Zainab binti Muhammad

Jalanhijrah.com-Zainab binti Muhammad lahir kira-kira pada tahun ke 24 sebelum hijrah ke Madinah. Masa kecil Zainab dilalui dengan penghormatan, kemuliaan, di bawah asuhan ibunya yang seorang bangsawan, terpandang, dan kaya raya pada masa itu. Mari kita belajar dan meneladani tentang salah satu putri Rasulullah ini.

Pernikahan Zainab dengan Abul Ash bin Rabi’

Zainab dilamar oleh seorang yang menjadi sepupunya dari pihak ibu yaitu Abul Ash bin Rabi’. Ketika dilamar, Rasulullah menanyakan hal itu kepada Zainab. Respon Zainab hanya diam tetapi tersenyum, artinya menerima lamaran Abul Ash. Bunda Khadijah melihat respon Zainab tentu sangat bahagia karena ini berarti menyambung kekerabatan dan hubungan yang lebih erat.

Ketika Zainab dan Abul Ash menikah, suaminya ini adalah orang yang sangat gigih dalam perdagangan. Konon katanya ada banyak kemiripan antara Abul Ash dan mertuanya, Rasulullah Saw. Di antaranya adalah sering mendapatkan kepercayaan untuk mengelola modal-modal milik orang lain. Abul Ash juga terkenal dengan kejujuran, sifat amanah, dan kecerdasannya dalam berdagang. Maka ketika menikah dengan Zainab, Abul Ash tetap menjalankan perdagangannya ke berbagai penjuru dunia pada saat itu. Di antaranya Yaman dan Syam.

Ketika Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu, Zainab langsung bergegas menghadap kepada Rasulullah dan Khadijah. Pada saat itu adiknya Fatimah yang sudah beriman lalu segera menyatakan keimanannya juga. Ketika Zainab mengatakan kepada suaminya dan membujuknya untuk beriman kepada apa yang turun kepada Rasulullah dengan agama yang lurus, agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang menyembah Allah tanpa menyekutukannya dengan siapapun.

Baca Juga  Overdosis Beragama, Bahayakah?
Ujian dalam Rumah Tangga Zainab

Abul Ash masih keberatan dengan bujukan Zainab untuk masuk Islam. Ia mengatakan, “Wahai Zainab apa pendapatmu nanti kalau orang mengatakan sesungguhnya Abul Ash mengikuti agama dari Muhammad Saw hanya untuk menyenangkan hati istrinya. Hanya untuk keridhoan istrinya. Ini tidak akan diterima oleh kaum kita.” Maka Abul Ash bin Rabi’ masih tetap bertahan dengan agama nenek moyangnya sampai bertahun-tahun kemudian.

Ketika terjadi peristiwa hijrahnya Rasulullah dan para sahabat ke Madinah, maka Zainab dijemput oleh Zaid bin Haritsah, putra angkat Rasulullah. Terpisahlah antara Zainab dan Abul Ash. Sampai tibalah hari Perang Badar, ternyata Abul Ash tidak bisa mengingkari solidaritas kaum sehingga dia tetap berperang di pihak Quraisy Mekah. Dalam peperangan itu, Abul Ash tertangkap menjadi tawanan kaum muslimin di Madinah.

Zainab merasa sedih melihat suaminya yang tertawan. Beliau kemudian melepas kalung emas yang ada di lehernya. Harta yang paling berharga yang Zainab miliki pada saat itu. Cantik sekali kalung tersebut, ada mata berliannya. Itu adalah mas kawinnya dulu. Kemudian kalung itu ia serahkan kepada kaum muslimin untuk menebus suaminya. Orang-orang Mekah juga ingin menebus Abul Ash karena dia adalah tokoh penting terutama untuk perekonomian.

Ketika Rasulullah melihat kalung putrinya itu, beliau menangis meneteskan air mata. Rasulullah mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian mampu berbelas kasih untuk melepaskan Abul Ash bin Rabi’ dan mengembalikan kalung ini kepada Zainab, maka aku memohon dapat kalian lakukan.” Kaum muslimin menyatakan, “Ya Rasulullah kami ridho. Lepaskanlah Abul Ash bin Rabi’ dan kembalikan kalung itu ke Zainab.”

Penyatuan Cinta Kembali Zainab dan Abul Ash bin Rabi’

Setelah bebas dari tawanan kaum muslimin, Abul Ash bin Rabi’ masih menjalankan perdagangan milik modal penduduk Mekah selama beberapa waktu. Sampai di tahun 4 Hijriyah, Abul Ash tertangkap oleh kaum muslimin beserta hartanya. Kemudian Abul Ash dibawa ke Madinah dan diajak masuk islam oleh Zainab. “Masuklah islam engkau akan selamat.”

Saat masih kafir/musyrik dulu, Rasulullah memerintahkannya untuk menceraikan Zainab. Kemudian ketika peristiwa penangkapan ini, harta Abul Ash menjadi rampasan perang bagi kaum muslimin. Saat berada di Madinah ini Abul Ash mendapatkan perlindungan dari mantan istrinya, Zainab. Rasulullah kemudian menanyakan kembali tentang keimanan Abul Ash. Dia menjawab, “Ya Rasulullah, hal ini telah menjadi keyakinanku, tapi aku belum bisa bersyahadat sekarang. Aku harus kembali ke Mekah terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan semua modal yang pernah dititipkan kepadaku oleh penduduk Mekah. Jika engkau mempercayai janjiku, maka izinkan aku ke Mekah terlebih dahulu.”

Mendengar apa yang diucapkan Abul Ash di atas, Rasulullah melepaskannya. Dia tunaikan utang piutangnya, permodalan, hubungan kerjasamanya dengan penduduk Mekah. Begitu semua urusan selesai, ia kembali ke Madinah dan memeluk Islam. Kemudian Rasulullah menyatukan kembali Zainab dengan Abul Ash tanpa akad ulang. Sehingga ini menjadi landasan hukum bagi ahli fikih kalau misalnya suami istri pernah menikah kemudian terpisah karena yang satu masuk islam yang satu belum. Lalu yang satunya masuk islam, maka secara hakiki tidak perlu mengulang akad. Dari pernikahan mereka memiliki satu putra dan satu putri yaitu Ali bin Abul Ash dan Umamah binti Abul Ash.

Baca Juga  Fatma Aliye: Sastra, Islam, dan Feminisme

Demikian kisah inspiratif dari keluarga Zainab binti Muhammad. Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi kita semua tentang keteguhan iman, kesabaran luar biasa, prinsip yang mulia, serta perjuangan dakwah yang tiada kata menyerah.

Martina Mulia Dewi

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *