Jalanhijrah.com-Masyarakat percaya, pesantren, jika anak yang dititipkan di sana buruk perangainya, dapat memperbaikinya menjadi pribadi yang baik. Bahkan, pesantren, jika anak tersebut memiliki pribadi yang baik, akan dapat mengantarkannya menjadi pribadi yang semakin baik.
Selain itu, masyarakat mulai jenuh melihat pendidikan di luar pesantren yang mulai meng-anak-tiri-kan ilmu agama sebagai pengetahuan paling penting dipelajari. Ditambah lagi, masyarakat khawatir melihat pergaulan bebas di luar pesantren yang diduga dapat menyeret anaknya menjadi pribadi yang tidak baik. Karena itu, pesantren di mata mereka menjadi pilihan paling tepat.
Sayangnya, pesantren mutakhir ini mengalami human error. Dibuktikan, salah satunya, dengan mencuatnya informasi guru agama pemilik Pondok Pesantren Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani, Bandung bernama Herry Wirawan yang mencabuli santri-santrinya. Peristiwa serupa sebenarnya sudah banyak diberitakan jauh sebelum peristiwa ini heboh di media sosial.
Peristiwa pelecehan seksual di pesantren selain yang terjadi pada Herry—sebagaimana dilansir dari media online detik.com—juga pernah terjadi pada pimpinan pesantren di Jombang, pimpinan pesantren di Jambi, pimpinan pesantren di Serang, pimpinan pesantren di Gorontalo, pimpinan pesantren di Ponorogo, pengasuh pesantren di Mojokerto, pimpinan pesantren di Lhokseumawe, pimpinan pesantren di Jember, dan pengasuh pesantren di Kediri.
Deretan kasus pelecehan seksual tersebut, apalagi dilakukan oleh pimpinan pesantren, tidak dapat dipandang sebagai kasus yang sepele. Kasus ini secara tidak langsung merusak citra baik pesantren di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan semakin berkurang beriring waktu jika kasus ini tidak segera ditangani. Karena, tidak menutup kemungkinan akan terbentuk opini publik bahwa pesantren tidak jauh berbeda dengan lembaga di luar pesantren, bahkan lebih parah.
Pesantren semestinya mulai membuka diri. Maksudnya, jika dari dulu pesantren dianggap sakral, sehingga tidak boleh dikritik, maka sekarang pesantren mulai terbuka dievaluasi. Karena, pesantren yang mulanya sehat sekarang sedang mengidap penyakit, sehingga perlu diobati. Mengevaluasi pesantren bisa jadi cara paling baik untuk mengobati penyakit kronis yang menyerang itu.
Mengevaluasi diri sesungguhnya sudah diajarkan di pesantren. Biasanya orang pesantren menyebutnya dengan muhasabah. Sayangnya, pesantren lebih banyak melihat ke luar dibandingkan ke dalam. Maksudnya, kehidupan di luar pesantren dipandang tidak sesaleh atau sebaik di pesantren. Sehingga, pesantren lupa mengevalusi dirinya sendiri. Tidak heran bila kasus pelecehan seksual mulai menjamur di pesantren.
Mengevaluasi diri akan mengantarkan pesantren terbuka melihat masa depan. Pesantren tidak melulu mengajarkan ilmu agama, apalagi dengan pendekatan klasik. Pesantren mulai mengajarkan segala disiplin ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh santri (orang yang belajar di pesantren), mulai ilmu agama hingga ilmu umum. Keterbukaan ini, sejauh pengamatan saya, mulai dilakukan oleh pesantren semi-modern, bahkan pesantren modern.
Sesuatu yang sangat disayangkan bila dihadapkan dengan perkembangan zaman adalah pesantren salaf. Pesantren semacam ini masih menutup diri dari perkembangan zaman. Santri sebatas dicekoki dengan ilmu agama saja. Itu pun pendekatannya klasik (out of date). Bahkan, santri cenderung dibatasi dalam berpikir. Semisal, dilarang membaca buku-buku filsafat yang mengajarkan berpikir kritis.
Pentingnya keterbukaan dan kritis berpikir di pesantren menjadi bekal bagi santri ketika kembali ke tengah-tengah masyarakat. Sikap kritis ini dapat membentengi santri paling tidak dari paham-paham yang menyesatkan, yaitu radikalisme. Sangat mungkin santri yang tertutup akan terpapar paham membahayakan ini, meski di pesantren sudah belajar banyak tentang ilmu agama.
Lebih dari itu, keterbukaan dan kritis berpikir akan mengantarkan santri dapat memilah dan memilih mana yang benar (haqq) dan yang batil (bathil). Salah satu alasan santri putri tidak berani bersuara (speak up) ke publik ketika Herry dan pimpinan pesantren yang lain melakukan aksi bejatnya adalah karena hilangnya berpikir kritis dalam benak santri. Santri mudah dibohongi oleh gurunya sendiri bahwa aksi bejat gurunya dianggapnya sebagai kebenaran. Padahal, dalam agama Islam sudah jelas, bahwa zina itu dilarang alias dosa besar.
Kritis berpikir akan menyelamatkan santri dari kebohongan sang guru yang mencoba berlindung di balik instrumen agama. Semisal, agar zina yang dilakukan guru itu diterima di benak santrinya, si guru ini berdalih bahwa itu bukan zina tapi nikah muth’ah yang biasanya dilakukan oleh Syiah dan milkul yamin yang biasanya dilakukan oleh kelompok salafi. Padahal, perbuatan zina ini dengan alasan apapun tetap haram dan dosa besar.
Cendekiawan muda Gus Najih pernah menyampaikan di Podcast Deddy Corbuzier, bahwa kejahatan apapun apabila dibungkus dengan agama akan terlihat mulia. Pernyataan Gus Najih ini sangat masuk akal. Zina jika disebut dengan nikah muth’ah dan milkul yamin terdengar mulia, meski ia tetap tidak benar alias berdosa. Dalam kasus yang lain, misal, aksi-aksi terorisme yang disebut dengan jihad akan terdengar mulia, padahal perbuatan ini dilaknat dalam agama Islam.
Sebagai penutup, peristiwa pelecehan seksual, apalagi dilakukan oleh pimpinan pesantren, menjadi teguran besar kepada pesantren untuk lebih memperbanyak evaluasi. Pesantren yang gemar mengevaluasi diri akan dihantarkan menjadi lembaga yang selamat dari perbuatan mungkar tersebut. Jangan jadikan pesantren tertutup, sehingga lupa melihat kesalahannya sendiri. Tapi, jadikanlah pesantren terbuka, sehingga ia juga mengakui kebenaran orang lain.[] Shallallah ala Muhammad.