Kepemimpinan Perempuan dan Problematika yang Tak Pernah Usai

Jalanhijrah.com– Menurut Subhan dalam bukunya “Kepemimpinan Islam Dalam Peningkatan Mutu Lembaga Pendidikan Islam “ Secara eksplisit keberadaan kepemimpinan ini dilegitimasi dalam Al-Qur’an sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan kepatuhan (taat), setelah Allah dan rasul-nya.

Kepatuhan tersebut menyangkut berbagai hal yang menjadi kebijakannya, baik suka maupun tidak suka. Hanya saja kepatuhan tersebut dibatasi kepada sejauh mana kebijakannya tidak bertentangan dengan koridor yang telah ditentukan Allah dan rasul-nya .

Perkembangan zaman dalam kehidupan modern ini memberikan banyak peluang bagi kaum perempuan dalam wilayah manapun, termasuk dalam wilayah pendidikan. Mulai dari pendidikan pra-sekolah hingga ke perguruan tinggi. Sehingga di era modern ini banyak kita jumpai beberapa profesi guru lebih didominasi perempuan dan juga banyaknya profesor dari kalangan kaum perempuan.

Dengan diraihnya kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan maka kaum perempuan sudah tidak lagi tertinggal oleh kaum laki-laki, yang dahulunya hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.

Implikasi dari tingkat pendidikan yang diraih ini, maka kaum perempuan memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki sehingga sudah tidak ada perbedaan lagi, sehingga kaum perempuan mempunyai hak yang sama dalam berbagai hal dalam ikut serta berkiprah di dunia, termasuk dalam hal memimpin.

Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan salah satu tanggung jawab yang sangat besar karena hal itu merupakan amanah dari Allah, baik atau tidaknya sebuah kepemimpinan disebabkan oleh faktor pemimpin itu sendiri. Untuk itu di dalamnya ada dua pihak yang berperan antara lain yang dipimpin dan yang memimpin (imam).

Baca Juga  KUPI II: Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan

Kepemimpinan dalam konsep Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya.

Kepemimpinan Perempuan

Pendapat sebagian ulama’mengenai larangan terhadap kepemimpinan perempuan semacam ini didasari dengan salah satu ayat yang terdapat dalam Al Qur‟an surah An-Nisa ayat 34. Ayat ini yang seringkali dijadikan sebagai dasar sebagian ulama’ dalam melarang perempuan untuk menjadi pemimpin dalam wilayah manapun, termasuk di sini adalah wilayah publik.

Karena Secara umum mereka berpandangan bahwa laki-laki lebih kuat baik secara fisik maupun mental ketimbang perempuan laki-laki merupakan pemimpin kaum perempuan.

Sebagian lagi beberapa ulama’ juga menafsirkan bahwa ayat tersebut hanya berlaku dalam wilayah domestik, artinya itu hanya dalam persoalan di dalam rumah tangga keluarga. Seperti apa yang di paparkan oleh Yusuf Qardhawi bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin, semisal menjadi direktur, dekan, ketua yayasan, anggota majelis perwakilan rakyat atau yang lainnya selama memang diperlukan.

Menurut Ridwan, dalam tulisannya yang berjudul kepemimpinan politik perempuan dalam literatur Islam klasik sebagai agama yang berdasarkan pada sumber-sumber tekstual (al-Qur‟an dan Hadis), maka doktrin agama Islam yang ada dalam teks dipahami dan ditafsirkan oleh manusia yang sudah barang tentu hasil penafsirannya antara satu penafsir dengan penafsir lain berbeda-beda.

Baca Juga  Ummu Hisyam binti Haritsah, Bahagia dalam Dekapan Islam

Penafsir dalam membuat penafsiran terhadap teks-teks agama sangat dipengaruhi oleh subjektivitas pribadi dan kapasitas keilmuan, serta sistem budaya dan politik yang mengitari kehidupan penafsir.

Islam telah memberikan ketetapan mengenai kesamaan status kehambaan antara laki-laki dan perempuan baik dalam persoalan Ibadah, berAmar Makruf maupun dalam hal keimanan. Sesuai dalam Al Qur‟an surat At-Taubah ayat 71, Begitu juga kesamaan laki-dan perempuan dalam hal keimanan dan amal shaleh terdapat pada surat An-Nahl ayat 97.

Ayat-ayat yang telah disebutkan di atas memberikan gambaran bahwa status kedukukan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama, baik dalam hal sosial maupun politik. Sehingga antara keduanya baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk bisa menjadi manusia yang baik.

Dari gambaran permasalahan di atas, menggambarkan bahwa ada beberapa konsep terkait persoalan kepemimpinan perempuan baik yang pro maupun yang kontra. Sedangkan melihat realitas yang ada sekarang, seiring dengan munculnya banyaknya calon-calon pemimpin dari kalangan perempuan, yang mana berangkat dari persoalan ini muncul beberapa gagasan dari beberapa kalangan, baik kalangan para ulama yang tergabung dalam ormas Islam ataupun kaum feminisme atau aktivis perempuan yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *