Jalanhijrah.com. “Tanpa cinta, setiap musik adalah kegaduhan, setiap tarian adalah kegilaan, setiap ibadah adalah beban”. Jalaluddin Rumi.
Banyak yang memperdebatkan perihal santri yang menyumbat kuping saat mendengar musik. Banyak yang setuju dan tidak mempermasalahkan. Tetapi juga banyak yang tidak setuju karena dianggap mereka telah didoktrin oleh program yang mengarah ke radikalisme.
Penelitian Toto Suharto, memang banyak sekolah-sekolah yang memakai kurikulum tersembunyi. Kurikulum tersembunyi ini di dalamnya berisi ajaran-ajaran dan program radikal. Misalnya, tidak membolehkan siswanya hormat bendera, melarang interaksi dengan golongan lain, mengharamkan musik, bahkan melarang mereka mengucapkan salam ke lain agama.
Fenomena Pendidikan Ekstrem
Fenomena itu tersekema di banyak yayasan dan sekolah swasta di Indonesia. Salah satunya sekolah yang dimiliki Ismail Yusanto, punggawa eks HTI. Di sini, bukan hanya siswa-siswanya dilarang menjajal hal-hal yang sepatutnya. Tetapi parahnya, dari banyak orang tua menuturkan bahwa anaknya berubah secara paradigma agama, dan praktik agama yang sangat radikal.
Melarang dan mengharamkan musik hanya secuil dari ajaran sekolah di bawah naungan kaum ekstrem. Mengkafirkan yang berbeda pandangan dan mengharamkan tempat-tempat wisata, seperti Brobudur bahkan melarang bersosial antargolongan meski sealiran satu jalur rel dari skema program ekstrem.
Pertama-tama mengharamkan musik. Setelah mengharamkan musik, rokok, dan tempat wisata, berlanjut mengharamkan apa-apa budaya yang sebenarnya mayoritas agama Islam telah sekian lama menjalani. Seperti mengharamkan tahlilan, ziarah, dan lain-lain. Ini adalah dampak dari pengharaman kecil tersebut.
Santri menutup kuping saat musik berdendang boleh banyak pihak mengakatan bahwa itu adalah tahapan program dari sekolah atau pesantren. Tetapi, di atas itu, sebaiknya otoritas lebih lanjut lagi melihat realitas yang terjadi pada siswa dan umat beragama di Indonesia. Karena, di antara beribu ustaz yang punya banyak pengikut, telah ramai-ramai mereka mengharamkan musik. Bahkan pengikutnya, yang dulunya pemusik, malah ikut-ikutan mengharamkan juga.
Mengharamkan musik sebenarnya perdebatan lama, yang kini melonjak kembali. Zaman mulai mundur dan memudah. Tapi harus diperhatikan, jika musik saja diharamkan, bagaimana dengan ritual-ritual dan ajaran-ajaran lain yang tidak sama dengan pendakwah haram ini. Di luar kabar ini yang harus kita lihat dan tinjau.
Pengharaman Musik dan Dampak Setelahnya
Pengharaman musik, hanya secuil di atas ajaran-ajaran atau pengharaman-pengharaman lain yang ekstrem. Jangan sampai, sekolah mengharamkan musik yang viral itu, menambah ketebalan mengharamkan lain dan menjadi motivasi sekolah yang lain. Biasanya, metode pengharaman hal kecil, sudah puncak dari ekstremnya sebuah metode pendidikan. Sebab, dalam pendidikan, apalagi agama, ada banyak tawaran dan metode yang baik.
Tawaran pendidikan adalah tawaran kebaikan. Tawaran Pendidikan bukan keekstreman. Banyak versi pengetahuan bisa memantik perkembangan, peradaban dan kesalehan umat manusia. Bukan sebaliknya, yang menjadi pribadi tekstual, primitif, dan ekstrem bahkan yang merepotkan umat yang lain.
Di sini kita perlu bertanya, mungkinkah kita masih terjebak pada Pendidikan yang berjalan di tempat ekstrem. Apakah tafsiran tentang keislaman sudah sebagaimana mestinya. Atau, jangan-jangan kita masih belum tau posisi kita sebagai penganut Islam yang beradab. Atau kita masih pada posisi berislam secara ritual.
Dengan demikian, pendidikan harus didasarkan pada prinsip moderasi, keadilan, dan bersifat rasional, bukan semata-mata yang hedonistik, utilitarianistik, dan deontologis. Pendidikan semata-mata harus mendasar ke ragawi yang sejalan pada prinsip Islam dalam surat al-Rahman: 7. “meletakkan neraca keadilan”, sehingga, pendidikan merasai surga yang dicita-citakan tercipta di dunia, kebahagiaan, kenyamanan, keasyikan, dan kesejahteraan.
Dari pada itu, paradigma pendidikan harus terus dibangun demi mengupayakan rekonsilasi perdamaian keagamaan dan persatuan sesama umat manusia, yang hidup di alam semesta yang sama. Supaya, cita-cita Islam “menjunjung tinggi rasa kemanusiaan menjadi nyata”.
Kita harus setuju bahwa cita-cita Pendidikan, dan agama Islam adalah kedamaian: bertawassut, bertawassun, i’tidal, dan bertasamuh dalam asas cinta. Karena itulah sesungguhnya aspek yang paling penting dari Pendidikan Islam di Indonesia. Sebab seperti Jalaluddin Rumi, tanpa cinta, setiap musik adalah kegaduhan, setiap tarian adalah kegilaan, setiap ibadah adalah beban. Dan kita tidak mau seperti itu.