Membela Perempuan: Pemaksaan Jilbab dan Urgensi Sterilisasi Intoleransi di Sekolah

Jalanhijrah.com- Suatu hari, seorang bertanya mengenai bagaimana kebiasaan membaca bisa terawat dalam keluarga saya. Pertanyaan macam itu memang bukan kali pertama saya dapatkan. Kapan hari pernah seseorang yang lain menanyakan hal serupa, kendati dengan kalimat yang berbeda.

Salah seorang dari mereka bahkan pernah mengomentari unggahan tangkapan layar percakapan saya dengan adik saya ketika ia memberitahu kalau ayah saya ingin terlebih dahulu membaca novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan; seorang itu berkata, “Pantas anaknya begini juga.” Sekilas, barangkali kalimat itu tak memberikan penjelasan apa pun secara jelas.

Namun, teman saya itu jelas merujuk ke figur diri saya yang dikenal oleh mereka sebagai kutu buku, dan saat mendapati ayah saya yang menunjukkan kebiasaan serupa, komentar itu datang. Ketidakheranannya itu pun sejalan dengan satu kesan yang sering saya dapati, bahwa kebiasaan membaca dalam keluarga saya cukup terawat. Dan ini mengantarkan pada pertanyaan lain dari seorang teman yang lain tadi, bagaimana caranya?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita simak sedikit cerita saya. Sebetulnya, keluarga saya tidak datang dari keluarga berpendidikan tinggi, sebab ayah dan ibu saya hanyalah tamatan sekolah dasar. Bahkan, ayah saya sebenarnya tidak terhitung lulus sekolah mengingat di usia remajanya yang penuh api kebebasan, ditambah perlakuan gurunya yang sewenang-wenang, bersama seorang kawannya ia bersengkongkol untuk menimpuk sang guru dengan batu bata.

Tragedi itu pun betulan terjadi. Darah bercucuran dari kepala guru itu, tentu saja. Ayah dan temannya itu panik, maka mereka kabur dan tak kembali lagi. Kala itu, ayah saya langsung pergi ke pulau Jawa, dan baru kembali bertahun-tahun kemudian.

Tampaknya, sejak itu citra pemuda yang bebas mengembara melekat dalam diri ayah saya. Kehidupannya tidak menetap di satu tempat saja, tidak hanya di kampung halamannya di Lampung. Tapi agaknya, di kampung halamannya inilah kebiasaan membaca itu mulai tumbuh.

Ayah saya, seperti remaja angkatan tahun 80-90-an lainnya, begitu akrab dengan kisah-kisah silat dan bacaan picisan yang ramai beredar kala itu. Favoritnya adalah seri Wiro Sableng garapan penulis Bastian Tito. Seluruh seri itu ia lahap dengan duduk berjam-jam di satu toko buku di Bambukuning, Tanjung Karang.

Baca Juga  RKUHP, Neo-Otoritarianisme, dan Isu Khilafah

Saking lahapnya, ia pernah berseloroh, “Bapak orang pertama yang baca edisi paling baru dari cerita itu ketika bukunya datang di toko.” Lalu ia memungkasi bahwa sebelumnya, ia selalu berpesan kepada penjaga toko buku itu untuk mengabari kalau ada edisi Wiro yang baru sampai. “Simpan dulu, jangankan kasih siapa-siapa,” begitu ia kira-kira berpesan.

Ayah jelas menjadi anomali kala itu. Sebab, pembaca lain yang sering kedapatan di toko itu merupakan anak-anak SMA dan SMP—masih memakai baju seragam putih mereka—yang membolos demi menjemput petualangan seru dari kisah-kisah yang ingin mereka selami. Ayah saya berbeda dengan mereka, mengingat perbedaan tingkat dan latar belakang dalam hal pendidikan. Tapi mereka memiliki satu kesamaan: kedatangan mereka demi melahap bacaan, dan itu menjadi sesuatu yang terwariskan hingga bertahun-tahun kemudian.

Cerita sedikit berbeda datang dari ibu saya. Kendati tidak banyak kisah yang saya dapati darinya, tapi suatu kali ia pernah bercerita kalau ia pun tidak benar-benar asing dengan bacaan. Semasa gadisnya dulu, ibu sudah mengakrabi majalah-majalah yang ramai beredar kisaran tahun 80-90-an itu.

Ia mengenali sejumlah majalah seperti Gadis, Anita Cemerlang, Femina, dan lain-lain. Kendati begitu, ibu tak selahap ayah dalam hal membaca buku, ibu melahap sejumlah bacaan itu persis sebagai rutinitas pengisi waktu lenggang saja.

Walau sama-sama mengkrabi bacaan sejak remaja, itu tak lantas terbawa manakala mereka berkeluarga. Setidaknya, secara langsung. Ayah sebetulnya sedikit sekali menyuplai bacaan untuk anaknya, satu-satunya buku yang pernah ia beli untuk kami—saya punya adik dua yang sama-sama gemar membaca, adalah dua novel Tere Liye berjudul “Burlian” dan “Amelia”.

Kedua novel itu ia beli ketika saya masih duduk di kelas menengah atas, dan setelahnya, ia sama sekali tidak menyuplai dengan buku bacaan apa pun. Tapi, bukan berarti kami jadi asing sama sekali dengan bacaan. Dan inilah saatnya kembali ke pertanyaan awal:

Baca Juga  Teror Natal: Hantu Akhir Tahun bagi Masyarakat Indonesia

Bagaimana menciptkan lingkungan keluarga yang ramah dengan bacaan? Bagaimana membuat kebiasaan membaca terawat dalam keluarga kita? Waupun, katakannlah, sebetulnya kita tidak datang dari ayah-ibu yang sama-sama gemar membaca? Dari kisah di atas, setidaknya ada beberapa poin yang bisa saya garisbawahi.

Pertama, keterlibatan ayah-ibu dalam kegemaran saya membaca sebenarnya tidak secara langsung. Saya membaca novel kali pertama kala duduk di bangku sekolah menengah pertama, waktu itu saya membaca novel The Da Vinci Code-nya Dan Brown dan merasa jadi siswa paling bodoh lantaran tidak ngeh terkait kode, istilah, dan konspirasi apalah itu namanya.

Dari situ, orang yang menyodori bacaan sebetulnya teman saya, seorang gadis yang sampai sekarang jadi langganan orang yang saya pinjami koleksi buku-bukunya. Seingatnya saya, kala itu ayah hanya berkisah soal kegemarannya dulu, soal ia yang berhari-hari menyelami novel Bastian Tito.

Kala itu, ia tak mencontohkannya, tapi hanya memberi semacam cambuk, penguat, dan seolah mengatakan, “Bagus, kamu mulai suka membaca, sama seperti ayah dulu.” Itu adalah salah satu bentuk dukungan, dan saya kira, inilah yang perlu dipupuk oleh keluarga mana pun.

Kedua, racuni anggota keluarga lainnya. Kata racun di sini tentu tidak berkonotasi negatif, tetapi lebih berarti sebagai ajakan. Dalam kasus keluarga saya, ayah-ibu telah lama tidak menyentuh bacaan sejak usia remaja mereka. Maka, tugas anaknyalah untuk meracuni lagi mereka dengan bacaan-bacaan.

Seperti setahun yang lalu, saya berhasil mengajak ayah saya membaca novel Yusi Avianto Pareanom, Mahfud Ikhwan, dan Arafat Nur. Sekarang ini ia bahkan sedang membaca novelnya Eka Kurniawan. Sementara ibu, ia pun mulai melirik majalah-majalah yang ada di rumah, bahkan satu majalah yang memuat tulisan saya kapan hari dibukanya berulangkali.

Tingkat lebih berbeda saya lakukan kepada dua adik saya, mereka bahkan saya tantang untuk menyelesaikan satu bacaan, lalu berlanjut ke bacaan lainnya. Dan mereka terus melakukannya sampai hari ini.

Baca Juga  Tiga Corak Website Salafi-Wahabi yang Harus Dimusnahkan

Ketiga, rawat obrolan terkait bacaan. Sering kali, saya iseng menanyai adik-adik saya soal buku apa yang sedang mereka baca—kendati saya tahu mereka sedang baca buku apa. Di kesempatan lain, saya menanyai mereka soal pendapat atas novel atau buku yang baru mereka selesaikan.

Obrolan itu memang tidak panjang dan alot, tidak seperti diskusi sastra berlarut-larut sampai tengah malam suntuk. Tapi, obrolan itu terus dijaga, dirawat, walau hanya sekilas-lalu saja. Kendati begitu, keberadaan obrolan macam itu penting dalam hal menjaga kebiasaan membaca dalam keluarga, sebab membuat kita makin terhubung dengan mereka.

Kita jadi tahu kecondongan opini mereka, minat mereka terhadap buku yang seperti apa, dan sama-sama menggambarkan buku apa saja yang kelak harus dibaca satu sama lain. Dari situ, perkara membaca bukanlah upaya yang mandek. Ia terus berlanjut, dieadarkan dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya. Sebab, tak jarang saya pun disarankan untuk membaca satu buku yang, seringnya, belum dibaca sementara mereka—misalnya adik saya—sudah membacanya. Hal ini terus berlangsung.

Apakah ketiga hal di atas cocok untuk diterapkan oleh seluruh keluarga? Saya tentu tidak bisa memastikannya. Kasus keluarga lain barangkali berbeda, dan itu membutuhkan kebiasaan dan sikap berbeda yang mesti diterapkan. Setiap keluarga punya cerita uniknya masing-masing terkait keberadaan bacaan di tengah-tengah mereka.

Tapi, kalau boleh disimpulkan, setidaknya ada satu hal yang mesti dimiliki sebuah keluarga yang ingin kebiasaan membaca dalam keluarganya terawat: Harus ada satu orang yang sadar akan betapa asyiknya membaca, dan ia tak tahan untuk tidak mengajak orang lain. Saya kira, orang semacam itulah yang terus meniupkan gairah membacanya dan ingin orang lain merasakan hal yang serupa, kendati ketiadaan pondasi yang menyokongnya untuk melakukan itu.

Penulis

Wahid Kurniawan

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *