Jalanhijrah.com- ACT kembali memanas, setelah mantan Presiden ACT, Ahyudin siap mengaku (menjadi tersangka/korban) atas dugaan penyelewengan donasi umat. Ia juga siap dipenjara dengan satu permintaan: ACT harus tetap ada!
Namun dalam keterangan pers, Ahyudin seperti ingin mengelak sekaligus mengiba, dengan memakai bahasa: “Saya siap berkorban dan dikorbankan”. Jika kita meninjau secara semiotik, Ahyudin berada dalam posisi terpojok. Mundur kenak, maju kenak. Mengelak bukti sudah terang benderang. Mau mengaku takut penjaranya panjang.
Beginilah Cara Ahyudin Mengeles:
“Demi Allah saya siap berkorban atau dikorbankan sekalipun asal semoga ACT sebagai sebuah lembaga kemanusiaan yang insyaallah lebih besar manfaatnya untuk masyarakat luas tetap bisa hadir eksis berkembang dengan sebaik-baiknya,” kata Ahyudin saat ke luar gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (Detik/12/7/2022).
Sederhananya, Ahyudin ingin mengaku dengan bahasa halus. Seolah-olah dia tidak bersalah, tapi juga mengakui bahwa dia benar-benar telah melakukan kesalahan karena telah menikmati uang umat tersebut. Di sisi lain, dia juga ingin menjadi pahlawan kekembungan, dengan mengatakan bahwa lembaganya harus diselematkan meski ia menjadi korban atau dikorbankan.
Dia siap menjadi tersangka dalam penilapan uang umat ini. “Asal ACT sebagai sebuah lembaga kemanusiaan milik bangsa ini tetap eksis hadir memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat luas saya ikhlas, saya terima ya dengan sebaik-baiknya,” tambahnya.
Sudah Terpojok?
Geli tidak sih, mendengar orang memakan duit umat secara sadar, untuk sekadar foya-foya, tapi masih mangkir keparan-paran? Satu hal yang barangkali banyak orang marah, ACT tindak-tanduknya, menjual penderitaan umat, menjual nasib orang yang sengsara, menjual muka dan foto-foto orang-orang tertimpa musibah. Mikik mukanya, suaranya, kabarnya, ditukar tambah oleh ACT untuk mendapatkan pundi-pundi uang dari padanya.
Nahasnya, uang-uang umat yang menderita ini, tidak sampai pada korban-korban. Atau bila masuk, hanya secuilnya saja. Sisanya, masuk pada dompet-dompet atau saku para petinggi Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) ini, berkedok gaji buta. Parah!
Pemangkasan yang Keterlaluan
Kabar terbaru, Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) terungkap, bahwa mereka memotong hingga 20% untuk gaji dari dana yang dihimpun sekitar Rp 60 miliar tiap bulan. Donasi-donasi yang terkumpul itu, langsung dipangkas/dopotong oleh pihak ACT sebesar 10-20 persen (Rp 6-12 miliar) untuk keperluan pembayaran gaji pengurus. Dan menurut undang-undang yang berlaku, pemangkasan tersebut sudah berada di luar kewajaran.
Ahmad Ramadhan (Karo Penmas Divhumas Polri Brigjen) menemukan, penyelewengan dana di Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), tak hanya terjadi dan mengalir deras pada pengurus dan karyawan. Pundi-pundi uang juga mengalir ke pihak lain yang masih berkaitan dengan ACT. Demikian itu, adalah bentuk kejahatan yang teroganisir, dan hal tersebut adalah bentuk penyelewangan yang tidak bisa dimaafkan.
Padahal, dana-dana yang terkumpul khusus untuk membantu korban. Dana-dana ini berasal dari masyarakat umum, donasi kemitraan perusahaan nasional dan internasional, donasi institusi/kelembagaan nonkorporasi dalam negeri maupun internasional, hingga donasi dari komunitas dan donasi dari anggota lembaga, yang dengan hati memberikan bantuan kepada para korban yang membutuhkan.
Tapi, ternyata, dana dari sumber itu diambil untuk menuruti nafsu semata. Dana-dana umat yang sengsara, digelapkan sekadar untuk hidup foya-foya. Dana anak-anak yang terpampang di foto flayer ACT seluruh cabang Indonesia, sekadar tempelan saja untuk mendapatkan pundi-pundi uang, yang nantinya masuk pada kantong pengurusnya.
ACT Sebaiknya Dibubarkan
Dan benar terjadi, hari ini ACT juga diduga menggelapkan dana bantuan bagi korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018. Dana bantuan itu terdiri dari santunan tunai senilai Rp 2,06 miliar dan dana sosial atau CSR dengan jumlah serupa.
Yang bertanggung jawab atas semua ini adalah Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua, pengurus, dan pembina. Serta Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana sosial/CSR dari pihak Boeing untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi (detik/9/7/22).
Artinya, jika kasusnya sangat banyak yang dilakukan oleh pihak ACT, yang bersalah tidak hanya oknumnya saja. Melainkan ACT sebagai lembaga sudah tidak pantas untuk dijadikan lembaga filantropi di Indonesia. ACT sudah menjadi lembaga anti sosial. ACT sudah bukan lagi menjadi lembaga yang menjunjung tinggi harkat, martabat, dan derajat manusia dan kemanusiaan. Tapi sebaliknya. Maka sebaiknya, saya mengamini komentar umat: ACT sudah sebaiknya dibubarkan saja.
Penulis