Jalanhijrah.com-Apa yang dibutuhkan manusia agar hidup bahagia selain hanya soal eat, pray, and love? Bukan berarti saya pengagum berat dari film yang diangkat dari novel Elizabeth Gilbert, dan dibintangi Julia Roberts di Pulau Dewata Bali itu. Tetapi, tiga kata itu memang banyak dipersoalkan sebagai intisari dari kehidupan manusia yang dihadirkan Tuhan di muka bumi, tanpa kehendak dan rencana manusia, juga bukan atas permintaan dan kemauan manusia sendiri.

Dalam bahasa religius, bukankah kebutuhan manusia dalam hidup ini hanya menikmati rejeki (makan), mengingat Tuhan (ibadah) dan bercinta? Sedangkan, selebihnya hanya urusan bisnis dan hiburan (entertainment). Bahkan, olahraga pun merupakan bagian dari hiburan yang pada hakikatnya bukanlah kebutuhan primer, melainkan hanya sekunder belaka. Bukankah kebutuhan yang bersifat pokok, dengan keinginan yang bersifat sampingan, adalah dua hal yang berbeda?

Tanpa sibuk pontang-panting mencari kekayaan dan popularitas, manusia toh akan diberi kecukupan rejekinya oleh Tuhan. Adalah naïf banyak orang menginginkan jadi penguasa (presiden) dalam ajang tarik-menarik pemilu di zaman hiper modern ini. Padahal, yang pasti diangkat Tuhan untuk menjadi presiden hanyalah satu orang pada tiap-tiap negara? Gubernur, walikota dan bupati pun, pada akhirnya hanya satu yang memimpin tiap-tiap daerah? Ngapain juga harus bersaing sengit, sikut kiri dan kanan, padahal tidak sedikit yang tak berminat jadi penguasa, tahu-tahu dialah yang akhirnya diangkat rakyat, hingga menjabat jadi bupati atau gubernur yang sah?

Sekeras apapun upaya dan jerih-payah manusia agar menjadi viral dan terkenal, pada akhirnya yang menjadi populer toh hanya beberapa gelintir orang saja? Banyak orang pontang-panting ingin tampil, tetapi jika Tuhan berkehendak lain, maka seberapa besar pun usaha dan jerih-payah seseorang, tetap saja ia takkan naik ke panggung popularitas?

Anda boleh-boleh saja bersikap angkuh dan sombong dengan kecerdasan ilmu yang dimiliki, hingga dalam tempo singkat menjadi kaya dan terkenal. Tetapi berhati-hatilah, karena boleh jadi Anda sedang memantik sumbu dengan percikan api, yang dalam tempo cepat atau lama, bom waktu itu akhirnya meledak juga. Dalam penemuan teknologi mutakhir, kita mengenal istilah “juggernaut”, meskipun ia dikenal sebagai teknologi bermutu tinggi namun jika tak memberi kemanfaatan, justru berujung pada tragedi yang membinasakan penciptanya sendiri.

Baca Juga  Ketika Nalar Kritis Al-Jabiri Membaca Takfirisme

Perihal Juggernaut

Bom waktu juggernaut itu bisa bersumbu pendek maupun panjang. Tetapi, apalah artinya panjang dalam hitungan manusia, karena bagi Tuhan toh hanya sekejap mata saja? Anda boleh saja membohongi rakyat selama 32 tahun, dengan membangun klik kekuasaan totaliter bersama para kroni, menggali sebuah lubang komodo, mengibuli rakyat dengan membangun museum ketakutan lubang komodo. Kemudian, menciptakan visualisasi lubang tersebut melalui tayangan film yang wajib ditonton jutaan rakyat, lalu berhutang sebanyak-banyaknya (pada negeri asing) dan memproklamirkan diri selaku “bapak pembangunan”.

Tetapi, lagi-lagi, apalah arti 32 tahun yang dalam hitungan kita seakan-akan bersumbu panjang, tetapi dalam hitungan Tuhan toh hanya sekejap mata saja?

Seorang sosiolog dan sejarawan muslim, Ibnu Khaldun pernah mengklasifikasi suatu bangsa yang mudah dininabobokan oleh pembodohan dan ketakutan yang diciptakan penguasanya. Kategori pertama adalah “badawah”, yakni kelompok masyarakat dusun pedalaman yang kepercayaan agamanya masih konservatif dan mudah

dikendalikan penguasa (kepala suku). Sedangkan, kelompok masyarakat maju disebutnya “hadlarah” yang cenderung mandiri dan independen, sehingga memahami agama dan kepercayaan berdasarkan nalar-nalar rasional.

Kualitas iman yang baik seumumnya dimiliki orang-orang progresif yang berpikir matang dan reflektif. Di tangan orang-orang cerdas yang berpendidikan dan berperadaban tinggi (universal), agama takkan berfungsi sebagai candu yang meninabobokan, melainkan dihidupi dengan penuh kesadaran, lalu semangat keberagamaan justru akan memperkuat persatuan dan kesatuan nasional (ashabiyah).

Sedangkan, para penguasa zalim justru akan memanfaatkan kedunguan dan kebodohan masyarakat sebagai senjata yang dapat mengakomodasi kepentingan kekuasaan mereka. Dari zaman ke zaman, di tengah masyarakat yang masih konservatif dan primitif, pemahaman agama yang dangkal akan selalu menjadi alat komoditas politik yang amat menggiurkan.

Baca Juga  Konstruksi Identitas Gerakan Hijrah

Bagi penguasa macam itu, tatanan ekonomi akan dibiarkan berjalan sebagaimana adanya. Segalanya mungkin bagi manusia dan boleh dikerjakan oleh siapapun. Para anak-cucu dan kerabat terdekat akan dipercayakan untuk menangani bisnis-bisnis penting berskala besar. Segala sarana dan fasilitas segera dipermudah. Kebutuhan sampingan maupun pokok boleh-boleh saja diproduksi. Produsen dikerahkan untuk memproduksi pemenuhan keinginan penduduk, yang terus-menerus disiasati. Tidak usah dipikirkan mana kebutuhan yang primer maupun sekunder, bahkan jikapun produksi menjadi tuan dari kebutuhan dan dari manusia.

Campur-tangan pemerintah bukan terfokus demi mengutamakan kesejahteraan rakyat, tetapi bagaimana menimbun kekayaan untuk memenangkan kontestasi pemilu ke depan. Segala sistem aparatur sampai wilayah agama, harus ditangani dan dikendalikan oleh kepentingan sang penguasa. Bahkan, hingga memasuki era milenial ini, masyarakat kita masih kebingungan untuk membedakan mana fakta dan mana fiksi yang bersifat ilusi dan fantasi belaka.

Kebodohan sebagai komoditas

Praktik keberagamaan yang konservatif dibiarkan merajalela, dan pemerintah tak ambil pusing dengan kedangkalan dan kedunguan itu, selama mereka tidak mengusik kepentingan ekonomi dan pilitik praktisnya. Corak keberagamaan seperti itulah yang membuat Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid hingga Buya Syafii Maarif, tak bosan-bosan menganjurkan proses pencerdasan dan pendewasaan bagi pemahaman Islam yang rasional dan kontekstual. Bagi mereka, citra agama justru tercemar oleh karena pemahaman yang kaku dan baku dalam paradigma kepercayaan masyarakat sendiri.

Tipikal keberagamaan seperti itu yang membuat Karl Marx merasa jengah, hingga melancarkan kritikannya terhadap praktik dan sistem Gereja di Eropa, khususnya pada abad pertengahan lalu. Bagi Marx, agama merupakan candu yang menjerat dan mengkerangkeng pemeluknya. Pelarian atas kekalahan menghadapi hidup, dengan mencandu diri dalam aktivitas keberagamaan, adalah cara orang-orang lemah dan tak berdaya dalam menghadapi segala problematika hidup. Marx sendiri menyebutnya sebagai “opium” atau obat penenang yang membuat ketagihan, serta dianggap tak pernah menyelesaikan masalah. Tetapi, hanya semata-mata fatamorgana yang dianggap semakin memperburuk keadaan.

Baca Juga  Kisah Abu Qilabah

Pada prinsipnya, kritik Gus Dur, Cak Nur maupun Buya Syafii ditujukan pada soal penyelewengan dan penyalahgunaan agama sebagai rahmatan lil alamin. Dengan demikian, beragam konflik yang dilatari agama tak lain sebagai bentuk penyelewangan oknum dari spirit dan esensi agama yang sebenarnya membawa misi dan pesan perdamaian. Politisasi agama oleh individu atau kelompok masyarakat yang berkepentingan dalam melancarkan tujuannya, jelas-jelas menodai citra agama yang merupakan guide of life untuk kedamaian dan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi ini.

Tanpa memahami esensi agama dengan baik, orang akan mudah terjebak dan terperangkap dalam ketakutan-ketakutan untuk melepas ketergantungan duniawi. Sehingga, ia akan terus-menerus disibukkan pada target-target untuk meraih popularitas, prestasi dan kebanggaan, pangkat dan jabatan, kekayaan dan kekuasaan yang hanya bersifat fana dan nisbi belaka.

Lalu, apa sih yang hendak dicapai untuk mendamaikan dan membahagiakan hidup manusia? Bukankah kehidupan yang simpel dan sederhana, jauh lebih membahagiakan dan menentramkan batin, ketimbang mengejar target prestasi maupun kesuksesan duniawi, bersama dengan keruwetan yang tak henti-henti menyertainya?

Apa yang sedang dicapai masyarakat modern dan hiper-modern akhir-akhir ini, kecuali hanya sibuk mengejar ilusi dan fatamorgana belaka. Meminjam istilah sastrawan Amerika, John Steinbeck, “Untuk apa manusia modern sibuk melanglang buana ke penjuru dunia, selain hanya untuk mengejar kebahagiaan? Padahal, jika mereka mau jujur melihat ke dalam hati nurani yang terdalam, sesungguhnya kebahagiaan itu sudah ada dalam diri mereka, jika mereka mau melihatnya.” ***

Penulis: Eeng Nurhaeni-Pengasuh Pondok Pesantren “Al-Bayan”, Rangkasbitung, Banten Selatan

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *