Jalanhijrah.com – Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu melestarikan kemajemukan Indonesia. Tak ada kata menyerah untuk melawan praktik intoleransi dan ekstremisme yang jelas-jelas merusak keberagaman di masyarakat kita. Makanya, sikap moderasi beragama menjadi penting untuk ditumbuhkembangkan sejak dini pada generasi bangsa dengan jalan pendidikan sebagai langkah melawan intoleransi dan radikalisme.
Di Indonesia praktik intoleransi dan radikalisme masih subur. Bahkan tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hasil survei yang dilakukan Wahid Institute pada 2020 menunjukkan sikap intoleransi di Indonesia cenderung meningkat dari sebelumnya sekitar 46% menjadi 54%. Lalu, ada sekitar 0,4% atau sekitar 600.000 jiwa warga negara Indonesia (WNI) yang pernah melakukan tindakan radikal.
Masih menurut Wahid Institute, kecenderungan peningkatan praktik intoleransi dan radikalisme beberapa tahun terakhir dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya, kontestasi politik, ceramah atau pidato bermuatan ujaran kebencian, serta unggahan bermuatan ujaran kebencian di media sosial (medsos). Ini berarti asal muasal intoleransi dan radikalisme itu adanya kebencian pada lian.
Kalau kita cermati orang yang dijangkiti virus intoleransi maupun radikalisme memang sering berprasangka negatif (benci) pada kelompok luar. Mereka melihat anggota kelompok luar itu “berbeda” dari mereka. Perbedaan itu dianggap sebagai penghambat bagi tujuan mereka. Lantas mereka memaksakan keyakinannya, pandangannya, maupun sikapnya pada kelompok lain agar sama dengan mereka.
Pemaksaan keseragaman itulah yang mengakibatkan terjadinya konflik. Di jaman sekarang konflik makin meluas dengan adanya media sosial (medsos). Konflik yang terjadi di satu titik akan menjadi cepat meluas ke beberapa titik karena di medsos orang mudah melakukan ujaran kebencian, hujat menghujat, menyebar hoaks, dan sebagainya. Akhirnya kebenaran menjadi kabur, kebencian malah tumbuh subur. Bila kondisinya sudah seperti itu konflik fisik tak terelakkan lagi. Dan menjadi sulit didamaikan.
Sebenarnya salah satu variabel yang dapat diandalkan untuk mengurangi kebencian sosial adalah pendidikan. Penelitian menunjukkan, orang-orang yang lebih berpendidikan pada umumnya memiliki stereotip dan prasangka yang lebih sedikit (Rudman, Ashmore, & Gary, 2001; Sidanius, Sinclair, & Pratto, 2006).
Efek pendidikan pada pengurangan prasangka dimungkinkan sebagian besar karena diperkenalkannya norma-norma sosial baru di sekolah. Norma sosial menentukan apa yang pantas dan tidak pantas, dan kita dapat secara efektif mengubah stereotip dan prasangka dengan mengubah norma-norma yang relevan tentang itu.
Pengaruh norma sosial memang kuat. Perubahan keyakinan tentang kelompok luar akan dapat bertahan lama jika didukung perubahan norma sosial. Prasangka dan diskriminasi berkembang dalam lingkungan tempat mereka telah menganggap hal itu adalah norma. Namun, pandangan demikian akan mati manakala norma-norma sosial baru yang dibangun tidak lagi memungkinkannya.
Di sinilah pentingnya penguatan norma-norma sosial baru di lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan karakter, dalam makna yang sesungguhnya, sebetulnya merupakan jawaban efektif untuk mengeliminasi stereotip dan diskriminasi. Penguatan budaya sekolah yang moderat menjadi sangat relevan untuk dikembangkan. Ini bisa diupayakan dengan pendidikan moderasi beragama.
Pendidikan moderasi beragama dimaknai sebagai upaya mewujudkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang menjunjung nilai tawasuth (moderat), tasammuh (toleran), dan wathaniyah (kebangsaan), sehingga terhindar dari bentuk pemahaman dan praktik keagamaan yang berlebih-lebihan dan ekstrem, tidak radikal dan tidak liberal.
Moderasi beragama diperlukan karena sikap ekstrem dałam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran agama iłu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama agama sering mengakibatkan lahirnya konflik, rasa benci, intoleransi, Sikap-sikap seperti itulah yang perlu dimoderasi.
Maka di kalangan peserta didik, sikap moderasi tersebut perlu digalakkan agar mereka juga dapat menerima perbedaan yang ada termasuk perbedaan pendapat yang ada di intern umat beragama itu sendiri.
Kian Penting
Pendidikan moderasi beragama kian penting tatkala pelaku teror kini adalah anak-anak muda. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkap sekitar separuh dari pelaku aksi teror berusia mulai dari 18 tahun hingga 35 tahun. Pelbagai studi juga mendapati kelompok jaringan teroris kerap merekrut anggota berusia muda salah satunya karena mereka dianggap memiliki militansi yang kuat. Makanya, pendidikan moderasi beragama harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Pendidikan moderasi beragama pada jenjang pendidikan dasar di SD dapat melalui permainan edukatif. Permainan edukatif mengajak peserta didik untuk belajar sekaligus bermain dengan riang gembira. Byrnes mengkonfirmasi bahwa saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam (Wibowo, 2012).
Permainan edukatif yang bisa dipakai pada pendidikan moderasi beragama, misalnya permainan ular tangga moderasi beragama. Adanya permainan edukatif ular tangga moderasi beragama menjadi spirit baru dalam rangka internalisasi karakter moderat bagi peserta didik sejak dini. Lalu bagaimana konsep permainan ular tangga moderasi beragama bagi peserta didik?
Permainan ular tangga moderasi beragama yang dimaksud di sini adalah kegiatan bermain yang dipadukan dengan materi pembelajaran moderasi beragama. Adapun konsep ular tangga moderasi beragama yaitu permainan yang dimainkan oleh sekelompok peserta didik, dipandu guru.
Menggunakan karpet yang dibagi dalam kotak-kotak kecil dan di beberapa kotak digambar sejumlah tangga dan ular yang menghubungkannya dengan kotak lain. Sekaligus ditulis dengan materi moderasi beragama seperti, toleransi, saling menghargai, tanggung jawab, saling menghormati, menerima perbedaan, dan demokratis.
Adapun alur permainan laiknya main ular tangga dengan dadu. Di setiap kolom yang dimasuki peserta didik nantinya guru sebagai pemandu menjelaskan dan memberikan contoh bagaimana perilaku dapat diaktualisasikan sejak dini oleh peserta didik.
Melalui kegiatan permainan edukatif ini diharapkan menjadi spirit baru internalisasi moderasi beragama bagi peserta didik sejak usia dini. Hingga menghasilkan generasi yang inklusif, toleran, dan demokratis. Yang nantinya menjadi agen moderat di lingkungan masyarakat. Melalui agen moderasi beragama inilah perilaku moderat, inklusif, dan demokratis menjadi bagian penting dalam masyarakat.
Penulis: Kurniawan Adi Santoso, S.Pd