Ketika Al-Hallaj Memuji Kesetiaan Iblis

Jalanhijrah.com-Al-Hallaj I Iblis sebagai sosok yang dilaknat Allah, setelah dirinya membangkang atas perintah Allah Swt, enggan “bersujud” kepada Nabi Adam sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Baqarah: 34, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.

Memuji Iblis

Berbeda dari kebanyakan keyakinan umat Islam, al-Hallaj justru memuji Iblis. Terkhusus terkait peristiwa penolakan Iblis terhadap titah Allah Swt untuk bersujud kepada Adam tersebut. Menurut al-Hallaj, penolakan Iblis tersebut dianggap sebagai kesetiaan tertinggi kepada Allah Swt. Iblis tidak mau bersujud kepada makhluk. Ia hanya mencintai Al-Khaliq. Cintanya dibuktikan dengan keengganannya bersujud kepada manusia (Nabi Adam).

Oleh karena itu, dalam perspektif al-Hallaj, justru Iblislah yang menampilkan sikap beragama yang paling sejati, dan meyakini tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah. Perbuatan bersujud kepada Adam, bahkan atas perintah Tuhan sekalipun adalah perbuatan yang menyalahi keimanan. Perbuatan itu dianggap syirik yang patut dihindari.

Jauh dari itu, al-Hallaj juga memberikan pernyataan bahwa Iblis sebagai temannya. Pernyataan ini didasarkan pada kesamaan nasib keduanya. Keduanya sama-sama dihinakan. Iblis dihinakan tatkala menolak bersujud kepada Adam, dan al-Hallaj dihinakan ketika dihukum gantung dan jasadnya dibakar bersama karya-karyanya oleh sesama muslim.

Baca Juga  Hukum Mengenakan Sepatu Hak Tinggi, Bolehkah?

Dalam Kitab al-Thawasin, al-Hallaj berkata, “Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus pen-tauhid yang seperti Iblis. Karena Iblis di situ telah melihat penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah bahkan dari mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan dalam pengasingan khusyuknya…”

Kisah Kehidupan Al-Hallaj

Ia bernama lengkap Abu al-Mugit Husain ibnu Mansur al-Hallaj. Dilahirkan pada tahun 858 M atau 244 H di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, sebuah provinsi penghasil kapas. Nama al-Hallaj disematkan pada dirinya, karena ia hidup di daerah penggaru kapas (hallaj, dalam bahasa Arab). Ia bukanlah orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk Islam.

Pada waktu usia muda, al-Hallaj mulai mempelajari tata bahasa Arab, mengkaji Al-Qur’an, tafsir, serta teologi. Di usia 16 tahun, ia merampungkan studinya, namun merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Hingga pada akhirnya, al-Hallaj muda berkhidmat dan mengabdi pada seorang ulama sufi bernama Sahl al-Tustari setelah pamannya bercerita kepadanya tentang ulama sufi ini.

Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia bertemu dengan seorang sufi yang paling berpengaruh pada saat itu, yaitu Amr al-Makki yang kemudian secara formal ia mentasbihkannya dalam ilmu tasawuf. Al-Hallaj berguru kepadanya selama satu tahun enam bulan, yang pada akhirnya ia meninggalkan Amr juga.

Baca Juga  Cak Nur Menyerukan Kehadiran Agama Di Ruang Publik, Bukan Khilafah!

Setelah ia berpetualang dan banyak mendiskusikan pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi yang ia terima baik positif maupun negatif yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah lagi. Di sana, ia mulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid.

Namun, pemikirannya banyak bertentangan dengan ayah mertuanya yang membuat hubungan keduanya memburuk. Ia pun kembali ke Tustar bersama istri dan adik iparnya, yang masih menaruh simpati kepadanya. Di Tustar, ia terus mengajar dan meraih keberhasilan yang luar biasa.

Ia kemudian meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, dan dalam rentang waktu yang lama itu ia tetap terus mencari Tuhan. Dalam pengembaraannya itu, ia berjumpa dengan guru-guru spritual dari berbagai macam tradisi dan disiplin ilmu. Di antaranya adalah zoroastrianisme, manicheanisme, dan lain sebagainya.

***

Dari pengalamannya itu, ia mulai mengajar dan memberi ceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati para jamaahnya. Ia berhasil menarik banyak pengikut. Namun, ucapan-ucapannya yang tidak lazim itu membuat sejumlah ulama tertentu takut dan ia pun dituduh sebagai dukun.

Salah satu buah pemikirannya yang masyhur adalah “hulul”. Hulul secara etimologis semakna dengan kata infusion yang berarti penyerapan, yakni menyerap ke seluruh obyek yang dapat menerimanya. Menurut al-Hallaj dengan pemahaman hululnya itu, Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia-manusia yang telah mampu melenyapkan karakter kemanusiaannya melalui fana’.

Baca Juga  Kalimah Sawa’ dan Misi Rasionalisasi Agama Anti-Radikal

Padahal sebenarnya, paham hulul ini dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham al ittihad (bersatunya seorang hamba dengan Tuhannya). Dalam ajaran al ittihad, manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah Swt semata.

Dari pemahamannya ini, al-Hallaj dengan tanpa sadar selalu mengatakan, “Ana al haq” (akulah yang Mahabenar). al-Hallaj akhirnya dihukum gantung oleh penguasa Dinasti Abbasiyah pada saat itu, dan karya-karyanya (menurut catatan, ada sekitar 40-an buah) dibakar dan dilarang dipublikasi.

Mengenai perkataan Al-Hallaj yang kontroversial itu, Imam al-Ghazali dalam karyanya, Ihya’ Ulumuddin memberikan komentar, “dhahiruhu khatha’ wa bathinuhu shawab” (dahirnya salah, sementara batinnya benar).

Holikin S.Pd.I

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *