Ketimpangan Perempuan dalam Partisipasi Politik di Indonesia

Jalanhijrah.com-UUD Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur tentang ruang lingkup hak sipil dan politik dalam konstitusi, khususnya dalam pasal 28D Ayat 3 yaitu hak atas kesempatan sama dalam pemerintahan, serta pasal 28G Ayat (2) hak untuk memperoleh suara politik. Sementara dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 12 tahun 2003 yang mengatur tentang pemilu DPR, DPD, DPRD disebutkan dalam Bab IV tentang penyelenggara pemilihan umum pasal 15- 16 bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, ayat 2 disebutkan KPU Bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemilu, dan ayat 3 KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan pemilu kepada presiden dan DPR. Sementara dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 atau 11 mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Jumlah pemilih perempuan setengah dari jumlah pemilih keseluruhan. Pada periode 2019 jumlah pemilih sebesar 192.866.254 orang terdiri dari perempuan 96.572.045 dan pemilih laki-laki sebesar 96.294.209 orang. Berdasarkan pemilu tahun 2019 calon legislatif totalnya sudah mencapai 40%, dan prosentase ini hanya teralisasi di legislatif. Sedangkan untuk penyelenggara sendiri yang pada hari ini menjadi tanggungjawab KPU dan Bawaslu totalnya belum juga bisa memenuhi kuota 30%, dan bahkan dalam komposisi KPU dan Bawaslu RI keterwakilan perempuan hanya ada 1 orang dari beberapa dekade ini. Sulitnya perempuan mencapai kupta 30% dikancah RI tentu bukan masalah yang kecil. Kapasitas kepemiluan masih sangat minim menjadi alasan yang dipublikasikan ke masyarakat.

Baca Juga  Kenapa Kelompok Moderat di Indonesia Tidak Lantang Bicara Palestina?

Pengetahuan tentang kepemiluan sifatnya eksklusif dan tidak semua orang bisa memiliki pengetahuan, maka dari itu yang bisa mendaftar KPU dan BAWASLU adalah orang-orang yang berpengalaman, memiliki pengalaman menjadi penyelenggara atau menggeluti isu pemilu, dan itu tidak semua orang bisa. Artinya potensi tersebut sangat strategis jika memang perempuan bisa lebih banyak terpilih untuk kedepannya. Mengutip (Ann Philips, 1995): tujuan menghadirkan perempuan dalam politik antara lain: Pertama, mengakses kesetaraan berbasis keadilan. Kedua, memudahkan kepentingan dalam akses kelompok tertentu. Ketiga, Trans generasi dalam kehidupan lingkungan berbasis ekosistem. Keempat, Menghindari kebijakan yang monopolistik dalam siasat politik.

Realitas yang terjadi saat ini dalam proses seleksi penyelenggara pemilu karena terjadinya bias dalam representasi kepentingan politik tertentu. Mengutip (Norris& lovenduski, 1995) bahwa Bias yang terjadi dalam representasi kepentingan politik yaitu karena berbasis kedekatan dengan elit, selain itu minoritas atau tidak mempunyai jaringan kedekatan, dan terakhir terlibat dalam kaum konservatif atau liberal.

Masa Depan Partisipasi Politik Perempuan Indonesia

Pada tahun politik 2020 di seluruh daerah di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, berdasarkan data Info pemilu (kpu.go.id) sebanyak 159 perempuan menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dan sebanyak 87 perempuan calon kepala daerah dan 72 calon wakil kepala daerah dari totoal1.482 calon kepada daerah wakil kepala daerah (10,7%). Melihat kondisi dan iklim yang terbangun di Indonesia menjadi keresahan banyak orang tidak hanya perempuan tetapi laki-laki, karena hal ini menyangkut masa depan kesejahteraan bangsa. Oleh karenanya penting untuk menanamkan pendidikan politik dan startegi-strategi politik perempuan. Adapun startegi politik perempuan diantaranya:

Baca Juga  Hukum Menyimpan Daging Kurban Hingga Melebihi Hari Tasyrik

Pertama, Advokasi dan edukasi politik, dengan kesadaran dan pengetahuan adanya hak- hak politiknya. Perempuan sebagai pemilih dapat menggunakan hak pilihnya secara mandiri dan cerdas. Oleh karena itu diperlukan advokasi dan edukasi politik untuk memberdayakan perempuan.

Kedua, Komunikasi politik, dengan memaksimalkan kanal-kanal komunikasi publik (media massa, elektronik, dan media sosial) dengan wacana gerakan perempuan.

Ketiga, Organisasi peran politik perempuan:
a. Membangun koalisi besar gerakan perempuan untuk menwujudkan
kesejahteraan, keadilan, toleransi dan demokrasi.
b. Aktif dalam organisasi-organisasi perempuan dan organisasi politik

Keempat, Perempuan memilih perempuan, basis dukungan politik perempuan masih berasal dari kaum perempuan itu sendiri, dorong dan pilih calon perempuan dalam pemilu legislatif dan pilkada.

Sementara dalam rangka meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilu hal yang perlu dilakukan diantaranya, Pertama, Koordinasi dan kerjasama. Kedua, Advokasi dan penguatan isu perempuan. Ketiga, osialisasi dan pendidikan politik. Keempat, Terlibat dalam penyelenggara pemilu dan Terlibat dalam proses pemantauan. Kepedulian perempuan terhadap isu-isu kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, anti kekerasan, dan lingkungan, tidak bisa berubah menjadi kebijakan selama mereka tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan, sehingga dalam penyelenggara pemilu mereka akan mampu memetakan.

Perempuan tidak ada masalah dari sisi kapasitas, karena semua didorong sama dengan latar belakang yang sama, pendidikan yang sama, latar belakang pengalaman, namun problemnya kenapa yang terpilih tidak sama. Artinya proses politik untuk perempuan masih ada tembok dan tembok ini soal loby, pertimbangan latar belakang organisasi, ormas, jejaring dan hal ini yang masih menjadi masalah untuk perempuan bisa berkompetisi karena iklim kompetisinya pun sudah bias, bias dengan maskulinitas, artiya dalam proses seleksi perempuan dihadapkan pada isu integritas (transaksi politik) dengan proses yang tertutup prosesnya. Hal ini yang membuat perempuan tidak mudah, Afirmasi seperti ini masih diatas kertas, karena belum ada pengawalan yang betul betul dijalankan dengan seharusnya.

Advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *