Jalanhijrah.com – Polemik Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Dudung Abdurachman terus bergulir. Sejumlah kalangan ikut mengomentari, mulai dari MUI hingga influencer. Ada yang menganggapnya provokatif, ada juga yang memakluminya. Yang terakhir ini beranggapan bahwa statement tersebut berada dalam konteks militer yang lintas agama, sampai ada yang menyusun argumen tentang kebinekaan.
Sebenarnya, polemik sejenis sudah sering terjadi. Namun demikian, kita sering terjebak dalam kasus yang sama untuk perseteruan yang semakin eskalatif. Padahal, secara konteks, pernyataan tersebut masih multitafsir dan dikhususkan untuk audiens yang plural. Polemik tentangnya kebanyakan bumbu dari kasus awal, dalam arti telah dipelintir ke luar konteks dan menjadi narasi kebencian. Ia bukan fitnah, tapi tidak kalah berbahaya darinya.
“Hindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama. Karena semua agama itu benar di mata Tuhan. Bijaklah dalam bermain media sosial sesuai dengan aturan yang berlaku bagi prajurit. Tanpa kekerasan maupun tindakan-tindakan yang dapat merugikan diri sendiri dan satuan,” tegasnya saat melakukan kunjungan ke Batalyon Zipur 9 Kostrad, Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, Senin (13/9) kemarin.
Aktor yang menambah bumbu polemik tidak jauh pasti oposisi, baik oposan politik dan lebih-lebih oposan ideologis. Setiap ada yang viral di media sosial, lingkup wacana pro-kontra diprakarsai tokoh dan kelompok yang sama. Lalu di mana posisi MUI dalam hal ini? Ini berkaitan dengan kepentingan politik di satu sisi dan pertaruhan ideologis di sisi lainnya. Sebagai otoritas “yang dianggap” nasional, MUI kerap kali jadi tempat tabrakan gagasan: konservatif vs progresif.
Polemik Letjen Dudung dilimpahkan sebagai kegaduhan pemerintah vs umat Islam. Sebagai isu sensitif, masalah semacam ini gagal membuat masing-masing pemeluk agama melakukan refleksi diri, bahwa polemik ini terjadi karena kesalahan kita sendiri. Kita semua memiliki peran atas kegaduhan di media sosial tersebut. Satu sisi, ini adalah manifestasi perbedaan politik. Di sisi lain, ini karena absennya inklusivitas dalam beragama.
Beragama Inklusif
Nurcholish Madjid sudah lama merumuskan definisi agama dalam konteks bernegara, dan secara spesifik Islam yang berkeindonesiaan. Beragama dan bernegara, di Indonesia yang bukan negara Islam namun bukan negara sekuler, adalah dialektika sinkretisasi dan sekularisasi. Di ruang publik, klaim kebenaran absolut akan rentan memantik reaksi umat beragama lain. Karenanya, kebenaran agama adalah inklusi dari masing-masing pemeluknya.
Apakah dengan mengatakan bahwa semua agama benar, seperti yang Letjen Dudung katakan? Positif, dengan catatan pernyataan tersebut multitafsir. Gus Dur juga punya gagasan yang sama, maka ia dikenal sebagai bapak pluralisme. Artinya, beragama dalam masyarakat plural itu meniscayakan kebenaran majemuk, dengan kesadaran personal bahwa kebenaran tersebut masih relatif. Kemutlakan adalah milik Yang Maha Esa.
Namun demikian, perlu digarisbawahi, beragama secara inklusif tidak berarti menjebak seseorang dalam sinkretisme (bukan ‘sinkretisitas’). Sementara sinkretisisme menunjukkan kedangkalan pemahaman keagamaan seseorang, sinkretisitas adalah pengejawantahan kedalaman wawasan keberagamaan. Kesalehan personal, dalam hal ini, menjadi aspek esoteris yang sering kali tidak terjangkau orang lain hingga melahirkan tuduhan-tuduhan.
Gus Dur adalah pribadi yang sampai pada tahap keberagamaan inklusif semacam ini. Maka ketika ia mengatakan bahwa semua agama benar, banyak yang salah paham dan menuduh buruk Gus Dur hingga menjadi diskursus yang berkepanjangan. Orang yang tidak memahami esensi statement-nya pasti terjebak narasi kebencian. Yang paling rentan adalah Muslim konservatif, terutama dari masyarakat proletar maupun masyarakat urban yang anti-inklusivitas.
Begitupun pernyataan Letjen Dudung. Ia berbicara di hadapan prajuritnya yang lintas agama, maka ia harus bersikap inklusif. Namun dalam tataran individual, sebagai Muslim, pasti ia meyakini bahwa Islam agama paling benar dan karena itu ia memeluknya. Sekali lagi, kebenaran yang dimaksud dalam pernyataannya adalah kebenaran yang relatif, bukan kebenaran mutlak. Yang absolut adalah agama perspektif Tuhan, namun perspektif manusia kebenarannya selalu relatif.
Memberantas Ekstremitas
Kesalahan kita semua dalam polemik Letjen Dudung adalah ketidaksiapan menerima perbedaan. Ini penyakit klasik yang tidak pernah selesai meski sudah diulas ribuan buku dari para cendekiawan. Relasi pro dan kontra selalu bersifat ‘inkompromi’, dan menjadi ajang bersahutan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Pergulatan pemikiran ekstrem dan moderat sudah lumayan tua, tetapi ekstremitas tampak selalu mendominasi arena pemikiran.
Inilah yang harus diberantas. Ekstremitas ini sudah menjadi isme tertentu yang selalu mengedepankan kekerasan pada setiap tingkah lakunya. Esktremitas ini yang ada di balik setiap polemik, menyamar sebagai pembelaan terhadap agama, terhadap Nabi, dan pembelaan terhadap Tuhan. Padahal, yang dibela adalah ego ekstremnya. Ironisnya, ekstremitas ini memiliki legitimasi agama; mereka menganggapnya sebagai ketegasan agama.
Kesalahan kita semua adalah terjerembab dalam kubangan ekstremitas ini, sehingga polemik Letjen Dudung tidak disikapi sebagai “statement inklusivitas”, melainkan sebagai “pengganggu eksklusivitas”. Maka pecahlah perdebatan ke ruang publik. Yang pro makin memanas-manasi, dan yang kontra tidak bisa mengontrol emosi. Kita semua, yang pro maupun kontra, adalah dalang dari polemik ini, tetapi hanya sedikit dari kita yang menyadarinya. Sangat disayangkan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Klik untuk melihat sumber tulisan asli di Harakatuna.com