Judul Buku: Islam Praksis, Penulis: Dr. Ayang Utriza Yakin, DEA., Penerbit: Ircisod, Tahun terbit: 2022, ISBN: 978-623-5348-14-8, Halaman: 220, Peresensi: Bagis Syarof.
Jalanhijrah.com – Rasulullah dalam hadisnya pernah mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam 73 golongan. Realita yang kita lihat hari ini, di Indonesia saja, golongan yang paling mencolok, adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dan masih banyak golongan Islam yang tidak terlalu tampak ke permukaan. Namun pada hakikatnya tujuannya sama; adalah untuk menghamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Negara Indonesia, tercipta sangat beragam. Di sisi satu, Islam yang bermacam-macam pemahamannya, di sisi lain, ada agama selain Islam yang juga dianut oleh masyarakat Indonesia. Kemajemukan tersebut, rentan menjadi dasar untuk bermusuhan satu sama lain.
Buku yang ditulis oleh Ayang Utriza ini, berisi kumpulan esai yang sudah ia oretkan, selama lebih dari dua dekade. Karya tersebut tertera dalam beberapa media, dan majalah, dan banyak membahas tentang agama Islam yang disalahpahami kemudian menjadi dalih untuk memusuhi agama lain, atau kelompok yang sama agama, tapi beda pemahaman tentang agama.
Dalam pandangannya, memahami ajaran Islam tidak bisa dipahami secara serampangan. Adalah harus menggunakan dasar, aqli (rasionalitas) naqli (tektualitas) takhiri (historisitas). Pemahaman ajaran agama Islam, tanpa menggunakan ketiga dasar tersebut, akan membuat pemahaman miring (falacy comprehension), sehingga potensial akan menimbulkan kebahayaan apabila digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya, adalah berkomentar terhadap hal yang tidak sama sekali, kita tidak punya pemahaman mendalam terhadap hal tersebut. Misalnya, orang Islam berkomentar terhadap kitab agama umat kristen. Orang tersebut, hanya membaca sekilas kitab umat kristen. Kemudian memberi komentar, atau kritik pedas yang dapat melukai umat kristiani.
Menurut penulis, kita tidak perlu berkomentar atau memberikan kritik terhadap hal yang sama sekali bukan bidang kita, untuk mengomentari hal tersebut. Pemaksaan diri, merasa paling tahu, dan berhak untuk melontarkan kritik terhadap bidang, yang kita tidak punya kompetensi untuk hal tersebut, adalah hal bodoh yang dapat membayakan kerukunan umat beragama, kerukunan umat manusia.
Penulis dalam sebuah artikel yang berjudul “Golongan Merasa Paling Benar dan Paling Suci” membahas ulah orang-orang yang tidak menggunakan tiga dasar cara untuk memahami suatu ajaran di atas, sehingga menimbulkan konflik antarumat beragama.
Artikel tersebut adalah respon penulis, bagi golongan orang yang merasa paling benar dan paling suci. Mereka mejudge orang lain yang berbeda agama, atau beda pemahaman dengan kelompoknya, sebagai kelompok kafir, kelompok bid’ah, dan lain-lain.
Perbuatan tersebut, tentunya tidak baik dilakukan. Karena seperti yang kita tahu, perbuatan membenci, mengolok-olok kelompok atau agama lain, adalah perbuatan tercela, yang sama sekali tidak diajarkan dalam agama Islam.
Islam Sangat Menghargai Budaya Lokal
Islam diterima oleh masyarakat nusantara karena sangat menghargai akan budaya yang sudah melekat di tanah tersebut. Islam melebur dengan budaya lokal, kemudian menjadi Islam yang beradaptasi dengan budaya nusantara.
Alih-alih menghapus budaya yang sudah dianut sangat lama oleh masyarakat Indonesia, Islam hanya melebur di dalam budaya tersebut, agar masyarakat nusantara yang pada saat itu, masih sangat kental dengan budayanya, merasa nyaman dengan keberadaan Islam di tanahnya.
Namun, sayang sekali, wajah Islam yang sangat ramah, dalam beberapa dekade terakhir mulai berubah. Karena datangnya beberapa paham, yang menganggap bahwa Islam harus berdasarkan nash (al-Qur’an dan Hadits). Adalah kaum ekstremis, radikalis, wahabis, dan lainnya yang merasa paling benar, menganggap pemahaman masyarakat nusantara, yang sudah dianut dari dulu, tidak sesuai dengan syari’at Islam.
Padahal, para penyebar Islam, zaman dahulu, pada waktu Islam awal-awal masuk ke bumi Indonesia, menganggap bahwa, budaya lokal tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Artinya Islam diajarkan dengan disesuaikan dengan adat dan budaya yang sudah dianut oleh masyarakat pada saat itu.
Eksistensi sekelompok orang yang merasa paling benar tersebut, semakin meluas karena rendahnya literasi masyarakat tentang Islam rahmantan lil alamin. Masyarakat yang rendah literatur tentang Islam yang damai, saling mengasihi, dan toleran, akan mudah ikut terhadap alur kelompok perusak di atas.
Pasalnya, mereka juga membawa ayat-ayat kitab Qur’an dan sabda Nabi, sebagai dalil untuk membenarkan ajaran yang mereka bawa. Maka penting untuk mencegah mereka agar masyarakat tidak semakin dihasut ke dalam jurang Islam yang ekstrem.
Apabila dibiarkan, orang-orang tersebut, akan merusak kerukunan dalam bergama, persatuan dalam bernegara. Buku ini, berisi esai-esai kritis terhadap orang-orang picik dalam beragama, tidak benar-benar memahami ajaran agamanya, sudah berani menyalahkan orang lain. Dan bisa menjadi tameng, agar masyarakat tidak mudah terpengaruh ajaran-ajaran Islam yang membawa keburukan, tidak toleran, dan lain-lain.
Karya ini dikemas dengan bahasa yang santai, tidak terlalu kaku, sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Buku ini, recomended dibaca bagi siapa saja, yang ingin menambah pengetahuan tentang keislaman, bagaimana cara menjadi Islam yang cinta akan kedamaian, tanpa harus menebar kebencian, yang memecah belah persatuan umat beragama, dalam negara.