Jalanhijrah.com – Barang kali, sebagian dari kita sudah terlanjur mengatakan bahwa minat baca orang Indonesia sangat rendah. Secara realistis, tanpa harus malu, kita juga harus tegas mengatakan iya. Minat baca orang Indonesia menurut data penelitian yang dilakukan oleh UNESCO menunjukkan hanya 0,001%, atau dari 1000 orang hanya 1 orang saja yang rajin membaca.
Data ini mau tidak mau harus kita terima, namun bukan lantas kita abaikan. Harus ada upaya dari segala elemen untuk setidaknya memperbaiki data ini. Artinya, bukan hanya Pemerintah, namun kita juga punya PR untuk mendorong masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang mempunyai budaya literasi yang kuat, rajin baca.
Tulisan ini sebnarnya bukan bermaksud membahas rendahnya minat baca orang Indonesia yang sangat rendah. Mungkin tulisan semacam itu telah banyak kita jumpai di berbagai buku atau media massa baik cetak maupun digital. Terlepas dari itu, sebenarnya saya hanya ingin mengatakan bahwa budaya membaca yang kuat itu merupakan titik awal kemajuan peradaban suatu bangsa.
Mengapa demikian? Sebab bangsa yang budaya literasinya kuat, masyarakatnya suka membaca dan cinta ilmu pengetahuan, dapat dipastikan bangsa tersebut adalah bangsa yang maju; menguasai teknologi dan peradaban.
Kita lihat saja bangsa Eropa. Katakanlah Barat yang saat ini hampir seluruh negaranya kita sebut sebagai negara maju. Mereka maju tidak lain disebabkan budaya literasinya yang kuat. Berangkat dari itulah mereka bisa menciptakan teknologi dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan baru yang berguna untuk kehidupan di muka bumi. Sementara itu, kita lihat juga bangsa Timur yang dalam sejarah pernah memegang keemasan peradaban, namun runtuh sebab perpecahan-perpecahan yang tidak lain terutama karena persoalan teologis. Sampai saat ini.
Maka dari itu, jika ingin membangun peradaban yang megah, bangunlah melalui pondasi “membaca”. Rajin membaca berarti mencintai ilmu pengetahuan, dan dari kemajuan ilmu pengetahuan itulah suatu bangsa akan merangkak menuju peradaban yang maju. Dengan membaca pula kita akan dipertemukan pada luasnya cakrawala yang tanpa batas. Membaca halaman demi halaman buku seumpama merangkai lempengan-lempengan dunia, yang semakin banyak kita rangkai semakin luas pula isi dunia itu akan kita lihat.
Banyak membaca memang tidak menjanjikan kita kaya, tapi setidaknya ia menjanjikan kita menjadi orang yang luas pengetahuan. Jika pun tidak demikian, setidaknya tidak akan menjadikan kita orang yang sering kagetan. Sebab buku demi buku yang kita khatamkan akan mengajarkan luasnya keragaman.
Mengajarkan kita bahwa sesungguhnya kebenaran tidaklah tunggal. Pluralitas itu hak adanya dan harus kita terima. Oleh karena itu, jika ada sebagian kita sering menyalahkan orang lain hanya karena beda pemahaman, penyebabnya adalah bahwa ia kurang baca.
Fondasi Moderasi
Perintah membaca (iqra’) dalam ayat Alquran yang turun pertama kali dapat kita kontekstualisasikan terhadap apa yang sudah saya jelaskan di atas. Termasuk dalam konteks kehidupan beragama, di mana tidak bisa kita pungkiri bahwa pluralitas merupakan hal yang pasti di dalamnya.
Corak beragama sebagian masyarakat kita hari ini merangkak pada pola keberagamaan yang eksklusif. Berkembangnya kelompok-kelompok keagamaan (Islam) yang datang belakangan, yang sekaligus membawa kultur pemikiran yang tidak sebagaimana berkembang di Indonesia pada umumnya, apalagi yang sampai mengkafir-kafirkan bahkan menghalalkan darah orang yang tidak seiman, adalah satu contoh nyata.
Para pemukanya biasanya orang-orang berpendidikan, dan bagi saya, bekal ilmu mereka cukup memadai, akan tetapi kurang baca. Kurang membaca segala hal yang di luar literatur kelompok mereka. Dari sinilah pemahaman keagamaan yang sempit tumbuh.
Dan karena itu, pada intinya, bacalah apa saja. Di dalam bahkan di luar literatur kegaamaan yang kita yakini sekalipun. Sebab hanya dengan itulah corak keberagamaan yang inklusif dan moderat dapat kita ciptakan di tengah kehidupan yang beragam.
Terutama kepada generasi milenial, kita punya satu tugas untuk membuat mereka cinta pada buku. Sebab hanya itulah yang akan mengantarkan mereka pada kemajuan berpikir dan sikap moderat. Moderatisme pada akhirnya akan melahirkan toleransi, dan hidup di Indonesia , toleransi itu wajib hukumnya.
Sampai saat ini, saya masih mengamini apa yang pernah dikatakan Gus Dur, bahwa “semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya”. Nah, untuk mencapai ketinggian ilmu, sekali lagi, banyaklah membaca!