Jalanhijrah.com NATO pada Kamis (4/8/2022) mendesak Armenia dan Azerbaijan untuk mengakhiri permusuhan. NATO menyatakan dukungan untuk normalisasi hubungan kedua negara.
“NATO menyerukan segera diakhirinya permusuhan antara pasukan Azerbaijan dan Armenia,” ujar perwakilan khusus Sekjen NATO untuk Kaukasus dan Asia Tengah, Javier Colomina, dilansir Anadolu Agency, Jumat (5/8/2022).
Colomina menambahkan, NATO mendesak kedua belah pihak untuk mengurangi eskalasi dan kembali ke meja perundingan. Selain itu, NATO mendukung normalisasi hubungan antara Armenia dan Azerbaijan.
Uni Eropa, termasuk kantor presiden Dewan Eropa, dan perwakilan khusus Uni Eropa untuk Kaukasus Selatan telah melakukan kontak intens dengan Armenia dan Azerbaijan selama beberapa hari terakhir. Presiden Dewan Eropa Charles Michel telah berbicara dengan Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan dan akan segera berbicara dengan Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev.
“Uni Eropa mendorong untuk de-eskalasi segera dan dialog tentang aspek-aspek lain dari hubungan tersebut,” ujar seorang pejabat Eropa.
Azerbaijan pada Rabu (3/8/2022) meluncurkan operasi pembalasan terhadap pasukan Armenia di wilayah Karabakh. Operasi ini dilakukan setelah Armenia melepaskan tembakan dan membunuh seorang tentara Azerbaijan.
Hubungan antara dua negara bekas republik Soviet telah tegang sejak 1991. Ketegangan terjadi ketika militer Armenia menduduki Nagorno-Karabakh (Karabakh Atas), sebuah wilayah yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan. Setelah bentrokan pada musim gugur 2020, Azerbaijan membebaskan beberapa kota, termasuk lebih dari 300 pemukiman dan desa yang diduduki oleh Armenia selama hampir 30 tahun. Pertempuran berakhir pada November 2020 dengan kesepakatan yang ditengahi Rusia.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Azerbaijan mengatakan, Armenia telah berulang kali menunjukkan kegagalan untuk memenuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata. Sejauh ini angkatan bersenjata Armenia belum ditarik keluar dari wilayah Azerbaijan.
Armenia menyerahkan sebagian besar wilayah yang telah dikuasainya selama beberapa dekade. Sementara Rusia mengerahkan sekitar 2.000 penjaga perdamaian untuk mengawasi gencatan senjata yang rapuh. Tetapi ketegangan tetap ada meskipun ada perjanjian gencatan senjata.