Menguak Halaqah, Sumpah, dan Jenjang Keanggotaan Hizbut Tahrir di Negara Kita

Jalanhijrah.com – Hizbut Tahrir (HT) adalah nama yang tak asing lagi khususnya bagi umat Islam yang berdomisili di kota-kota besar. Sekalipun sudah dicabut legalitasnya oleh Menkopolhukam di era  Joko Widodo, mereka masih berusaha menyebarkan ide-ide HT baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Di dunia nyata, mereka gigih menyebar buletin Kaffah di masjid-masjid berlatar Muhammadiyah. Di dunia maya, mereka mengoptimalkan dakwah online melalui Instagram dan facebook. Di Facebook, saya jumpai seorang syabab HTI membuka kursus Bahasa Arab tanpa dipungut biaya alias gratis.

Dalam buku Mengenal Hizbut Tahrir, mereka mengaku politik merupakan kegiatannya dan Islam adalah mabda. Sekalipun mengaku politik sebagai kegiatannya, tetapi tak pernah sekalipun mereka berpartisipasi ikut Pemilihan legislatif (Pileg) di Indonesia. Bisa dikatakan mereka Golput setiap pemilu digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di sejumlah negara yang subur iklim demokrasi khususnya di Turki, Malaysia dan Indonesia, HT mengalami perkembangan yang pesat. Terbukti di antaranya banyak menarik kalangan terdidik perkotaan, yang terdiri dari akademisi, profesional dan mahasiswa. Kalangan pesantren berlatar NU dan ma’had Salafi justru tidak begitu banyak tertarik gabung HTI.

Tulisan ini berfokus pada Halaqah, sumpah hingga jenjang keanggotaan di internal HTI. Dalam berbagai kesempatan mereka mengaku bahwa gerakan ini untuk seluruh umat Islam. Dalam merekrut anggota tidak lagi memandang dari segi ras, warna kulit maupun mazhab mereka. Mereka bersedia menerima orang Syiah atau aliran-aliran lainnya yang dianggap menyimpang untuk jadi anggota asalkan mereka meninggalkan hal-hal yang jelas bertentangan menurut syara’.

Baca Juga  Belajar Bijak Bermedia Sosial dari Kasus Eko Kuntadhi

Saya ingat betul saat mewawancarai Ketua HTI kota Malang, bapak Abdul Malik M.T (Mei 2009), anggota HT di Irak dulunya banyak yang penganut Syiah, tapi ketika sudah bergabung ajaran Syiahnya yang “menyimpang” otomatis harus ditanggalkan.

Untuk menjadi anggota HT, seseorang harus melewati tahapan yang relatif panjang, pertama-tama harus mengikuti halaqah ‘am yang berlangsung kira-kira selama satu tahun. Setelah mengikuti halaqah ‘am, masih ada tahapan berikutnya yang harus dilewati, yaitu tathqif murakaz. Dalam tahapan ini, Hizbut tahrir membagi halaqah ke dalam dua jenjang.

Jenjang pertama disebut darisin, yakni seseorang yang (sebatas) mengkaji secara mendalam ide-ide HT. Jenjang kedua, hizbiyyin. Pada jenjang ini seseorang dinyatakan sebagai anggota Hizbut tahrir. Dengan tahapan panjang yang harus dilalui calon anggota HT, diharapkan mereka mempunyai komitmen mengambil dan mnerapkan ide-ide HT.

Komitmen calon anggota Hizbut tahrir dinyatakan dalam bentuk qosam(sumpah) di hadapan mushrif dan masy’ul (penanggung jawab). Prof. Syamsul Arifin dalam Ideologi dan Praksis Gerakan Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizbut Tahrir Indonesia (UMM Press, 2005) menyebut Qosam merupakan salah satu cara yang dilakukan HT agar anggota memiliki komitmen yang tinggi.

Calon anggota HT, berjanji atas nama Allah untuk taat pada hukum syara; taat kepada Amir HT; mau mengadopsi  ide-ide dan pendapat HT; mau mengemban dakwah islam. Dilihat dari qosamnya, tak ada sama sekali ikrar setia kepada NKRI.

Baca Juga  Ngabuburit Zaman Now, Jalan-jalan atau Scroll Tiktok?

Di internal HT tidak mengenal istilah junior dan senior. Semua anggotanya dipandang sama. Yang membedakan satu sama lainnya hanya keaktifan dalam dakwah dan adanya penghormatan kepada orang-orang yang perlu dihormati sebagaimana islam menyuruh pemeluknya untuk saling menghormati.

Hingga tulisan terbit di laman Harakatuna.com, belum ada transparansi jumlah anggota HT di Indonesia. Jangankan jumlah anggota, Dulu, ketika berkunjung beberapa kali ke kantor DPD kota Malang, tak ada bagan struktur organisasi. Apa saja lajnah yang mereka miliki. Adakah Lembaga fatwa khusus seperti Majlis tarjih Muhammadiyah, Bahtsul masail NU dan Dewan Hisbah Persis.

Jika tidak punya, maka patut dicurigai di internal mereka kelangkaan ulama yang faqih. Pada era sekarang, trendnya adalah berijtihad kolektif. Tak ada ulama yang mampu berijtihad mandiri sebagaimana 4 Imam mazhab di masa lampau.

Selain itu, kitab-kitab turats yang dikaji mayoritas berasal dari karangan elit mereka. Yang jadi pertanyaan terbesar di sini adalah adakah kajian kitab Ushul fikih yang berciri khas Hizbut tahrir? berciri khas HTI saya sebut bermula klaim mereka yang menganggap Taqiyuddin an-Nabhani sebagai mujtahid mutlaq.

Tentu hal ini bukan sebutan biasa di jagat Fikih perbandingan Mazhab. Sosok yang dianggap Mujtahid mutlaq harusnya punya formulasi ushul fikih yang berbeda dari 4 mazhab. Jika tidak ada formulasi khusus tentang hal itu, maka klaim seperti ini bisa dikatakan hoaks!

Baca Juga  Cocokologi URB: Dari Keruntuhan Turki Usmani, Pemilu 2024, hingga Kemerdekaan Palestina

Penulis: Fadh Ahmad Arifan Alumni Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *