Jalanhijrah.com-Ramai soal penceramah radikal yang disebut-sebut BNPT menuai banyak respon. Satu sisi, penceramah radikal perlu dibedakan dengan sikap kritis yang dimiliki oleh seseorang. Artinya, sikap kritis terhadap pemerintah terhadap kebijakan yang selama ini diterapkan, jangan kemudian dianggap radikal apalagi saling tuduh radikal untuk berlindung di bawah kepentingan yang dimiliki.
Abdul Mu’ti, sekretaris umum pimpinan pusat Muhammadiyah ikut berkomentar atas fenomena itu yakni, “Daftar dan ciri-ciri tersebut justru menimbulkan kontroversi dan kegaduhan yang tidak perlu,” kata Mu’ti pada Senin (7/3/2022). Kotroversi dari apa yang disampaikan oleh BNPT ini semakin menunjukkan pemahaman blunder terhadap term radikalisme.
Bahwasanya radikalisme ini berpotensi besar untuk menghancurkan negara Indonesia, benar adanya. Tidak heran, ketika isu ini digoreng, dimasak kemudian dimanfaatkan secara obesitas oleh kelompok radikalis sendiri, hasilnya adalah, kelompok radikalis berlindung dari kemuakan masyarakat terhadap isu radikal yang sering diperbincangkan.
Meskipun demikian, setidaknya perlu kita ingat ada beberapa nama dari ciri penceramah radikal dalam daftar nama yang tersebar, yakni Ustaz Felix Shiauw dan Ismail Yusanto.
Kedua tokoh ini, getol mengkampanyekan khilafah dalam setiap segmen apapun. Mereka secara jelas tidak sepakat dengan Indonesia, mengusung khilafah di kelas dunia dengan pelbagai narasi apik tersebut. Tidak salah, jika kedua tokoh tersebut masuk jajaran penceramah yang tidak boleh diundang. Sebab merusak ideologi bangsa Indonesia, bahkan merusak Indonesia sebagai negara.
Masalahnya adalah, di media sosial tokoh tersebut sudah memiliki banyak pengikut, bahkan jutaan. Ibarat produk, mereka sudah memiliki pasar untuk jualan. Sehingga warning seperti apapun, seperti yang disampaikan oleh BNPT tidak berpengaruh terhadap pasar yang sudah dituju oleh para penceramah radikal ini. Yang ada justru, sikap hujatan, komentar negatif mengarah kepada pihak BNPT sendiri.
Saling tuduh radikal
Karena banyaknya komentar kepada pihak BNPT terkait beredarnya penceramah radikal, Kiai Cholil Nafis melalui akun twitternya juga berkomentar pada Senin (7/3)., yakni “Tapi jangan sampai yang amar ma’ruf dan nahi munkar karena mengkritik pemerintah lalu disebut radikal.”
Kalimat di atas seperti warning kepada kita bahwa, menanggapi fenomena yang blunder ini, saling tuduh radikal semakin membuat gaduh bangsa Indonesia. Disatu sisi, mengkritik pemerintah adalah bagian dari ruang negara demokrasi yang harus ada sebagai masukan, saran dan perbaikan yang perlu dilakukan oleh masyarakat. Sebab pada dasarnya, negara demokrasi sangat menghargai kritik sebagai wujud kebebasan.
Akan tetapi, jangan sampai hanya karena isu radikalisme yang terus menguat sampai hari ini, menjadi penyakit yang berbalik arah kepada kehancuran bangsa Indonesia sendiri karena sama-sama getol menuduh radikal. Sehingga tidak ada kesadaran dalam diri sampai dimana batas seseorang bersikap sebagai warga negara.
Jika kritik adalah bagian dari perbaikan yang bisa dilakukan sebagai masyarakat biasa, maka tidak dengan penolakan terhadap pemerintah yang sah, kemudian menyuarakan NKRI negara khilafah. Kelompok ini yang disebut radikal, menumbangkan pemerintahan yang resmi atas nama Islam dan kejayaan Islam di masa yang akan datang.
Islam, ramah dan membahagiakan
Blundernya masalah ini berakibat pada pemaknaan orang lain terhadap Islam itu sendiri. Artinya, masyarakatpun pasti merasa bahwa, sejauh ini permasalahan yang muncul seperti berjalan di tempat, isu radikalisme menjadi momok yang sangat menakutkan.
Kenyataan bahwa negara Indonesia tidak hanya terdiri dari kelompok muslim perlu kita pahami secara betul bagaimana konflik yang muncul berasal dari internal masyarakat muslim yang belum selesai memperdebatkan masalah yang sama. Masing-masing bersuara atas kepentingannya, bukan atas nama Islam. Khususnya kelompok penyeru khilafah. Apa kepentingan mereka? Yakni merampas pemerintah yang sah dengan jargon Islam yang dijual.
Padahal jika kita pahami secara seksama, Islam hadir sebagai risalah cinta dan kebahagiaan. Seperti apa yang disampaikan oleh Haidar Bagir (2012) dalam bukunya bahwa, pada dasarnya semua yang ada di dunia atas cintaNya.
Ada hubungan yang sangat erat antara cinta dan penciptaan. Dari sini, kita perlu memahami bahwa sang Pencipta kita adalah Maha Cinta, seyogyanya agama Islam juga tampil sebagai agama cinta yang mendamaikan, mengasihi sesama makhluk. Melalui pemahaman inilah perlu dipahami, prinsip atas praktik yang ditampilkan dalam beragama Islam adalah cinta kasih, bukan saling menghakimi, saling judging, dan sejenisnya. Wallahu a’lam
*Penulis: Muallifah