Fenomena Hijrah: Tidak Masuk Akal dan Abal-Abal

Jalanhijrah.com-Fenomena hijrah memang bukan hal baru. Awalnya, saya jarang memperhatikan fenomena itu. Tapi, baru saja, dikejutkan oleh kerabat dekat (seorang perempuan) yang katanya terlibat di dalam suatu gerakan hijrah–sebaiknya tidak perlu kusebutkan namanya–melalui media sosial.

Saya memperhatikan gerakan itu sepertinya berdampak buruk baginya. Spontan, saya melihat perilaku dan gaya hidupnya 360 derajat berubah. Ia mulanya periang, ramah, dan mudah bergaul. Kini, sekadar untuk saling sapa, dan komunikasi denganku saja tak mau.

Hal ini juga sama dengan akun sosial medianya, sangat banyak postingannya yang dihapus. Terutama, dia menghapung postingan yang dianggap melanggar syari’at. Dan seketika, postingannya berubah menjadi postingan yang berbau dakwah, namun tidak informatif dan tidak terarah.

Hal itu membuat saya seakan kehilangan seseorang. Seketika itu, saya mengalihkan perhatian untuk mendekati informasi-informasi atau wacana-wacana tentang fenomena hijrah yang dulu saya absen memperhatikannya.

Tidak Masuk Akal

Saya merasa penasaran dengan alasan kerabat dia memutuskan hijrah dengan bergabung ke dalam gerakan hijrah itu. Sehingga, saya menanyakan alasan kenapa ia memilih gerakan hijrah tersebut.

Namun, alasannya membuat saya geleng-geleng kepala. Pada intinya, alasannya ingin menjadi perempuan shalehah, menghindari kesenangan dunia, dan untuk mendapatkan kehidupan yang baik di akhirat, yaitu surga.

Menurut saya alasan itu sangat tidak masuk akal. Jika ingin menjadi perempuan shalehah, caranya bukan mengubah perilaku menjadi sangat tertutup. Itu tidak masuk akal.

Baca Juga  Bagaimana Nasib Bangsa Ketika Ulama dan Intelektual Membebek pada Penguasa

Bagi saya, perempuan shalehah itu bukan perempuan yang menutup diri, apalagi hanya untuk sekadar komunikasi dengan sesama jenis. Bahkan, komunikasi dengan lawan jenis pun sebenarnya tidak ada masalah, selama komunikasi tersebut tidak sampai mendekati zina.

Perempuan shalehah itu perempuan yang terpelajar secara lahir maupun batin, dan mampu memetakan tugasnya sebagai perempuan, anak, ibu serta istri secara proporsional yang didasari keimanan dan keilmuan.

Sejalan dengan fenomena diatas, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa untuk menjadi shaleh dan salehah itu adalah proses spiritual dan sosial. Shaleh atau shalehah merupakan sifat dari suatu amal atau perbuatan, yaitu berbuat atau melakukan perbuatan baik yang didasari keimanan serta dipengaruhi oleh keilmuan yang dimiliki. Dengan kata lain, shaleh atau shalehah merupakan buah keimanan seorang muslim yang dijembatani ilmu.

Untuk itu, bagi saya, hijrah karena alasan untuk mengubah perilaku menjadi lebih baik guna mendapatkan kehidupan akhirat yang baik (surga), tapi dicirikan dengan perilaku yang tertutup adalah hijrah yang tidak masuk akal.

Abal-abal.

Selain tidak masuk akal, fenomena hijrah di Indonesia menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada institusi agama tradisional menurun (Al-Kandari & Dashti, 2014). Saya melihat ini dari orang-orang zaman dulu yang belajar agama secara langsung, mengunjungi kyai di pesantren.
Tapi sekarang, saya melihat kerabat dia belajar agama–dalam rangkaian gerakan hijrah itu–hanya sebatas menggunakan smartphone-nya. Setelah itu, dia merasa menjadi orang yang paling paham agama. Inilah yang membuat dia menjadi sangat tertutup. Melihat orang di sekitar sebagai orang yang tidak paham apa-apa. Hal ini menurut saya abal-abal dan amat sangat berbahaya.

Baca Juga  Ali Kalora Mati, yang Hidup Masih Banyak Lagi

Karena bagaimanapun, metode belajar secara tradisional di pesantren, atau secara langsung mendatangi kiyai dan tokoh agama di lingkungan sekitar kita tidak bisa ditinggalkan.

Dan, sangat berbeda dengan yang saya lihat sekarang, terutama melihat dia yang mempelajari agama dari internet secara langsung tanpa pengawasan dan pengetahuan dari orang yang mengerti agama.

Cara seperti itu membuatnya terpapar paham radikalisme. Hal itu dapat dilihat dari hasil Riset PPIM tahun 2017 yang menyebut 84,94% generasi muda terpapar radikalisme karena memiliki akses internet, sisanya justru sebaliknya 15,05% lebih moderat karena tidak punya akses internet (Nisa, Hendarmin, Lubis, Syafruddin, & Ropi, 2018).

Kesimpulannya, saya menemukan dikotomi pemahaman antara belajar agama secara tradisional dan sekarang. Pemahaman modern membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan-gerakan hijrah yang tidak masuk akal dan abal. Media sosial di internet sekarang dianggap sebagai ajang untuk aktualisasi diri dan membangun kepercayaan diri melalui citra yang ditunjukkan ke publik.

Maka dari itu, pekerjaan khusus bagi pemuda-pemudi, santriwan- santriwati untuk menangkal gerakan itu. Serta, semua kegiatan termasuk beragama tidak boleh ketinggalan untuk mengikuti perkembangan zaman agar hijrah yang abal-abal tersebut bisa dirubah menjadi hijrah yang fundamental.

 

*)Oleh: Aunia Ulfah, Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Agama Islam UIN Maliki Malang

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Jalanhijrah.com

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *