Jalanhijrah.com-Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah keberatan tentang aktivitas di tubuh TNI. Keberatan itu terkait dinamika keagamaan TNI. Ditemui di banyak daerah, TNI dan istri-istrinya kedapatan sering mengundang penceramah radikal yang berafiliasi dengan HTI.
Menurut Presiden Jokowi, TNI dan istri Polisi, harus setia kepada atasan. Tidak boleh membantah dan harus ikuti aturan negara dan atasan. Karena, TNI dan istrinya berbeda dengan rakyat sipil, khususnya dalam mendaratkan demokrasi. Di TNI tidak ada yang namanya demokrasi.
Permintaan Presiden Jokowi
Ada empat yang diminta Presiden Jokowi. Pertama, yaitu jangan undang penceramah radikal. Kedua, harus menguasai teknologi digital. Ketiga, tidak ikutan berdebat soal perpindahan ibu kota negara. Keempat, berdisiplin tinggi (di TNI dan Polri tidak ada demokrasi). Menurut Presiden, empat poin tersebut berkaitan dengan kondisi terkini yang terjadi di tubuh militer dan kepolisian.
Maka itu, aktivitas TNI dan Polisi, serta istri para tentra dan polisi menjadi evaluasi sendiri. Dengan sangat terang, Presiden mengingatkan para istri personel TNI dan Polri untuk tidak mengundang penceramah radikal dengan mengatasnamakan demokrasi.
“Ibu-ibu kita juga sama, kedisiplinannya juga harus sama. Enggak bisa, menurut saya, enggak bisa ibu-ibu (istri personel TNI-Polri) itu memanggil, ngumpulin ibu-ibu yang lain memanggil penceramah semaunya atas nama demokrasi. Sekali lagi di tentara, di polisi tidak bisa begitu. Harus dikoordinir oleh kesatuan, hal-hal kecil tadi, makro dan mikronya. Tahu-tahu mengundang penceramah radikal, nah hati-hati,” lanjut Jokowi.
Tapi apakah perkataan Jokowi tersebut diindahkan? Dari beberapa postingan di media sosial, ternyata penceramah radikal masih manggung di masjid-masjid milik TNI. Penceramah radikal masih diberi tempat untuk memandu keagamaan atau memberikan ceramah.
Padahal, kita tahu, bahwa dari sisi agamalah kekuatan penceramah radikal itu. Agama adalah jalan ninja orang-orang HTI. Mereka bisa mempolitisasi agama untuk politik praktis. Mereka bisa berceramah sesuai kepentingan dan permintaan dan tentu saja untuk merasionalisasi ajaran HTI dalam konteks kenegaraan. Mereka di dalam aktivitas keagamaan bisa bermitamorfosis.
Evaluasi Tubuh TNI-Polisi
Mungkinkah TNI tidak menyadari hal demikian? Nah, inililah sebenarnya kegelisahan Presiden Jokowi bertahun-tahun. Seharusnya TNI jika ingin mengundang penceramah, minimal mereka bisa melacak latar belakang penceramah tersebut. Saya rasa tidak terlalu susah dalam pekerjaan ini.
Jika terasa susah, berarti sudah benar apa yang dihimbau Jokowi, bahwa TNI dan Polisi sudah seharusnya belajar lebih banyak lagi mengenai perangkat digital. Karena kejahatan bisa melalui proses ideologisasi agama, dan itu dipropagandakan lewat digital. Ingat, kejahatan digital hanya bisa diantisipasi oleh penguasaan digital.
Jika penguasaan digital mau didigdayakan, memang harus memiliki talent yang cerdas yang khusus menangani demikian. Pertarungan teknologi sudah menjadi makanan sehari, bahkan sudah merambah sampai pada tingkat yang paling nadir. Dengan demikian, setidaknya, TNI dan Polisi bisa melihat bagaimana sesi ini tersingkap.
TNI harus tegas dan belajar mengkritisi diri. Juga harus belajar mendidik bawahannya untuk tidak terlibat aktif-pasif dan mengundang penceramah radikal. Jangan sampai TNI menjadi TNI yang tidak memiliki rasa nasionalisme, tetapi hanya memiliki ambisiusitas dalam menegakkan khilafah. Jika demikian terjadi, maka yang terjadi adalah peperangan antar TNI nasionalis dengan TNI yang terpapar Khilafahis(me).
Sekarang sudah saatnya TNI dan Polisi mengevaluasi diri. Sudah saatnya TNI dan Polisi berbenah di masing-masing instansi. Apa yang terjadi pada kajian-kajian di markas TNI AURI (Skadron Udara TNI AU), tidak terjadi di markas-markas TNI lainnya, di seluruh Indonesia. Amin.