Barat

IQNA menyelenggarakan webinar bertema Islamofobia. Webinar berjudul “Tantangan Muslimah dan Keluarga di Barat” ini menghadirkan tiga narasumber dari sudut pandang yang berbeda. Webinar Islamofobia di Barat ini merupakan kerjasama dengan Islamic Culture and Relations Organization. Selain itu juga bersama cabang ACECR dari Universitas Al-Zahra.

Islamofobia jelas menjadi tantangan utama yang harus dihadapi Muslimah di negara-negara Barat itu sendiri. Hal ini dituturkan oleh Dr. Hakimah Saghaye Biria, Asisten Profesor Universitas Teheran, fakultas budaya dan pemikiran Islam. “Tantangan lainnya adalah objektifikasi perempuan,” kata Saghaye Biria.

Muslimah di negara Barat juga menghadapi “Islamofobia Gender”, tambah dia. Saghaye Biria menjelaskan bahwa Islamofobia gender ini telah dibangun sepanjang pertemuan Barat dengan masyarakat Muslim terutama sejak kolonialisme. Menurutnya, ini adalah gagasan Kolonial ketika memasuki negara-negara Muslim. Mereka melihat bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengendalikan tubuh Muslim.

Dengan identitas “yang sangat Muslim”, tampaknya dapat mengancam keberadaan mereka. Misalnya di berbagai belahan dunia seperti Iran, Mesir, Nigeria, dan lain-lain. Saghaye Biria mengatakan Islamofobia menyerang identitas wanita Muslimah, yakni dari hijab yang dibingkai sebagai bagian terbelakang. Hal itu bagi kaum kolonia merasa perlu untuk disingkirkan dari masyarakat.

Pada kenyantaannya, lanjut Saghaye Biria, yang terjadi justru identitas wanita muslimah menjadi sumber pemberdayaan. Termasuk bagi dirinya sendiri yakni dalam hal melawan penjajahan kolonial terhadap muslimah Barat. Dalam menjalankan misinya, kolonial juga membingkai sosok muslimah sebagai korban tertindas dan terancam yang membutuhkan penyelamatan. Dikatakan Saghaye Biria, hal itu merupakan bagian dari pembenaran proyek kekaisaran sepanjang sejarah.

“Kita melihat hal yang sama terjadi saat ini ketika AS misalnya menginvasi Afghanistan. Mereka berbicara tentang menyelamatkan wanita. Faktanya, praktik wanita Muslim direpresentasikan sebagai ancaman bagi tatanan liberal,” jelas Saghaye Biria dikutip dari IQNA. “Mereka mengklaim bahwa liberalisasi perempuan disamakan dengan pemberdayaan mereka. Kadang-kadang mereka melakukan kebijakan ini dengan paksa, di lain waktu melalui imperialisme budaya,” imbuhnya.

Baca Juga  Mengatasi Radikalisme dengan Vaksin “Bodo Amat”

Dengan begitu, pengabaian hijab dikampanyekan sebagai tanda pemberdayaan itu. Namun kenyataannya, pendekatan Islam terhadap hijab adalah telah dilakukan secara menyeluruh (holistik). Saghaye Biria juga mengingatkan agar muslimah tidak terjatuh ke dalam jebakan pendekatan hijab minimalis. Sebab, menurutnya pendekatan hijab yang minimalis tidak sesuai dengan ajaran Islam.

“Muslimah yang mempraktikkan jilbab minimalis bisa menjadi korban penyakit kecantikan meskipun pada tingkat yang lebih rendah dan terluka oleh semua konsekuensinya. Para wanita Muslim tidak boleh jatuh ke dalam jebakan pendekatan hijab minimalis,” tegasnya. Islamofobia gender ini tak pelak menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi muslimah untuk tampil di depan umum. Namun demikian justru semakin banyak muslimah yang mencoba melawan atmosfer itu dan mencoba mengatasi tantangan itu.

***

Islamofobia di negara-negara Barat bukan hanya sekadar isu kebencian terhadap agama, tetapi juga fenomena kompleks yang kerap membidik perempuan Muslim sebagai sasaran utama. Sebagai simbol visual dari Islam melalui hijab atau pakaian mereka, Muslimah menghadapi tekanan berlapis yang mencakup diskriminasi berbasis agama dan gender, atau yang disebut sebagai “Islamofobia gender.”

Menurut Dr. Hakimah Saghaye Biria, Asisten Profesor di Universitas Teheran, Islamofobia gender telah menjadi warisan historis dari pertemuan kolonialisme Barat dengan masyarakat Muslim. Fenomena ini tidak hanya menargetkan keyakinan mereka, tetapi juga tubuh dan identitas perempuan Muslim sebagai simbol dari “yang lain” dalam masyarakat Barat.

Islamofobia gender tidak muncul begitu saja; ia tumbuh dari narasi kolonial yang menempatkan perempuan Muslim sebagai objek sekaligus simbol inferioritas budaya Islam. Dalam pandangan ini, hijab sering kali digambarkan sebagai tanda penindasan, sementara perempuan Muslim diposisikan sebagai subjek yang perlu “diselamatkan” oleh Barat.

Baca Juga  Perubahan Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Narasi ini bertahan hingga hari ini, di mana perempuan Muslim menghadapi perundungan, kekerasan verbal, dan kebijakan diskriminatif yang sering kali menyasar pakaian mereka. Dalam beberapa kasus, negara-negara seperti Prancis melarang hijab di ruang publik dengan dalih sekularisme, tetapi langkah ini justru menciptakan pengucilan sosial bagi Muslimah.

Seperti yang diungkapkan Dr. Saghaye Biria, perempuan Muslim tidak hanya menjadi korban diskriminasi tetapi juga objektifikasi. Tubuh mereka sering kali menjadi medan pertempuran ideologis, baik oleh kelompok Islamofobik di Barat yang melihat mereka sebagai ancaman, maupun oleh kelompok patriarkal yang memaksakan interpretasi tertentu atas kesalehan.

Objektifikasi ini menghilangkan agensi perempuan Muslim atas tubuh dan identitas mereka. Pilihan untuk mengenakan hijab, misalnya, sering kali direduksi menjadi simbol politik atau agama yang diperdebatkan, bukan sebagai ekspresi keimanan pribadi.

Muslimah menjadi korban utama Islamofobia karena mereka lebih terlihat dibandingkan Muslim laki-laki. Hijab, niqab, atau burka sering kali menjadi sasaran prasangka dan stereotip, terutama di negara-negara Barat yang menganggap simbol keagamaan tertentu sebagai ancaman terhadap nilai-nilai liberal.

Selain itu, perempuan Muslim berada di persimpangan diskriminasi berbasis gender dan agama. Mereka tidak hanya harus melawan stereotip Islamofobik tetapi juga harus menghadapi seksisme yang ada di masyarakat. Hal ini menciptakan beban ganda yang sering kali membuat Muslimah lebih rentan terhadap diskriminasi di tempat kerja, sekolah, atau bahkan di ruang publik.

Serangan terhadap Muslimah sering kali tidak hanya bersifat verbal tetapi juga fisik. Kasus kekerasan terhadap perempuan berhijab, seperti ditarik paksa hijabnya atau diserang di jalan, menunjukkan bagaimana Islamofobia gender memanifestasikan dirinya dalam bentuk yang sangat nyata. Hal ini diperparah dengan kurangnya perlindungan hukum atau minimnya perhatian media terhadap kasus-kasus ini.

Baca Juga  Membaca HTI sebagai Anak Tangga Menuju Terorisme

Untuk melawan Islamofobia gender, penting bagi komunitas Muslim dan masyarakat global untuk memahami akar masalah ini dan menciptakan strategi yang inklusif. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

  1. Narasi positif tentang perempuan Muslim harus diperkuat melalui media, pendidikan, dan seni. Penting untuk menunjukkan bahwa Muslimah adalah individu yang memiliki agensi, bukan sekadar simbol agama atau budaya.
  2. Negara-negara Barat perlu mengadopsi kebijakan yang lebih tegas dalam melindungi kelompok minoritas, termasuk perempuan Muslim, dari diskriminasi dan kekerasan berbasis agama.
  3. Muslimah harus diberi ruang untuk berbicara dan memimpin, baik dalam komunitas mereka sendiri maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Suara mereka adalah kunci untuk melawan stereotip dan membangun narasi yang lebih inklusif.
  4. Hijab harus dipahami sebagai pilihan pribadi yang tidak selalu mencerminkan penindasan atau radikalisme. Pendidikan lintas budaya dapat membantu menghilangkan prasangka ini.

Islamofobia gender adalah tantangan yang tidak dapat diabaikan dalam diskusi mengenai diskriminasi terhadap komunitas Muslim di Barat. Perempuan Muslim, sebagai simbol Islam yang paling terlihat, menghadapi beban ganda yang menuntut perhatian serius dari masyarakat internasional.

Melalui perjuangan Muslimah yang terus menentang diskriminasi, kita dapat melihat harapan akan dunia yang lebih inklusif dan adil. Tetapi perubahan ini membutuhkan komitmen kolektif dari semua pihak untuk melawan prasangka dan membangun kesetaraan yang sejati.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.