Ketika Konflik Agama Memakan Korban Manusia

Jalanhijrah.com-Benarkah agama adalah suumber konflik? Bagaimana agama menjadi penyebab konflik kemanusiaan? Seperti apa kita memaknai konflik agama? Bagaimana solusi dari ketegangan yang terjadi pada antar agama? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu muncul dalam benak ketika melihat banyaknya konflik yang muncul akibat perbedaan agama, salah paham memaknai agama, serta ancaman-ancaman beribadah oleh suatu kelompok.

Fenomena demikian, nyatanya menjadi kegelisahan yang Nadine Labaki, seorang sutradara asal Lebanon yang berhasil menciptakan film luar biasa dengan judul “Where do We Go Now”. Film ini berhasil meraih penghargaan tertinggi, yaitu Cadillac People’s Choice Award pada ajang 2011 Toronto International Film Festival. Tidak hanya itu, WHERE DO WE GO NOW? juga menjadi wakil Lebanon untuk berkompetisi dalam 84th Academy Awards bersama dengan film-film lain guna memperebutkan penghargaan Best Foreign Film.

Peran perempuan dalam film ini sangat melekat sekali, apalagi ketika scene pertama dalam film ini adalah segerombolan perempuan berbaju hitam, yang sedang berduka, berjalan menuju pemakaman, akibat duka yang ditimbulkan dari konflik atas dasar agama yang terjadi di desanya. Meskipun demikian, nilai atas perpecahan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman dengan topik agama menjadi topik inti dari film ini.

Konflik bisa disebabkan karena kesalahpahaman

Alkisah, dalam film tersebut hiduplah 2 kelompok agama yakni Kristen dan Islam di sebuah perkampungan daerah Lebanon. Tempat ibadah mereka, satu tembok, seperti kita lihat pada beberapa daerah di negara kita, Indonesia. Pada suatu hari, ada segerombolan kambing milik masyarakat Kristen yang masuk ke masjid. Hal ini menyebabkan masjid kotor, dan ini menjadi pemicu konflik awal dari ketegangan antara Kristen dan muslim.

Baca Juga  Buya Hamka dan Negara

Pada kesempatan lain, ada seseorang yang secara tidak sengaja mematahkan salib di tempat peribadatan kelompok Kristen. Kejadian ini membuat kelompok Kristen beranggapan bahwa kejadian tersebut dilakukan oleh kelompok muslim. Dari sinilah konflik terus muncul.

Hingga pada suatu hari, ketika kelompok Kristen beribadah, ada sekelompok anak kecil muslim yang sedang melihat. Pasca anak-anak kelompok Kristen selesai berdoa, tiba-tiba keluarlah darah dari dahinya. Sontak kejadian itu memicu kegeraman jamaah yang hadir. Orang tua, serta jamaah yang sedang khusu’ berdoa justru melakukan perlawanan kepada anak-anak muslim.

Mereka memukul, serta menganiaya anak-anak dari kelompok muslim atas kejadian itu. Lucunya, darah yang keluar dari dahi tersebut, bukanlah darah yang berasal dari anak-anak. Melainkan darah ayam yang secara tiba tiba muncrat dari atas-atas. Kejadian konyol ini nyatanya tidak bisa dijelaskan. Konflik kedua kelompok semakin memanas, lantaran penganiayaan yang diterima oleh anak-anak muslim.

Berawal dari konflik diatas, perpecahan, peperangan dimulai hingga menimbulkan korban. Para laki-laki dari kedua kelompok tersebut semakin terpacu untuk berperang. Nyawa demi nyawa terus berguguran. Kondisi ini menyebabkan para ibu dari kedua kelompok itu merasa resah. Luka batin akibat kehilangan anak yang terlibat dendam atas konflik yang terjadi itu seakan tidak pernah usai.

Akhirnya, para ibu memiliki trik sendiri untuk mengalihkan konflik agar tidak terjadi peperangan yang semakin hebat serta warisan dendam yang tidak berkesudahan. Diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh para ibu yaitu: memasukkan ganja pada maknan, mensabotase senjata, mengundang para wanita cantik dari Eropa, serta sikap dan gebrakan yang dilakukan secara komunal terus diupayakan oleh para ibu.

Baca Juga  Cara Bersih-bersih BUMN dari Infiltrasi Teroris

Agama itu memanusiakan

Menariknya, diantara solusi dilakukan oleh para ibu. Memasukkan ganja pada sajian sebuah pertemuan dua kelompok berkonflik tersebut tidak dilarang oleh pendeta dan kiai yang menjadi pioneer ibadah mereka. Artinya, solusi yang diambil tersebut pertimbangannya adalah kemanusiaan. Bagaimana konflik yang terjadi tidak menimbulkan korban-korban selanjutnya.

Tanpa menegasikan kehadiran agama, selayaknya kita memahami bahwa agama memang membawa misi kemanusiaan untuk memberikan kedamaian bagi para pemeluknya. Tidak hanya itu, diakhir scene, sekelompok orang yang membawa keranda dengan pakaian hitam menjadi pamungkas dalam film satire kelas berat ini dengan menanyakan “Where do We Go Now?” menunjukkan bahwa setiap orang berhak memilih agama, berpindah agama dari satu ke yang lain, tanpa mengusik peganut agama lain.

Agama adalah urusan setiap manusia dengan Tuhannya, dan kita harus menghargai itu. Yang perlu kita junjung adalah bagaimana membangun relasi sosial tanpa celah, tanpa melukai, menindas bahkan membunuh sesama.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *