Jalanhijrah.com– Khawarij adalah salah satu dari aliran teologi yang berkembang pasca pecahnya perang saudara antara Muawwiyah bin Abi Sofyan dengan Ali bin Abi Thalib yang sering kita dengar dengan perang Siffin.
Perang ini berujung dengan Arbitrase Atau Tahkim. Yakni sebuah perundingan damai antara kedua belah pihak untuk menyepakati apa yang akan menjadi solusi dalam masalah yang dihadapi. Model perundingan yang dilakukan saat perang Siffin merupakan perundingan dengan mengutus wakil dari masing-masing kubu.
Sebelum jauh kesana, ada Golongan Islam yang tidak menyepakati adannya tahkim ini karna dinilai melenceng dari aturan Allah. Adalah kaum Khawarij yang pada mulanya menolak dan memutuskan keluar dari rombongan Ali. Penisbatan nama Khawarij diambil dari bahasa arab “kharaja-yakhraju” yang artinya keluar.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Sekiranya ayat tersebutlah yang menjadi patokan dasar keluarnya mereka dari golongan Ali bin Abi Thalib. Semboyan awal mereka adalah “la humka illallah” yang artinya tidak ada hukum selain hukum allah, mereka menilai bahwa Ali, Muawwiyah dan para pengikutnya telah melenceng dari aturan ini. Mereka mengatakan bahwa Arbitrase adalah hukum manusia bukan hukum Allah.
Khawarij sendiri memiliki pemikiran mengenai dosa, kafir dan mukmin, ketuhanan dan aspek teologis lainnya. Akibat dari ketidaksetujuannya terhadap tahkim dan mengatakan bahwa tahkim telah melenceng dari hukum Allah, maka ia menghukumi orang yang terlibat dalam tahkim telah melakukan dosa besar dan dihukumi kafir.
Latar Belakang Penganut Khawarij
Kaum Khawarij saat itu di dominasi oleh kaum badui yang memang sifatnya keras. Wilayah yang tandus berupa padang pasir rupanya berdampak besar bagi pola pikir mereka, secara garis besar Khawarij adalah orang-orang tradisional yang memahami al-Qur’an secara sederhana dan sempit. Mereka juga gemar melakukan kekerasan dan tidak takut mati. Berangkat dari fakta itu pada akhirnya mereka mengartikan al-Quran sebagaimana teksnya, Iman yang kuat namun sempit serta fanatik telah melahirkan sikap yang ekstrem.
Dalam menanggapi sesuatu, pemikiran mereka terlalu kaku untuk kemudian bisa mengkontekstualisasikan al-Qur’an dengan kondisi yang ada. Penafsiran secara letterlek telah mengunci daya berpikir mereka sehingga mereka dengan mudah menghukumi seseorang menjadi kafir walaupun dengan penyimpangan yang kecil.
Khawarij dan Sub-sektenya
Dalam internal Khawarij sendiri mereka mengalami perpecahan hanya karna perbedaan pendapat. Sudah nyata sekali bahwa golongan Khawarij adalah golongan yang sangat minim dalam toleransi. Tanggapan mereka ketika dihadakan pada perbedaan maka sudah pasti apa yang menjadi oposisi dari pendapat mereka dijatuhi sebagai sebuah kesalahan. Sungguh hal ini sangat tidak relevan bagi kehiduan kita dewasa ini.
Sekte murni yang dilahirkan Oleh Khawarij adalah Al- Muhakkimah, karna memang sekte ini adalah sekte murni, jadi dari segi ajaran tidak ada bedanya dengan kelahiran awal khawarij, mereka menghukumi orang yang berbuat dosa besar sebagai orang kafir dan boleh dibunuh.
Selanjutnya ada sekte Al-Azariqah di mana sekte ini didirikan oleh Nafi Ibn Al-Azraq, pemikiran dari sekte ini jauh lebih radikal daripada sekte Al-Muhamkkimah, mereka berpandangan bahwa siapa saja yang berbeda pendapat dengan golongan mereka adalah Musyrik, sekalipun orang yang berbeda pendapat itu adalah seorang muslim.
Mereka juga menisbatkan term musyrik kepada kaum muslim yang tak mau hijrah ke daerah kekuasaan mereka, menurut mereka wilayah yang mereka diami adalah darul islam, sedangkan daerah di luar kekuasaan mereka adalah darul kufr yang wajib diperangi. Term musyrik tidak hanya mereka nisbatkan kepada orang dewasa melainkan kepada anak-anak yang artinya anak-anak boleh dibunuh ketika berseberangan dengan paham mereka.
Sampai sekte ini saja saya kira pembaca sudah dapat menyimpulkan bagaimana begitu kaku dan sempitnya mereka memandang perbedaan, bahkan di golongannya sendiri yang dibuktikan dengan lahirnya berbagai macam sekte yang diawali dari beda pendapat tadi. Walaupun dalam perkembangan setelah aliran Al-azariqah Khawarij sudah tidak terlalu ekstrem dalam memandang perbedaan dari golongan lain.
Darul Harb dan Korelasinya dengan Terorisme
Dalam beberapa Sekte disebutkan bahwa wilayah di luar kekuasaan mereka adalah darul kufr yang artinya boleh diperangi, begitu pula dengan sekte lain yang lebih lunak dalam mengklasifikasikan darul harb ini, menurut sebagian sekte darul harb adalah kamp pemerintahan, jadi wilayah di luar kamp pemerintahan tidak boleh diusik, karena berangkat dari gagasan di awal tadi bahwa pemerintah yang di luar dari standarisasi mereka adalah sesat serta telah melenceng dari syariat dan harus dijatuhkan dan dibunuh.
Dalam darul harb juga mereka telah membagi siapa saja yang boleh dibunuh, yang dalam hal ini sekte Al-Azariqah memperbolehkan membunuh anak-anak karena penisbatan term musyrik tadi, bukan hanya anak-anak bahkan lansia sekalipun boleh dibunuh.
Gagasan inilah yang menurut saya boleh jadi menjadi dasar dalam tindakan terorisme yang terjadi di indonesia atau pun belahan lain di dunia. Pemaknaan jihad yang terlalu letterlek telah mengantarkan mereka pada aksi bunuh diri demi mendapatkan posisi spesial di hadapan sang pencipta. Belum lagi dengan kewajiban memerangi al-kufr yang dalam hal ini mereka implementasikan dengan aksi terorisme .Padahal tindakan seperti itu amatlah jauh dari ajaran yang dibawa nabi Muhammad SAW.
Eksistensi kaum Khawarij mungkin sudah tidak dapat ditemukan untuk saat ini, namun tidak dengan ideologinya. Seperti yang dijelaskan Josef Stalin bahwa ideologi tidak akan mati bahkan nantinya akan terjadi akulturasi dengan ideologi lain. Entah itu dominan atau tidak.
Dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstualis dan juga penafsiran mendalam terkait ayat-ayat Al-Qur’an sangatlah dibutuhkan. Penafsiran yang sempit terhadap al-Qur’an secara tidak langsung menyempitkan makna al-Qur’an yang seharusnya sangat luas.
Narasi Islam sejalan dengan tempat dan zaman yang di tempati rasanya tidak sejalan dengan aliran ini. dalam merepresentasikan islam yang seperti itu diperlukan penafsiran yang kontekstualis yang pada akhirnya cocok dengan zaman yang ada.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.