Jalanhijrah.com – Aku adalah seorang santri lulusan salah satu pondok pesantren di Cirebon – Jawa Barat. Pondok pesantrenku tepatnya terletak di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin. Desa ini termasuk desa santri, karena terdapat lebih dari 60 pondok pesantren. Namun, pondok pesantrenku termasuk pondok pesantren putri yang tertua, Bapenpori Al – Istiqomah.
Di Desa Babakan, pada awalnya hanya ada pondok pesantren putra. Bahkan usianya sudah lebih dari 3 abad. Kemudian, atas permintaan masyarakat setempat yang disetujui oleh para kyai dan nyai, akhirnya pondok pesantren putri didirikan.
Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat bahwa pendidikan juga penting bagi perempuan. Dalam perkembangannya, kesadaran akan kesetaraan gender di ranah pesantren semakin kentara. Khususnya di almamaterku, tidak hanya diterapkan oleh para santri baik putra maupun putri.
Namun, para kyai dan nyai sebagai pengasuh di pondok pesantren juga ikut andil membumikannya. Atas permintaan ibu nyaiku, Umi Maryam Abdullah, aku mengisi kegiatan kelas gender di almamaterku. Kegiatan ini juga sebagai program KKN (Kuliah, Kerja, Nyata) yang aku tempuh di semester 7.
Dengan kebijakan Universitas Jember selama pandemi Covid-19, memberlakukan program KKN Back to Village 3, atau yang biasa dipahami dengan KKN pulang kampung, dilakukan di desa sendiri.
Sebelum memulai kelas gender, aku mendiskusikan gambaran besar kegiatan terlebih dahulu dengan salah seorang guruku yang juga menjabat sebagai pengasuh di Bapenpori Al – Istiqomah, Mr. Imbi Muhammad. Beliau yang sering mengenalkanku tentang isu-isu di masyarakat, dan seringkali mengajakku dan teman-teman santri lainnya mengikuti seminar atau pelatihan.
Misalnya, tentang pelatihan pencegahan kawin anak yang diadakan oleh Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), SETAMAN (Sekolah Cinta Perdamaian) yang diadakan oleh Fahmina Institute, dan Live in di pondok pesantren bersama Santri dan pemuda-pemudi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pamitran.
Didikan yang diberikan oleh guru di pondok pesantren tidak hanya sebatas ilmu agama, tetapi juga ilmu dan pengalaman yang relevan di tengah masyarakat. Seperti, toleransi antar umat beragama dan bahaya perkawinan anak.
Dari pengalaman tersebut, sekarang aku memahami bahwa sejak dari pondok pesantren aku belajar dan diajarkan pentingnya peran perempuan sebagai pemimpin dan agen perdamaian. Kemudian, berangkat dari pengalaman tersebut, aku akhirnya yakin untuk membuka kelas gender di almamater, membagikan pengalaman dan ilmu yang aku dapatkan baik dari sejak di pondok pesantren maupun selama belajar di bangku perkuliahan, Jurusan Sastra Inggris di Universitas Jember.
Ketika aku kembali ke almamater, kesetaraan gender di ranah pondok pesantren ternyata terlihat sangat nyata. Saat ada pembangunan kamar mandi baru, santri putrid bergotong royong untuk membantu proses pembangunan. Mereka mengangkat batu bata, pasir atau semen, dan mereka mampu melakukannya.
Perempuan seringkali dianggap lemah secara fisik, padahal perempuan juga bisa sekuat laki-laki. Hanya saja, seringkali perempuan itu justru dilemahkan. Jika saja sedari kecil perempuan tidak dilarang mengangkat barang berat, maka tidak heran jika perempuan bisa mengangkat galon atau bahkan menjadi kuli bangunan.
Santri putri di pondok pesantren juga terbiasa dengan memasang sendiri lampu di kamar, memasang paku di tembok dengan mengetok palu, juga membuang sampah dengan gerobak sampah.
Begitupun yang dilakukan santri putra di pondok pesantren Daar Al-Furqon yang bertempat sama dengan Bapenpori Al-Istiqomah, di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Mereka juga menerapakan paham kesetaraan gender. Misalnya, mereka memasak untuk makan siang dan malam, menanak nasi, mencuci baju dan menyapu halaman.
Santri putra diajarkan pekerjaan domestik agar mampu merawat dan menjaga dirinya sendiri, dan santri putri diajarkan pekerjaan berat agar mampu merawat dan menjaga dirinya sendiri juga. Sayangnya, konstruksi masyarakat masih saja keliru bahwa perempuan harus bisa masak dan membersihkan rumah supaya bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik dan melayani suaminya dengan baik. Sama halnya laki-laki harus punya fisik yang kuat supaya terlihat lebih maskulin.
Padahal, pada diri setiap laki-laki maupun perempuan terdapat sifat maskulin dan feminin. Hanya saja, pemikiran masyarakat belum mampu mencapai tingkat kesadaran di level itu. Maka, konsep kesetaraan dan keadilan gender perlu sekali disuarakan lebih lantang khususnya dalam ruang lingkup pondok pesantren, agar lebih terdengar oleh masyarakat luas. Di pondok pesantren, tidak ada batasan untuk pekerjaan yang dilakukan laki-laki dan perempuan.
Jika masyarakat masih mengklasifikasi pekerjaan laki-laki dan perempuan, pondok pesantren justru sudah mulai menghapus batasan-batasan tersebut. Kemudian, dengan diadakannya KKN Back to Village 3 Universitas Jember, ada tiga topik yang akan aku bagikan berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan pandanganku tentang kesetaraan gender, kepemimpinan perempuan, serta perempuan dan perdamaian. Semuanya itu aku dapatkan dari pondok pesantren dan pembelajaran di bangku perkuliahan.
*Penulis: Yuyun Khoirun Nisa