Jalanhijrah.com – Polemik wayang yang menyeret salah satu dai kondang, ustaz Khalid Basalamah, ke gelanggang perundungan nasional masih terus bergulir. Orang-orang pada berkomentar menanggapi. Komentar mereka kepada ustaz Khalid sungguh menggelitik. Kritik mereka sering kali out of context, hingga menuduh yang tidak benar. Di tengah polemik, lahirlah kemudian polemik yang baru. Alih-alih menyelesaikan, malah menambah.
Ceramah ustaz Khalid tentang wayang sebenarnya merupakan video lama. Sang dai pun telah minta maaf secara terbuka, dan mengaku bahwa ia sangat mencintai Indonesia dengan segala budayanya. Namun nyatanya polemik wayang tidak juga mereda, dan ustaz Khalid diserbu oleh banyak pihak mulai dari penulis lepas hingga akademisi. Komentar yang mengoreksi, mereka mengatasnamakan Muslim moderat dan benteng NKRI.
Itu berarti sama dengan kita, bukan? Kita, di Indonesia, jika konsekuen terhadap kearifan lokal, toleran, cinta sesama, akan mengklaim diri sebagai pihak yang moderat. Moderasi digaungkan kemana-mana, bahkan melibatkan seluruh jajaran kementerian. Tapi aksi-aksi kaum moderat kerap kali justru memperlihatkan ketidakmoderatannya: sebuah hipokrisi—antara ucapan dan fakta lapangan tidak sesuai.
Pada kasus ustaz Khalid, ini contohnya. Kita, yang mengklaim moderat ini sangat ceroboh. Kenapa baru sekarang diributkan? Ke mana dari dulu saat ceramah tersebut muncul? Apakah kita malas mendengarkan ceramah yang berbeda, lalu hanya bersedia menanggapi ketika ceramah tersebut viral dan jadi polemik? Mengapa setiap ada polemik, setiap kita maju ke depan sebagai orang yang paling moderat?
Salafi dan Wahhabi
Kontra-Salafi alias kontra-Wahabisme diulas secara ciamik oleh ustaz Kholid Syeirazi, intelektual muda NU dalam tulisan terbarunya, Kontra Wahabisme; Ditinjau Ulang. Kholid Syeirazi salah satunya menanggapi polemik Khalid Basalamah yang, menurutnya, ditanggapi kita secara berlebihan dan sampai pada taraf merundung orang lain. Ia menyarankan, ada yang perlu diubah dari cara kita melawan Wahabisme. Intinya, tidak boleh sampai menghina.
Ihwal melawan orang Wahhabi seperti ustaz Khalid Basalamah, ustaz Kholid Syeirazi mengatakan,
“Saya mengajak kita semua keluar dari medan magnet Wahhabisme. Jangan habiskan waktu untuk perang dalil dengan mereka, atau lebih buruk lagi, saling rundung dengan mereka… Ini pesan persaudaraan. Untuk Pak Khalid Basalamah dan teman-teman lainnya: ‘Pokoknya asal orang Islam masih salat, menghadap kiblat, dan menjalankan syariat, jangan sakiti mereka dengan tuduhan bid’ah dan sesat.’ Untuk teman-teman NU dan lainnya: ‘Pokoknya asal masih salat, salatnya menghadap kiblat, mereka adalah saudara seagama.’ Mereka berhak selamat dari olok-olok lisan kita. Saling rundung bisa jadi bibit perang saudara.”
Dalam tulisan sebelumnya, Salafi maupun Wahhabi, yang keduanya merupakan satu-kesatuan, kita sudah lengkap mengulas. Wahhabisasi merupakan proyek Arab Saudi, dan ustaz Khalid bersama ustaz seideologi, seperti Firanda Andirja dan Yazid bin Abdul Qadir Jawas, adalah korban dari proyek Wahhabisasi tersebut. Namun tidak seperti Firanda dan Yazid, ustaz Khalid lebih halus dan tidak keras. Meski suka membid’ahkan, itu efek samping ke-Wahhabi-annya.
Tugas Bersama
Catatannya di sini adalah, bahwa dalam mengonter narasi Wahhabi, kita tidak boleh ceroboh. Ada dua cara yang ingin diajukan di sini, untuk mengatasi kecerobohan tersebut.
Pertama, menanggapi ceramah secara aktual. Kita, yang mengaku moderat dan paling cinta NKRI ini, mesti melek literasi Wahhabi. Kita tidak boleh malas mendengar ceramah mereka, betapa pun menjengkelkan, agar ketika ada yang kurang baik bisa segera kita tanggapi. Sehingga kita tidak ketinggalan zaman, misalnya ceramah tahun 2017 baru viral 2022, dan kita menanggapi empat tahun dari waktu ceramah aslinya. Ini ceroboh, namanya.
Kedua, tidak menyerang secara membabi-buta. Tanggapan untuk melemahkan argumentasi Wahhabisme seperti yang ustaz Khalid ceramahkan sebenarnya sangat mudah. Dalil mereka lemah, mudah dipatahkan. Sayangnya kita kerap kali menanggapinya secara sporadis. Akibatnya, mereka yang pro-ustaz Khalid dari awal tidak bersimpati kepada kita, dan justru semakin yakin bahwa junjungan Wahhabi mereka paling layak jadi panutan.
Melihat kerasnya bullying terhadap ustaz Khalid hari ini, siapa yang tidak kasihan? Apalagi yang ikut melakukan perundungan adalah BuzzeRP seperti Denny Siregar, Ade Armando, dan Abu Janda al-Tololi. Yang ada malah kita semua disamaderajatkan dengan mereka para BuzzeRP. Mau memberantas Wahhabi, malah derajat kita anjlok karena kecerobohan kita dan serangan yang membabi-buta.
Karenanya, seperti kata ustaz Kholid Syeirazi, kaum moderat seperti kita harus adil dalam menanggapi polemik—adil adalah salah satu syarat wasathiyah. Seperti Gus Dur, kita tidak boleh hanya tajam memprotes intoleransi, seperti polemik wayang ala ustaz Khalid Basalamah. Kita juga harus kritis terhadap sosial-politik yang semakin ke sini, semakin tidak karuan.
Korupsi di mana-mana, seperti yang terbaru, korupsi satelit yang merugikan negara hampir 1 triliun. Tetapi ke mana kita? Mengapa kita jadi seperti Ngabalin yang keras dalam masalah intoleransi namun lembek dalam masalah sosial, yang sama-sama merugikan negara?
Seburuk-buruknya ustaz Khalid Basalamah, masih lebih bermartabat daripada penjilat istana: Ali Mochtar Ngabalin. Harusnya yang kita kritik dan telanjangi keburukannya setiap hari adalah Ngabalin itu. Dia sampah republik!!!
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…