Jalanhijrah.com-Menentukan pasangan, dalam pandangan anak muda tentu berbeda dengan cerita-cerita orang tua. Kalimat yang sering kita dengar adalah fakta bahwa bapak dan ibu dinikahkan bukan atas dasar cinta, atau menjalin hubungan dan perkenalan lama sebelum menikah. Keduanya saling mencintai pasca menikah, ataupun pasca punya anak, dan berbagai kalimat nasihat lainnya agar anaknya bisa mengikuti jejak orang tua.
Barangkali kita perlu menelaah lebih jauh bahwa dulu orang tua kita tidak ada media sosial. Akses informasi tidak secepat saat ini. akses komunikasi juga tidak secepat sekarang. Artinya, jika berfikir negatif dalam konteks pasangan, kemungkinan tergoda kepada perempuan/laki-laki lain jsutru amat besar. namun, ketakutan semacam ini tidak bisa dijadikan dalih untuk kita sibuk berfikir negatif sehingga berdampak pada phobia mencari pasangan hidup, dan semacamnya.
Pernikahan adalah ibadah terpanjang yang akan dilalui oleh setiap fase kehidupan manusia, meskipun mungkin ada beberapa orang yang memilih untuk tidak menikah dan hidup sendiri. Menentukan pasangan hidup dan bertahan atas komitmen pernikahan ini yang menjadi babak baru dalam kehidupan. Sebab kehidupan pasca menikah, kita akan dilalui dengan berbagai hal, lika-liku kehidupan, kebosanan, sulitnya menyatukan dua keluarga besar atau bahkan hadirnya orang ketiga, naudzubillah.
Jika melihat kisah cinta Rosulullah Saw dan Ibunda Siti Khadijah, keduanya ibarat dua koin mata uang yang bersatu. Kehadiran satu sama lain diantara keduanya adalah penulis maknai sebagai pasangan sekufu. Pengorbanan Ibunda Khadijah ketika memberikan seluruh harta, jiwa dan raga untuk membantu Rosulullah untuk Islam pada saat itu menjadi pembelajaran kepada kita sebagai umatnya, betapa besar cinta yang diberikan, dimana pada akhirnya bermuara pada ilahi.
Meski demikian, tentu kita tidak bisa menjadi kisah cinta Rosulullah dengan Ibunda Khadijah, paling tidak kita bisa berusaha meneladani nilai-nilai rumah tangga yang dibangun oleh Rosulullah, para keturunannya untuk dijadikan cerminan dalam membangun rumah tangga.
Bagi anak muda, menikah dan mencari pasangan haruslah satu frekuensi, sekufu, atau lebih jauh lagi sebenarnya dalam istilah Islam adalah kafa’ah. Istilah kafa’ah tentu banyak perdebatan di kalangan ulama, khususnya 4 madzhab para umat Islam. Menurut Imam Hanafi, misalnya. Kafa’ah ini harus ada dalam pernikahan. Sedangkan menurut Imam Syafi’I, kafa’ah menjadi syarat ijbar nikah. Pasa muaranya adalah para ulama sepakat bahwa kafa’ah dalam pernikahan menjadi amat sangat penting untuk membangun rumah tangga yang bisa mencapai ridho Allah.
Konsep kafa’ah dapat dimaknai sebagai kesepadanan antara suami dan istri dalam membangun rumah tangga dimasa yang akan datang. Tentu ini adalah anjuran Agama Islam. Dengan begitu rumah tangga akan abadi dan bahagia.
Secara sederhana, barangkali misalnya begini. Kita yang pecinta buku, suka dunia tulis menulis dan dunia literasi akan merasa nyambung ketika ngobrol dengan sesamanya. Dan ini juga menjadi titik tekan ketika mencari pasangan, keduanya akan membangun rumah tangga yang sesuai dengan keinginan, passion yang mendukung terhadap sesama, serta berbagai hal lainnya.
Namun, apakah tolok ukur sekufu ini selalu demikian?. pada faktanya tidak begitu. Barangkali karena kesamaan karakter, atau perbedaan sudut pandang yang akhirnya berujung pada menghargai sesama, bisa juga dijadikan tolok ukur seseorang menikah dengan dasar sekufu. Tapi paling tidak, sebagai gambaran bahwa pernikahan adalah kompleksitas kehidupan yang penuh dengan lika-liku.
Konsep sekufu ini, bagi penulis menjadi amat sangat penting. Setiap orang memaknai sekufu berbeda-beda. Ada yang sekufu karena sama-sama menempuh pendidikan yang sama, memiliki hobi yang sama, menyukai hewan yang sama, bahkan hal-hal sederhana lainnya.
Mengenal pasangan adalah proses sepanjang hidup yang terus berjalan. Sebab kenal dengan pasangan bertahun-tahunpun tidak menjamin langgengnya sebuah keluarga. Ada yang pacaran bertahun-tahun, lalu menikah dan cerai, misalnya. Ada pula yang baru kenal, lalu menikah tapi bertahan sampai akhir hayat.
Meski begitu, kehidupan adalah fluktuatif, setiap orang akan mengalami fase perubahannya sendiri. Yang terpenting adalah upaya semaksimal mungkin untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah untuk menuju ridho Allah Swt.