Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming meminta kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti untuk memasukan kurikulum coding sejak sekolah dasar. Gibran menyatakan kebutuhan akan pemrograman dan kecerdasan buatan (AI) penting guna menyokong Indonesia Emas 2045. “Kita ingin lebih banyak lagi ahli-ahli coding, ahli-ahli AI, ahli-ahli machine learning, dan lain-lainnya,” katanya pada Senin (11/11).
Mu’ti pun menyambut baik usul dari Gibran. Kementeriannya akan menyiapkan mata pelajaran coding dan AI dimulai dari kelas 4 SD. Harapannya hal ini dapat memajukan salah satu misi Asta Cita, yaitu penguatan-penguatan pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, termasuk prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. “Kami sampaikan untuk pembelajaran coding sebagai kurikulum mata pelajaran pilihan sekolah (bagi yang sudah siap),” ucapnya pada Selasa, (26/11).
Penguatan pendidikan dalam rumpun science, technology, engineering, and mathematics (STEM) sudah terlihat sejak kampanye Prabowo Subianto pada Pemilu lalu. Dirinya terus menggaungkan peningkatan riset dan pengembangan pengetahuan di ranah ilmu alam. Lewat pendekatan ke sains alam, pemerintah berharap mampu membantu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Motif dari pemasukan mata pelajaran coding sudah jelas terlihat sebagai langkah penyiapan tenaga kerja di sektor digital. Hal semacam ini bukan barang baru, kita sudah melihat sebelumnya di Merdeka Belajar, yang mengedepankan konsep link and match, yaitu integrasi atau pencocokan antara sekolah dengan industri. Meski begitu, kebijakan Merdeka Belajar tidak semerta-merta “Mengajarkan coding” ke anak SD. Pelajaran-pelajaran yang lebih spesifik, ditempatkan pada jenjang menengah akhir.
Sebetulnya, sah-sah saja bila pendidikan dicondongkan ke arah pemenuhan kebutuhan industri. Malah semakin baik jika link and match dapat terlaksana dengan maksimal. Namun, perlu dipahami juga bila industri sangat cepat bertransformasi. Ambil contoh saja jurusan Teknik Komputer dan Jaringan yang ada di SMK, bila output lulusan mereka adalah ahli IT, sudah tentu mereka kalah telak dengan para sarjana, industri pastinya lebih memilih lulusan bangku kuliah dibanding SMK. Apa institusi pendidikan dapat bertransformasi secepat itu? Saya rasa tidak.
Orientasi pendidikan untuk bekerja berpotensi mengabaikan hal-hal krusial dalam pembelajaran. Seorang filsuf asal Amerika Serikat (AS), John Dewey pernah menyinggung persoalan ini pada awal abad ke-20. Orientasi pembelajaran disempitkan pada kemampuan bekerja nantinya hanya akan menciptakan manusia-manusia mekanis. Hal ini juga membuat pembelajaran sejarah maupun ilmu sosial menjadi semakin terabaikan di kelas.
Lagi pula, bila tujuannya hanya menciptakan ahli di bidang IT, tidak perlu susah-susah lewat pelajaran coding. Masukan saja ke lembaga pelatihan kerja (LPK), satu sampai dua tahun sudah menjadi ahli.
Pemasukan mata pelajaran coding bukanlah solusi untuk menciptakan ahli IT. Malah hal ini akan menambah beban peserta didik maupun pendidik. Apalagi kebijakan ini cenderung sangat FOMO dan terburu-buru. Pemangku kebijakan seolah buta terhadap masalah yang dihadapi sekolah. Memang sudah cukup fasilitasnya? Pun kalau sudah ada fasilitasnya apa pendidiknya tersedia?
Kedua, bila memang akan diselenggarakan pada sekolah yang siap, bukankah ini hanya akan menciptakan segregasi? Bila membicarakan kesiapan mungkin hanya sekolah di Jakarta saja yang akan mencetak “Ahli-ahli coding”.
Alih-alih pemerintah berfokus pada pencetakan ahli coding, lebih baik sumber daya yang ada digunakan untuk memperkaya kualitas pembelajaran yang ada. Saya tidak menihilkan pembelajaran teknologi, tapi kerangka pembelajarannya harus diperbaiki. Bukan untuk menciptakan ahli coding, tapi untuk memperkaya pengalaman pembelajaran peserta didik.
Bagaimanapun ahli-ahli teknologi atau bidang lain tidak sejak sekolah dasar mereka memfokuskan dirinya. Pemahaman interdisipliner ilmu tetap diperlukan peserta didik, ini berguna agar pengetahuan mereka akan dunia menjadi lebih komprehensif.
Maka bila pembelajaran coding tetap ingin dilangsungkan di jenjang dasar, harus menyesuaikan dengan konteksnya. Misalkan, pembelajaran coding disisipkan di ranah pembelajaran logika, atau matematika dasar. Pendidik pun harus bisa memantik rasa ingin tahu siswa lewat pendekatan dan pembelajaran yang menarik.
Tidak perlu secara spesifik membebani peserta didik “menjadi ahli IT”. Biarlah peserta didik mencari jati dirinya sendiri. Tugas negara dan pendidik hanyalah memfasilitasi. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”
**
Langkah Wakil Presiden Gibran Rakabuming yang meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti untuk memasukkan kurikulum coding sejak sekolah dasar patut diapresiasi. Gagasan ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang menempatkan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) sebagai pilar utama pembangunan. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah kurikulum coding sedini ini benar-benar perlu untuk generasi muda?
Di era digital, keterampilan coding dan pemahaman teknologi adalah kebutuhan mutlak. Dunia kerja masa depan akan didominasi oleh profesi berbasis teknologi, seperti pengembang perangkat lunak, ahli data, hingga spesialis AI. Memperkenalkan coding sejak dini dapat membekali generasi muda dengan kemampuan logika, pemecahan masalah, dan kreativitas—modal penting untuk bersaing secara global.
Sebagai contoh, negara-negara seperti Estonia, Singapura, dan Jepang telah mengintegrasikan coding ke dalam kurikulum dasar mereka. Hasilnya, anak-anak tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki pola pikir inovatif yang membantu mereka unggul dalam berbagai bidang.
Namun, memasukkan coding ke kurikulum nasional bukan tanpa tantangan. Infrastruktur pendidikan Indonesia belum merata. Tidak semua sekolah memiliki akses internet, perangkat komputer, atau tenaga pengajar yang mumpuni di bidang teknologi. Tanpa persiapan matang, kebijakan ini hanya akan memperlebar kesenjangan pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Selain itu, perlu ada strategi agar pelajaran coding tidak membebani anak-anak dengan kurikulum yang terlalu berat. Sebagai langkah awal, pelatihan guru dan penyediaan fasilitas teknologi harus menjadi prioritas sebelum implementasi skala besar dilakukan.
Meski tantangan besar dihadapi, urgensi mempersiapkan generasi muda untuk masa depan digital tidak bisa diabaikan. Coding, jika diajarkan dengan pendekatan yang menyenangkan, dapat menjadi bagian dari permainan edukatif yang menumbuhkan minat anak-anak terhadap sains dan teknologi.
Gibran menekankan pentingnya menghasilkan lebih banyak ahli coding, AI, dan machine learning. Langkah ini tidak hanya memperkuat SDM Indonesia, tetapi juga membuka peluang bagi anak bangsa untuk menciptakan solusi inovatif atas berbagai tantangan nasional, mulai dari efisiensi layanan publik hingga pengembangan teknologi ramah lingkungan.
Mengintegrasikan kurikulum coding ke jenjang sekolah dasar adalah investasi strategis untuk masa depan Indonesia. Namun, pemerintah harus memastikan kesiapan infrastruktur, pelatihan guru, dan desain kurikulum yang seimbang agar kebijakan ini dapat berjalan efektif.
Kurikulum coding ala Gibran adalah langkah visioner, tetapi implementasinya harus dilakukan dengan matang agar benar-benar mampu mencetak generasi muda yang siap menyongsong era teknologi. Inilah tantangan sekaligus peluang besar untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.
Sumber: https://arina.id/perspektif/ar-2STjE/salah-kaprah-pembelajaran-coding-ala-gibran