Jalanhijrah.com – Bulan September selalu menjadi panggung simbolik bagi kelompok tertentu untuk menggaungkan narasi kelam. Istilah “September Hitam” kembali digaungkan, untuk membangun persepsi publik bahwa negara hari ini tidak pernah berubah: represif, otoriter, dan menutup ruang demokrasi.
Narasinya dipoles dengan rapi oleh jaringan NGO dan aktivis yang mengklaim membela HAM, namun sejatinya kerap memainkan peran ganda: sebagai penjaga citra korban sekaligus penggerak agitasi politik. Publik digiring agar melihat setiap langkah aparat sebagai kejahatan, sementara fakta provokasi dan kerusuhan di lapangan sengaja dihapus dari bingkai wacana.
Fenomena itu mencuat pasca gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu. Aksi yang mulanya dikemas sebagai unjuk rasa damai berubah ricuh: fasilitas publik dirusak, bentrokan pecah, dan pelajar dilibatkan sebagai tameng massa. Aparat tak tinggal diam. Mereka menindak pelaku rusuh, termasuk para provokator yang mengompori kerumunan.
Namun begitu hukum ditegakkan, seketika lahirlah narasi tandingan: kriminalisasi demonstran, represi aparat, demokrasi terancam. Dari titik inilah istilah September Hitam kembali dipanggil, seolah-olah apa yang terjadi hari ini merupakan cerminan langsung tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, atau Semanggi 1999. Padahal, konteksnya jelas berbeda: saat itu negara mengabaikan hak-hak dasar, sementara kini negara justru sedang mencegah kekacauan.
Kasus Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru, menjadi episentrum propaganda ini. Polisi menuduh Delpedro menyebar hasutan provokatif yang mendorong kerusuhan dan melibatkan pelajar. Ia ditetapkan tersangka bersama stafnya, Mujaffar Salim. Polda Metro Jaya menjerat keduanya dengan pasal berlapis, termasuk penghasutan, penyebaran informasi elektronik yang menimbulkan kerusuhan, hingga pelanggaran perlindungan anak.
Aparat menyatakan penyelidikan dilakukan sejak demonstrasi pertama pada 25 Agustus, dengan bukti cukup bahwa ajakan mereka bukan sekadar “aksi damai”, melainkan provokasi menuju anarki. Namun, narasi yang beredar justru dibalikkan: penangkapan Delpedro digambarkan sebagai bentuk kriminalisasi, bahkan “penggembosan demokrasi”.
Lokataru dan jejaring NGO segera mengamplifikasi isu ini. Kronologi penangkapan—dijemput sepuluh polisi berpakaian hitam, penggeledahan kantor, CCTV dimatikan—dijadikan amunisi untuk menggambarkan aparat sewenang-wenang. LBH Jakarta menuding prosedur cacat hukum, sementara Haris Azhar menyebutnya pengambinghitaman.
Sosiolog Ubedillah Badrun ikut meramaikan dengan narasi aparat gagal membedakan ekspresi pendapat dan provokasi. Semua framing itu diarahkan agar publik melupakan satu hal: bahwa kerusuhan nyata terjadi, fasilitas umum hancur, dan pelajar dilibatkan secara ilegal. Seolah-olah provokasi hanyalah “ekspresi”, padahal dampaknya merusak tatanan sosial dan mengancam keselamatan warga.
Aktivis Cengeng
Propaganda makin menguat ketika kasus Delpedro dihubungkan dengan penangkapan lain: pengacara publik YLBHI di Manado dan Samarinda, serta aktivis Gejayan Memanggil di Bali. Semua ini dibungkus dengan label September Hitam, seakan-akan negara sedang mengulang dosa lama.
Padahal, faktanya sederhana: penegakan hukum dilakukan terhadap individu yang diduga melanggar hukum, bukan terhadap aksi damai itu sendiri. Tetapi logika hukum tidak pernah laku dalam pasar propaganda. Yang dijual adalah citra aktivis yang “cengeng”, selalu menampilkan diri sebagai korban, padahal mereka sendiri ikut menyulut api kerusuhan.
Sejarah mengajarkan bahwa bulan September kerap dimanfaatkan oleh kelompok kiri dan jejaringnya untuk memprovokasi publik. Dari tragedi 1965 hingga aksi Reformasi Dikorrupsi 2019, selalu ada pola: mengangkat simbol korban, menggugah memori kolektif, lalu menancapkan delegitimasi terhadap negara. Kini pola itu dipakai lagi.
Bedanya, kali ini mereka menunggangi isu HAM dan demokrasi, sambil mengaburkan fakta bahwa negara sedang menjalankan kewajibannya menjaga ketertiban. Mereka ingin publik percaya bahwa aparat adalah musuh rakyat, padahal yang ditindak hanyalah perusuh.
Di sinilah masyarakat harus jernih membaca situasi. September Hitam hari ini bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan propaganda yang dimainkan untuk melemahkan legitimasi pemerintah. Aktivis cengeng dan kaum kiri bersembunyi di balik jargon demokrasi, padahal tujuan mereka jelas: mengguncang stabilitas, membuka ruang chaos, lalu memanen keuntungan politik.
Negara tidak boleh ragu menghadapi narasi semacam ini. Penegakan hukum harus berjalan, provokasi harus dihentikan, dan publik harus dilindungi dari agitasi yang merusak. Demokrasi hanya bisa bertahan jika ada ketegasan negara, bukan jika negara tunduk pada propaganda mereka yang menjual tangis, tetapi menanam bara.
Oleh: Yusra R. Nugroho (Analis politik Islam. Penulis wacana dakwah dan kontra-propaganda. Fokus pada isu sekularisme, keumatan, dan rekonstruksi peradaban Islam. Aktif menulis di berbagai forum intelektual dan riset. Domisili di Bandung.)










