal eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), yaitu melawan setiap kelompok radikal dan anti-Pancasila yang berpotensi mengganggu kebinekaan bangsa.

Konsep deradikalisasi yang diimplementasikan Nahdlatul Ulama dilakukan dengan cara-cara yang beradab, persuasif, dan dengan mengedepankan pendekatan humanis dalam membangun dialog di kalangan internal masyarakat Islam. Misalnya, melalui gerakan dakwah para ulama dan kiai NU, melalui jejaring pesantren, melalui kajian-kajian ilmiah seperti bahtsul masail, media dakwah online NU, serta dengan membentengi lembaga pendidikan NU berbasis Aswaja (Ahlussunah wal Jamaah).

Penulis: Rezza Alviansyah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Founder Porsi. Senang membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya dimuat di beberapa media massa. Kini menetap di Ciledug, Tangerang.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *