Jalanhijrah.com-Liburan telah usai. Saatnya para perantau kembali ke perantauan. Orang bilang, bila ada pertemuan pasti ada perpisahan. Bila ada mudik, juga ada pula balik.
Mereka berbekal kehangatan yang didapat di kampung halaman. Berjuta kesan dan energi positif kebersamaan dengan saudara, dibawa pergi ke perantauan. Mereka pergi untuk kembali. Dan cerita baru segera dimulai.
Tabiat Pemuda
Para pemuda yang merantau, kesan dan kebaikan positif yang didapat di kampung halaman, kiranya dapat ditularkan di kota-kota besar. Hal tersebut menjadi sebongkah ratapan bila terjadi sebuah masalah, atau tabiat buruk yang menimpa di hari kemudian. Dengan kenangan di kampung, kesemangatan terpompa dan ikhtiar menjalani hidup menjadi niscaya.
Menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi Minggu (23/4), mengatakan prediksi pemerintah berjumlah pemudik 2023, yakni sekitar123, 8 juta orang. Secara bergelombang mereka akan balik ke tempat perantauan. Perihal ini sudah menjadi tantangan tersendiri bagi para perantau.
Para pemuda dan perantau, sudah tahu bahwa mereka adalah harapan keluarga. Maka itu, dengan semaksimalmungkin mereka meningkatkan produktivitas dan inovatif, serta kreatifitas. Seperti kata orang, semangat dari kampung menjadi penyuntik harapan untuk mendobrak kekebalan dan kemalasan.
Perantau jadi bergairah dan terarah. Mereka dengan yakin bisa menyongsong dan bersiap menjalani kerasnya hidup sambil tetap menjaga kewarasan pasca-Lebaran. Mereka bersusah payah menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Dan sebisa mungkin tetap menjadi penular kebaikan.
Kualitas Pemuda
Namun yang harus kita ingat, terjaganya kualitas generasi pemuda menjadi tantangan tersendiri. Umpanya, para pemuda lebih tertarik pada ajaran yang membelakangi zamannya, yakni lebih suka kepada produk khilafah, ketimbang pada Pancasila. Kualitas pemuda kadangkala terpenjara oleh rayuan gombal para penggema agama perkotaan, yang mengarahkan mereka pada tingkat agama yang radikal.
Lebih jauh, apalagi di tingkat pendidikan. Pendidik sekarang lebih bersenang-senang dalam dunia keagamaan yang teoristik-tekstualis-fanatik. Ketimbang pada pendaratan pengalaman secara langsung yang lebih kontekstual dan humanis. Itulah aspek penopang yang menjadikan pemuda menjadi rapuh, layu, dan jauh dari harapan tunas-tunas kehidupan.
Kualitas generasi pemuda akan tetap terjaga, manakala rumpun keluarga, masyarakat, dan negara bersatu padu dalam meninggikan dan meningkatkan kualitas pedagogi keagamaan dan pendidikan. Misalnya, berupaya menangkal hoaks, menghindari paham keagamaan yang radikal, pendangkalan akidah keagamaan, serta perekrutan pemuda pada terorisme. Ini barangkali kebijakan tegas yang wajib diurus dari ketiga rumpun di atas.
Demikian juga, kebutuhan pemuda untuk berkreasi dalam tatanan pendidikan dan sosial diberikan kesempatan seluas-luasnya. Keluarga, masyarakat, dan negara cukup mengawasi dan melindungi hak mereka tidak keluar dari rel kebebasannya. Jika misalnya terdapat suatu kesalahan berikanlah sanksi yang sesuai dan adil.
Bukan Pedagogi Khilafah
Dalam aspek yang lebih luas, semuanya sebenarnya adalah wewenang negara. Misalnya seperti sistem pendidikan, ekonomi, dan sosial. Tapi kualitas itu agar tidak masuk pada lubang radikalisme dan terorisme yang bisa menjadi pemuda celaka, kiranya sudah tepat pemerintah menutup pintu maksiat tersebut. Bukan karena itu bertentangan dengan nash, tetapi itu juga bertentangan dengan pilar kebangsaan dan parahnya lagi membahayakan umat manusia.
Generasi pemuda bakal baik, andaikan penyelenggara seperti negara, umat, dan ormas juga baik. Karena itu, negara, umat, ormas, dan keluarga harus hadir untuk menjamin tatanan masyarakat yang bersih, serta mewujudkan kehidupan yang dapat menjamin kedamaian, kesejahteraan, dan mencegah kezaliman, radikalisme, terorisme.
Semua itu akan terwujud, manakala ketiga rumpun tersebut tidak tunduk pada rayuan paham radikalisme. Jika tidak terbujuk dan bisa memberantasnya, maka pemuda ini dipastikan menjadi pengurus dan pelindung umat, menjalankan syariat Islam moderat, serta tidak menjadi pemuda khilafah radikal.