Memberangus Akar “Soft-Terrorism”

Jalanhijrah.com-Ledakan bom bunuh diri di depan Mapolsek Astana Anyar, Bandung, beberapa waktu lalu, menghentak alam bawah sadar kita. Gugurnya satu anggota Polri dan 9 orang lainnya yang terluka menambah rasa keprihatinan kita. Apa yang ada di pikiran teroris? Belum sembuh luka fisik dan psikis sebagian warga Jawa Barat akibat rentetan bencana alam gempa bumi. Alih-alih, bersimpati kelompok teror justru memanfaatkan momentum untuk menjalankan aksi.

Tidak kalah berbahayanya dengan para bomber di lapangan adalah para pendengung di media sosial yang menyikapi aksi teror secara permisif bahkan acapkali mengglorifikasi teroris. Saban kali aksi teror terjadi, pasukan pendengung ini gencar membela pelaku teror dengan sejumlah narasi. Meminjam istilah Ahmed Y. Tulga fenomena ini disebut sebagai “soft-terrorism”.

Tulga mengklasifikasikan fenomena terorisme ke dalam dua corak. Pertama, hard-terrorism yakni terorisme yang mewujud pada aksi-aksi kekerasan brutal seperti pengeboman, penyerangan, atau sabotase yang dapat menimbulkan korban jiwa dan kerusakan fisik. Hard-terrorism biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memang terlibat jaringan teroris dan memiliki militansi yang tinggi.

Tujuan hard-terrorism adalah menimbulkan ketakuan dan kepanikan publik dengan aksi-aksi brutal yang mereka lakukan. Aksi hard-terrorism ini bisa dinilai berhasil manakala publik merasa cemas dan takut lantas mudah digiring opininya oleh kepentingan tertentu.

Sedangkan soft-terrorism bisa dikatakan sebagai bentuk propaganda kekerasan dan teror yang dilakukan secara halus, di belakang layar, dengan bermacam narasi. Wujud praktik soft-terrorism ini bermacam-macam. Antara lain, penyebaran narasi intoleran, radikal, dan ekstrem yang berkecenderungan memecah belah umat dan bangsa. Di samping itu, soft-terrorism juga kerap mewujud pada sikap mendukung dan bersimpati bahkan mengglorifikasi aksi-aksi terorisme.

Baca Juga  International Women’s Day dan Kontra-Terorisme

Lima Ciri Soft-Terrorism

Ketiga, di saat yang sama, mereka kerap mengglorifikasi aksi teror sebagai jihad alias berjuang demi agama Islam. Keempat, mereka selalu menganggap pelaku teror sebagai mujahid dan menganggapnya mati syahid. Kelima, menggiring opini bahwa pemberantasan terorisme ialah bentuk sikap islamophobia pemerintah.

Pada dasarnya, soft-terrorism dan hard-terrorism ini saling berkait-kelindan dan sama berbahayanya. Aksi teror dan kekerasan fisik di lapangan alias hard-terrorism mustahil terjadi tanpa adanya narasi dan paham yang menyokong di balik layar (soft-terrorism). Selama ini, paham yang dikembangkan dalam konteks soft-terrorism ini ada tiga, yakni takfirisme, jihadisme, dan thaghutisme.

Takfirisme ialah paham yang mudah menuding kelompok yang berbeda agama dan pandangan keagamaan sebagai kafir dan sesat. Paham takfirisme ini dipopulerkan oleh kelompok salafi-wahabi kontemporer yang kerap memahami ajaran agama secara rigid (kaku), tekstualis, dan literalistik. Artinya, mereka meyakini bahwa kebenaran hakiki adalah apa yang termuat dalam teks. Ironisya, mereka memahami teks tersebut secara harafiah tanpa melakukan relevansi apalagi kontekstualisasi.

Alhasil, produk tafsir yang mereka hasilkan terkesan konservatif. Pada akhirnya, hal itu berdampak pada perilaku keagamaan yang eksklusif. Yakni merasa diri paling benar dan menganggap golongan lain salah. Puncaknya ialah muncul pandangan bahwa kelompok yang berbeda dan dilabeli kafir itu merupakan musuh yang wajib dimusnahkan.

Baca Juga  Tiga Seniman Beda Iman Meramu Seni Rupa Kontemporer: Ada Sains dan Spiritualitas

Kedua, jihadisme yakni membingkai makna jihad ke dalam perspektif ideologis-politis. Jihad dipahami semata sebagai sebuah perjuangan fisik dalam mewujudkan agenda atau cita-cita politik. Paham jihadisme juga banyak disebarluaskan oleh kelompok salafi-kontemporer yang meyakini bahwa saat ini umat Islam mengemban kewajiban untuk berjihad menegakkan syariah dan khilafah.

Seruan jihad kaum salafi kontemporer ini kerap menjadi rujukan sekaligus alat pembenaran bagi gerakan radikal-teroris dalam melancarkan aksinya. Keberadaan milisi teroris seperi Alqaeda, ISIS, Boko Haram, MILF dan sebagainya dalam banyak hal memiliki keterkaitan erat dengan penyebaran doktrin salafi kontemporer. Jihadisme adalah representasi dari ideologi islamisme yang paling vulgar dan brutal dalam sejarah peradaban Islam modern.

Memberantas Paham Penyokong Terorisme

Terakhir ialah paham thaghutisme yakni sebuah keyakinan yang beranggapan bahwa semua negara atau pemerintahan yang tidak menerapkan syariah secara formal dan tidak berdasar sistem khilafah sudah pasti thaghut. Dalam artian, negara tersebut sudah pasti bertentangan dengan Islam dan tidak mengakui Allah sebagai penguasa tertinggi manusia. Cap thaghut yang disematkan secara paksa oleh kelompok teroris ini bukan tanpa menimbulkan persoalan.

Label thaghut pada negara atau pemerintah akan melunturkan kepercayaan masyarakat pada pemimpinnya. Hal ini bisa memicu gerakan pembangkangan sosial yang masif. Bahkan, pada titik tertentu hal itu bisa memicu kudeta atau pemberontakan. Thaghutisme bisa dikatakan sebagai sebuah paham yang berusaha menghancurkan bangsa dan negara dengan mengadu-domba antara umat dengan umara-nya.

Baca Juga  Hijrah dan Pandemi: Momentum Refleksi Melawan Radikalisme Agama

Arkian, kita patut waspada terhadap penyebaran tiga paham di atas yang biasanya didengungkan oleh kaum salafi-wahabi. Takfirisme, jihadisme, dan thaghutisme ialah embrio yang akan tumbuh menjadi terorisme. Untuk itu, kita harus mencegahnya sejak awal.

Penulis

Sivana Khamdi Syukria

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *