Jalanhijrah.com– Teror bom di Surabaya dan sejumlah daerah lain pada 2018 silam, yang melibatkan keluarga inti dalam proses eksekusinya, patut dijadikan pelajaran berharga. Betapa tidak, kejadian yang menjelma magnet dunia internasional itu berupa bom bunuh diri yang dilakukan ayah dengan membawa serta anak dan istri.
Artinya, gairah terorisme bisa ditularkan oleh seorang teroris pada orang-orang dekat. Tidak hanya anak dan istri. Bisa pula pada saudara sekandung, kerabat, maupun kawan sebaya (Arini Indah Nihayaty, 2021, Melindungi Keluarga dari Ancaman Terorisme)
Pelibatan keluarga inti dalam aksi teror bukan barang baru. Sejumlah sumber menyebutkan, Kartosoewirjo, si penggagas Darul Islam atau Negara Islam Indonesia, membawa serta istri yang kemudian melahirkan dua belas anak, di mana tiga di antaranya dilahirkan saat melakukan gerilya di hutan belantara (Ade Firmansyah, 2011, SM Kartosuwiryo: Biografi Singkat 1907-1962).
Namun di era awal aksi teror berkembang di Indonesia, pelibatan keluarga hanya di “garis belakang”. Berbeda dengan di Surabaya pada 2018 itu. Perempuan dan anak-anak dipasang di garda depan untuk ikut jadi “pengantin”.
Teror yang dikaitkan dengan Jamaah Ansorut Daulah itu disebut-sebut berkiblat dengan Al Qaeda. Jamak dipahami, Al-Qaeda gemar melakukan rekrutmen pada perempuan untuk menjadi martir bunuh diri dengan iming-iming surga (Murad Batal Al-Shishani, 2010, Is the role of women in al-Qaeda increasing?).
Sebagai negara demokrasi yang memiliki penduduk mayoritas muslim, terorisme menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Di satu sisi, embrio maupun jaringan grup-grup radikal masih terus tersisa meski tak henti diberantas. Di sisi lain, semua elemen mesti optimis jika kebangkitan Islam yang rahmatan lil ‘alamin justru dapat bersinar dari negeri ini.
Kuncinya, memberikan pemahaman secara berkelanjutan pada masyarakat tentang bahaya pikiran radikal yang penuh kebencian pada pihak lain. Tak lupa, deradikalisasi atau penetralan terhadap pemikiran orang-orang yang pernah menjadi teroris. Sehingga, mereka tidak lagi terbersit untuk meneror, syukur-syukur, malah mengajak orang lain untuk menjauhi aksi laknat berkedok agama tersebut.
Semua adalah tanggung jawab segenap elemen bangsa. Baik dari kalangan pemerintah, akademisi, ormas atau LSM, para pebisnis, dan pihak-pihak lainnya. Kenapa pebisnis harus turut serta? Karena jika negara ini tidak aman oleh imbas terorisme, sektor ekonomi dan bisnis pasti terguncang. Di mana kerugiannya bisa memukul ekonomi makro maupun mikro.
Lingkungan yang Baik
Paham radikal yang cederung pada aksi teror, tidak hanya bisa disebarkan melalui orang-orang terdekat. Lingkungan yang sarat nuansa pemahaman berisi hujatan dan hardikan pada pihak-pihak lain juga dapat menumbuhkembangkan bibit radikalisme.
Sebagai contoh, ada sekolah-sekolah berbasis agama yang dalam kurikulumnya, terselip ajaran-ajaran chauvinistik. Di mana ejeken pada sistem pemerintah, maupun dikotomi antaragama, menjadi poin penting pembelajaran. Pikiran anak-anak bisa terjerat virus berbahaya jika berada di institusi pendidikan semacam itu.
Sementara itu, banyak pula kanal-kanal media sosial yang di dalamnya berisi konten-konten penuh ujaran kebencian. Hal sejenis ini tentu bisa merusak akal para penyimak. Pada mulanya, bisa jadi hanya olok-olok terhadap pemerintah yang sah maupun terhadap mereka yang berbeda pandangan agama.
Tapi tidak menutup kemungkinan, akan bermuara pada kekerasan fisik maupun mental. Di mana hal itu melanggar hukum sosial, norma moral, maupun undang-undang negara tentang kebebasan beragama dan mengemukakan pendapat.
Keluarga, dalam hal ini orang tua maupun orang yang lebih tua, punya peran penting menjaga anak-anak maupun para pemuda dari paham radikalisme yang disusupkan melalui lingkungan maupun media internet.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Ristek dan Teknologi bersama Kementerian Agama mesti aktif memeriksa kurikulum sekolah-sekolah yang mengklaim berbasis agama. Sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika mesti cermat menjalankan wewenang untuk memblokir situs-situs radikal.
Sinergitas semua pihak akan membuat cita-cita menuju Indonesia yang bebas radikalisme bisa terwujud selekas mungkin.
Terpenting, spirit toleransi mesti terus dikobarkan. Pasalnya, Indonesia adalah negara majemuk yang mustahil diseragamkan. Bahkan, dalam satu agama pun, kerap dijumpai perbedaan praktik maupun ritual. Oleh sebab itu, melatih diri untuk berjiwa besar adalah sesuatu yang mutlak dilaksanakan.