Jalanhijrah.com-Ketika membaca buku yang ditulis oleh K.H. Husein Muhammad tentang Perempuan Ulama diatas Panggung Sejarah pikiran saya otomatis kembali kepada masa kecil saya. Masa SDIP, MTs, dan MA yang selalu dibubuhi mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Di sana saya belajarbanyak hal tentang sejarah Rasulullah SAW, masa Khulafaur Rasyidin, masa Dinasti Umayyahsampai dengan Dinasti Abbasiyah. Saya mempelajari detail setiap perjuangan para lelaki yang sangat berjasa dalam perkembangan Islam.
Sosok Umar bin Khattab dengan gelar al-Faruqnya, Ali bin Abi Thalid dengan kelembutannya,Muawiyah bin Abi Sofyan dengan keberhasilan mendirikan dan memimpin Dinasti Umayyah, khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal dengan pembukuan hadits, Khalifah Abu Abbas As- Saffah pemimpin pertama dinasti Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid pemimpin masa keemasanDinasti Abbasiyah, dan masih banyak lagi.
Tak hanya itu, sampai di bangku kuliah saya belajar perkembangan tasyri’ yang juga lebih danmayoritas disuguhkan dengan peran aktif tokoh laki-laki. Saat itu saya sama sekali tidak bertanya“di mana perempuan kala itu?” karena memang dalam kehidupan saya, masih terbalut budayapatriarki yang sangat mewajarkan ketiadaan peran perempuan. Namun selepas mengikuti KajianGender Islam pada 2020 silam, saya menyadari kekeliruan cara pandang saya hingga akhirnyabertanya “perempuan memang tidak ada dalam sejarah, atau dihilangkan dari sejarah?”
Kajian Gender Islam yang diusung oleh Dr. Nur Rofi’ah memberikan kesadaran kepada saya.Dijelaskan oleh beliau Dr. Nur Rofi’ah bahwa sebelum Islam lahir, Arab dipenuhi denganbudaya yang sama sekali tidak menghargai perempuan. Bahkan kesadaran terhadap perempuanpada saat itu berada dalam tingkat pertama, perempuan dianggap sebagai bukan manusia, yaknidirendahkan. Sehingga Rasul datang memberikan perubahan sedikit demi sedikit pandanganmanusia terhadap perempuan tersebut.
Pertanyaan selanjutnya yang kemudian muncul setelah mengetahui perempuan pada masa Islam datang mulai dilihat sebagai manusia ialah “Lalu, apakah memang dalam perkembangan Islamperempuan hanya memiliki pengaruh yang sedikit? Selama beratus-ratus tahun sampai dengansaat ini, mengapa sejarah Islam tidak menggambarkan perjuangan tokoh perempuan?”
Hingga akhirnya, sebuah buku yang hanya setebal 234 halaman tersebut menjawab pertanyaansaya. K.H. Husein Muhammad berhasil membangun pengetahuan baru yang sama sekali tidaksaya dapatkan dalam bangku pendidikan. Beliau menguak tokoh-tokoh perempuan yang berjasadari masa ke masa, namun hilang entah ke mana.
Mulai dari Sayyidah Khadijah yang semula dikenal hanya sebagai perempuan pedagang yang menikahi Rasulullah, melalui buku tersebut saya menjadi melihat Khadijah sebagai sosokperempuan bijaksana menemani Rasulullah sejak awal perjuangan beliau. Khadijah dengansegala kebijaksanaannya adalah wanita mulia yang turut memberikan dukungan penuh atas apayang dilakukan oleh Rasulullah untuk membangun Islam.
Sayyidah Aisyah, dulu saya mengenalnya sebagai perempuan yang paling dicintai Rasulullahkarena julukan “Humaira”. Kini saya mengenalnya sebagai perempuan paling cerdas yang berhasil meriwayatkan 2.210 hadits. Bahkan ia juga mengkritik hadits yang diriwayatkan olehAbu Hurairah dan Umar bin Khatttab.
Amrah binti Abdurrahman, perempuan dengan guru Sayyidah Aisyah yang ilmunya seluaslautan, kata Imam Zuhri. Selama 16 tahun duduk di bangku sekolahan, baru kali ini sayamengenal beliau sebagai ahli fiqh yang argumentator dan cerdas pada masa Dinasti Abbasiyah.Tak hanya di daerah Mesir, Saudi Arabia, Damaskus, dan sekitarnya, tokoh perempuan dalambuku Perempuan Ulama di atas Panggung Sejarah juga menceritakan biografi tokoh perempuanIndonesia.
Seperti Siti Walidah Ahmad Dahlan penggerak organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta, Fatimah Al-Banjari seorang penulis kitab fikh Perukunan Jamaluddin yang mana buku tersebutternal ditulis oleh Syekh Jamaludin, Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari seorang dengan gelar “kyaiputri” yang berhasil memimpin Pesantren Seblak di Jombang, Jawa Timur. Buku tersebutmembawa saya menata ulang pelajaran sejarah yang saya bawa 16 tahun. Di sela-sela sejarahawal yang saya pahami, ternyata ada sisi kosong yang belum dilihat, yakni perempuan.
Di sana, perempuan ikut berkontribusi, berjasa, berfikir dan memimpin layaknya laki-laki. Di sana perempuan menyokong dan bahkan memperjuangkan keadilan bagi seluruh umat manusia. Jika guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, maka sependek pengetahuan sayapahlawan tersebut ialah para perempuan yang hilang sejarahnya meski berjuang sepenuhnya.
Saya menjadi teringat seorang perempuan paruh baya yang berkata kepada saya, “wong wedokki neng ngomah gawean ono terus, tapi jasane ra ketok,” (red: perempuan itu di rumah selalu adapekerjaan, tetapi tidak terlihat jasanya). Dari situ, dapat dilihat bahwa perempuan sampai saat inimasih tidak dianggap bekerja ketika berada dalam lingkngan domestik.
Padahal, Khadijah dalam buku tersebut yang mendukung Rasulullah dengan menyelimuti beliaukala mendapat wahyu untuk pertama kalinya merupakan bentuk kenyamanan dan keteguhanRasul dalam menentukan langkah Rasul membangun Islam. Perempuan rumah tangga pun demikian adanya. Domestik ialah tempat kembali, tempat aman, tempat nyaman yang menjadipendukung utama perkembangan setiap anggota keluarganya, termasuk perempuan.
Dan jika perempuan adalah pekerja rumah tangga, maka ia sangat berjasa bagi keluarganya. Maka benarlah ketika K.H. Husein Muhammad menyebutkan kalimat Al-Haddad dalam bukutersebut bahwa perempuan adalah separuh jiwa. Karena perempuanlah yang menjadi ibumanusia, memberikan kasih sayang, mengorbankan waktu dan kesehatan, mencukupi kebutuhanlapar manusia. Bahkan perempuanlah yang sebenarnya membuat setiap insan bergairahmenapaki setiap kehidupan.
Penulis: Nur Khasana- Anggota Puan Menulis