Masalah “tuna wisma” atau tidak memiliki tempat tinggal masih menjadi tantangan besar bagi masyarakat Indonesia. Banyak dari mereka yang terpaksa tinggal di mana saja, asalkan tidak terkena hujan dan bisa beristirahat di malam hari. Penyebab utama dari masalah ini adalah rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, dan laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan ketersediaan lahan perumahan. Meskipun Indonesia adalah negara yang luas secara geografis, masalah permukiman tetap menjadi gejala kesemrawutan sosial yang belum terselesaikan hingga kini.
Sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung bertumpuk di daerah tertentu, seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Alasan utama mereka pindah ke kota adalah untuk mencari nafkah yang lebih mudah, meninggalkan desa dengan harapan mendapatkan masa depan yang lebih cerah. Namun, tidak semua orang yang tinggal di kota berhasil meraih kesuksesan. Banyak yang tetap terjebak dalam kemiskinan, bahkan setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Akibatnya, terjadi pemusatan permukiman penduduk di kota-kota besar yang menyebabkan kesulitan dalam mencari lahan untuk tempat tinggal. Hal ini mendorong sebagian orang untuk memanfaatkan fasilitas umum seperti tepi sungai dan bawah jembatan sebagai tempat tinggal sementara.
Pandangan Hukum Islam tentang Pemanfaatan Fasilitas Umum
Persoalan ini tidak hanya menimbulkan masalah bagi negara, tetapi juga bagi kehidupan beragama. Dalam Islam, kehidupan seseorang diatur dari bangun tidur hingga tidur kembali, bahkan saat tidur pun terdapat aturan agama yang harus dipatuhi. Aturan ini bertujuan untuk menjaga kemaslahatan manusia, bukan untuk kepentingan agama semata. Salah satu aturan penting adalah larangan memanfaatkan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi.
Fasilitas umum yang dimaksud di sini termasuk sungai, kali, atau parit. Banyak orang yang mendirikan rumah atau toko di tepi sungai atau parit, bahkan ada yang membangun di atasnya. Namun, bagaimana pandangan hukum Islam mengenai hal ini?
Para ulama fikih sejak dahulu telah merespons fenomena ini. Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah (Maktabah Dar Ihya al Kutub al Arabiyyah: 3/112) dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan membangun tempat tinggal di area sungai atau parit jika hal tersebut mengganggu dan merusak sarana pemanfaatan sungai atau parit. Bahkan, jika ada bangunan masjid yang mengganggu pemanfaatan sungai atau parit, maka bangunan tersebut boleh dibongkar. Larangan ini berlaku tidak hanya di kota, tetapi juga di desa atau kampung. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk melarang hal ini.
Apakah Penggusuran Paksa Dibenarkan?
Pihak berwenang diperbolehkan melakukan penggusuran paksa setelah memberikan peringatan terlebih dahulu dan memberi waktu yang cukup untuk pindah. Jika masyarakat yang menempati dan mengganggu pemanfaatan sungai atau parit tetap tidak mematuhi peringatan tersebut, maka penggusuran paksa dapat dilakukan sesuai ketentuan dalam Ihya Mawat al Ardi (24-25).
Pemerintah tidak wajib memberikan ganti rugi kecuali jika penggusuran dilakukan secara semena-mena, seperti tanpa peringatan atau tanpa memberikan waktu yang cukup untuk pindah. Selama pemerintah telah melakukan tindakan dengan benar, maka mereka tidak berkewajiban memberikan kompensasi, sebagaimana dijelaskan dalam Ihya’ Ulumuddin(Maktabah Dar Ihya al Kutub al Arabiyyah: 2/326-327).
Tidak diperbolehkan memanfaatkan fasilitas umum seperti sungai atau parit untuk kepentingan pribadi, terutama jika hal tersebut mengganggu fungsi atau manfaat fasilitas umum tersebut. Pemerintah wajib memberikan peringatan, meminta mereka untuk pindah, dan memberikan waktu yang cukup. Jika semua prosedur telah dilakukan dengan benar dan masyarakat tetap tidak mematuhi, maka penggusuran paksa dapat dibenarkan.
Akan lebih bijaksana jika pemerintah juga memberikan solusi alternatif, seperti menyediakan lahan pemukiman yang layak, meskipun lokasinya jauh. Program transmigrasi dapat menjadi solusi efektif dalam mengatasi masalah ini, karena masih banyak lahan tidur yang belum dimanfaatkan di daerah seperti Kalimantan. Dengan harga tanah yang relatif murah, program ini dapat menjadi jalan keluar bagi mereka yang membutuhkan tempat tinggal.