Abu Hatim ar-Raazi, Berjalan Ribuan Kilometer untuk Menuntut Ilmu

Jalanhijrah.com- Rasulullah saw. bersabda

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim, No. 2699)

Nama aslinya sama dengan nama Imam Asy-Syafi’i, yaitu Muhammad bin Idris bin Al-Mundzir bin Daud bin Mihran al-Hanzhali al-Ghathfani. Nama itulah yang dikenal ketika beliau masih kecil. Ketika sudah menjadi ulama, beliau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hatim ar-Raazi. Beliau lahir di Ray (195 H) wafat di Ray (277 H), keturunan Tamim bin Hanzhalah bin Yarbu’, ia dikenal dengan Al-Hanzhali karena ia tinggal di jalan raya Hanzhalah, di kota Ray.

Abu Hatim ar-Raazi adalah ulama yang gigih mencari ilmu. Menakjubkannya, beliau melakukan perjalanan sangat jauh dengan berjalan kaki. Jerih payahnya untuk menuntut ilmu sulit ditandingi.

Beliau memulai mengembara mencari ilmu sejak umur tujuh tahun. Perjalanan tersebut ditempuhnya dengan berjalan kaki, padahal jaraknya sangat jauh. Beliau berkata, “Aku menghitung jarak yang aku tempuh dengan kedua kakiku lebih dari seribu farsakh.”

Satu farsakh sama dengan 3 mil, sedangkan 1 mil kira-kira 1,6 km. Jadi, seribu farsakh sama dengan 4.800 km. Beliau menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki selama kurang lebih 4 bulan. Itu pun tidak selalu mulus. Rintangan di jalan bermacam-macam. Beliau sering kelaparan karena tidak makan sampai dua hari atau tiga hari.

Baca Juga  Menggunakan Kaos Kaki Saat Shalat, Sahkan Shalatnya?

Setelah itu, beliau tidak lagi menghitung jarak yang ditempuhnya. Beliau terus melakukan perjalanan untuk mendatangi para ulama. Diantaranya ke Bahrain, Mesir, Ramlah, Damaskus, Anthaqi, Tharasus, dan seterusnya.

Selain jalur darat, beliau juga pernah menempuh jalur laut bersama dua orang temannya. Saat mengarungi lautan, beliau pernah menghadapi badai yang menghempaskan perahunya. Mereka terkatung-katung di tengah laut hingga tiga bulan. Bekal mereka habis. Ketika sampai di darat, mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Dalam perjalanan, mereka tidak mendapatkan makanan sampai dua hari. Setelah hari ketiga, beliau dan seorang temannya pingsan. Yang seorang lagi pergi mencari bantuan. Akhirnya ia bertemu rombongan yang menolong mereka. Alhamdulillah.

Guru-guru beliau diantaranya Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Utsman bin al-Haitsam, Affan bin Muslim, Abu Nu’aim Ubaidilah bin Musa, Adam bin Abi Iyyas, Abu al-Yaman, Sa’id bin Abi Maryam, Abu Mashar, Abu Nu’aim al-Fadl bin Dukain, Zuhair bin ‘Abbad, Yahya bin Bukair, Tsabit bin Muhammad az-Zahid, Abdullah bin Salih al-’Ijli, Abdullah bin Sâlih al-Kâtib dan Qabisah.

Sedangkan murid-murid-muridnya diantaranya Abu Daud, An-Nasa’i, anaknya, Ibnu Abi Hatim, Abadah bin Sulaiman al-Marwazi, Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, Yunus bin Abdul A’la, Muhammad bin ‘Auf ath-Tha`I, Abu Zur’ah ar-Razi, Muhammad bin Harun, Abu ‘Awwanah al-Isfaraini, Ibnu Abi ad-Dunya, Abu Zur’ah ad-Dimasyqi, Abu ‘Amru bin Hakim, Musa bin Ishaq al-Anshari, Abul-Hasan al-Qattân dan Abū Bishr ad-Dūlâbî.

Baca Juga  Ketika Sahabat Rasulullah Melarang Merusak Rumah Ibadah Non Muslim

Dengan kesungguhannya beliau berhasil mencapai derajat yang tinggi dalam hal ilmu. Dalam usia empat belas tahun, beliau sudah mengumpulkan dan menulis hadis-hadis yang didapatkannya. Beliau menjadi seorang imam, ulama,hadis dan tokoh Islam yang terkenal.

Kunci belaiar dalam menuntut ilmu menurut beliau adalah mendengar, menulis dan menghafalkannya.

اكتب أحسن ما تسمع واحفظ أحسن ما تكتب

“Tulislah apa-apa yang terbaik dari yang kamu dengar dan hafalkanlah apa-apa yang terbaik dari yang kamu tulis.”

Penulis

Emma

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *