Paradoks Media Sosial; Antara Validasi Kebenaran dan Polarisasi Kebencian

Jalanhijrah.com- Media sosial memang menimbulkan adiksi alias kecanduan bagi sebagian orang yang menggunakannya. Sebagai salah satu negara dengan pengguna aktif media sosial terbesar di dunia, masyarakat Indonesia juga mengalami fenomena serupa. SurveiĀ We Are SocialĀ menyebutkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan 3-7 jam berselancar di media sosial. Dalam survei yang lain, terungkap fakta bahwa masyarakat Indonesia, terutama warga Jakarta merupakan kelompok yang paling aktif mencuit melalui Twitter.

Tidak diragukan, media sosial memang candu memabukkan. Di dalamnya, kita tidak hanya bisa mencari informasi dan hiburan. Lebih dari itu, medsos menyediakan kebutuhan paling dasar manusia, yakni kebutuhan untuk diakui eksistensinya. Media sosial telah berevolusi sebagai jejaring interaksi sosial, menjadi ajang untuk mencari validasi alias pengakuan publik.

Maka, tidak mengherankan jika di media sosial, orang-orang seolah rela melakukan apa saja demi viral, menangguk banyak pengikut, meraih like dan share sebanyak mungkin. Selain bisa dikonversikan ke dalam keuntungan finansial, semua itu akan menghadirkan semacam perasaan puas karena kebutuhan akan validasinya terpenuhi.

Medsos; Antara Validasi dan Polarisasi

Mencari validasi di media sosial tentu boleh-boleh saja. Namun, validasi itu harus diraih dengan mengedepankan cara-cara yang sopan dan beradab. Viral dan populer karena konten yang kontroversial dan mengundang polemik cenderung mendorong orang menjadi destruktif. Praktik destruktif bermedsos itu bisa kita lihat dari maraknya hoaks, ujaran kebencian, diskriminasi, perundungan siber, dan kekerasan verbal lainnya.

Baca Juga  Munarman Ikrar Setia NKRI, Apa Jaminan Radikalis Tidak Akan Berulah Lagi?

Hasrat mencari validasi di media sosial itu kian runyam manakala muncul fenomena polariasi yang dilatari perbedaan afiliasi politik marak belakangan ini. Di zaman ketika masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok besar yang saling berseberangan, medsos telah menjelma menjadi ajang amplifikasi kebencian, caci-maki, dan provokasi perpecahan. Medsos seolah telah menjadi inkubator tempat lahirnya diskriminasi, intoleransi, rasisme, dan bermacam bentuk perundungan digital lainnya.

Sebagian orang barangkali mengira bahwa inkubasi kebencian di ranah maya itu tidak berbahaya. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Dalam lingkup paling kecil, yakni dari sisi psikologis, perundungan digital bisa berdampak pada kesehatan mental. Korban perundungan digital rawan menderita depresi berkepanjangan.

Sedangkan dalam lingkup luas, inkubasi digital di media sosial juga bisa memicu perpecahan dan konflik sosial-politik dalam skala yang masif. Sejarah telah mencatat, bagaimana konflik horisontal di banyak negara muslim awalnya dipicu oleh suburnya narasi kebencian di media sosial yang disikapi permisif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.

Membangun Budaya Kesopanan Digital

Hal urgen yang harus kita lakukan saat ini ialah membangun budaya kesopanan digital di media sosial. Ada setidaknya dua pendekatan yang bisa ditempu dalam hal ini. Pertama, pendekatan regulasi, yakni menegakkan aturan setegas mungkin bagi siapa pun pelaku penyebar hoaks, ujaran kebencian, dan perundungan di dunia digital. Selama ini, kita memang memiliki UU ITE sebagai salah satu regulasi melawan efek destruktif medsos.

Baca Juga  4 Jalan Kebaikan Menurut Sahabat Abu Bakar

Namun, harus diakui efektifitas UU ITE kerap kali masih dipertanyakan. Tersebab, ada kesan UU ITE hanya tajam ke satu kelompok namun tumpul ketika berhadapan dengan kelompok lain. Harus diakui bahwa masih ada pihak-pihak yang merasa diri kebal hukum dan dengan sadar serta tanpa bersalah menjadikan medsos sebagai inkubator kebencian.

Penegakan hukum yang tidak pandang bulu bagi penebar kebencian dan permusuhan di medsos akan mengirimkan pesan ke publik bahwa tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Pendekatan regulasi ini sangat penting untuk membangun kesadaran bahwa setiap perilaku kita di medsos pasti ada konsekuensi hukumnya.

Pendekatan kedua ialah edukasi dan literasi, yakni memberikan pengetahuan dan keterampilan digital yang diharapkan bisa membantuk kesadaran untuk bermedsos secara santun dan beradab. Edukasi dan literasi digital selama ini kencang didengungkan oleh sebagian kalangan, termasuk pemerintah. Ironisnya, hal itu masih menjadi kegiatan yang sporadis dan belum menjadi sebuah gerakan kolektif. Kita perlu menjadikan edukasi dan literasi digital sebagai sebuah gerakan kolektif nasional.

Edukasi dan literasi digital ini idealnya dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Dengan begitu, diharapkan anak-anak dan kaum muda yang digadang sebagai penerus bangsa menjadi generasi yang beradab di dunia digital. Keadaban digital (digital civility) inilah yang menjadi modal bangsa dan negara mengarungi era pasca-modern ini.

Baca Juga  Al-Quran, Islamofobia, dan Pentingnya Islam Washatiyah

Arkian, sebagai negara demokrasi kita tentu tidak bisa membatasi aktivitas warganya di media sosial. Meski demikian, membiarkan medsos menjadi ajang ujar kebencian tentu bukan hal bijak. Banyak hal yang dipertaruhkan manakala kita persmisif dengan efek destruktif medsos. Yang bisa kita lakukan ialah mengelola potensi destruktif dan menekannya hingga ke angka paling minimal.

Penulis

Sivana Khamdi Syukria

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *