Jalanhijrah.com-Ketika profesor dari Harvard, Samuel Huntington pertama kali mempublikasikan “A Clash of Civilizations” di jurnal Foreign Affairs, semua orang terbelalak. Umat Islam, terutama, sangat reaktif karena Huntington memperhadapkan Barat dengan Islam. Apalagi pasca peristiwa 9/11, AS terlibat banyak pertikaian dengan dunia Muslim. Tuduhan terhadap Islam sebagai agama teror dirasa sangat merugikan, dan yang paling buruk adalah maraknya islamofobia.
Namun, yang tidak disadari oleh umat Islam, dalam rata-rata respons mereka pada tesis Huntington adalah bahwa mereka tengah menghadapi persoalan yang sangat kompleks. Bahkan, jauh lebih kompleks daripada tabrakan Islam dengan Barat, juga jauh lebih tua daripada tesis Huntington itu sendiri. Islam tidak banyak menguraikan sistem spesifik pemerintahan, tetapi umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk bebas dari segala ke-Barat-an.
Menariknya, jika umat Islam menarasikan Darul Harb untuk mendirikan sistem pemerintahan Islam, AS melalui George W. Bush memiliki agenda Abode of Democracy. Dan secara umum, bagaimana demokrasi merombak sistem politik global adalah sama masifnya dengan teokrasi Islam disuarakan ke seluruh dunia. Artinya, umat Islam tengah terlibat perang dingin ideologi dengan Barat dan efek kekalahan umat Islam, sebagiannya, menjelma jadi teror.
Maka siapa yang perlu disalahkan dalam konflik yang begitu kompleks? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus bertolak dari awal, tentang keniscayaan modernitas. Di Barat, modernitas ditempuh melalui sekularisasi dengan tesis: modernitas tidak akan terjadi tanpa sekularisasi. Tetapi sebagian umat Islam yang sudah kadung anti-Barat malah justru terjebak anti-modernitas: menganggapnya sebagai produk Barat. Weternisasi, kata mereka, harus ditentang.
Umat Islam yang terlanjur benci Barat, menuduh segala ke-Barat-an selalu buruk, bahkan modernisasi sendiri mereka samakan dengan westernisasi. Sementara pada saat yang sama, mereka tidak mampu merespons dinamika sosial-masyarakat. Yang terjadi selanjutnya mengejutkan: mereka menyebarkan propaganda. Karena ketidakseragaman di internal sendiri, maka perang dingin ideologi tadi menjadi perang teror—keputusasaan yang sangat merugikan.
Sebaran Ideologi Teror
Demokrasi adalah produk modernitas. Meski datang dari Barat, ia bukan ke-Barat-an dalam arti sekuler(isme)—sistem tertutup yang menegasikan transendensi agama dan Tuhan. Meski demikian, propaganda yang tersebar sebagai bagian dari perang dingin ideologi ialah bahwa demokrasi bukan ajaran Islam. Bagi para penentangnya, demokrasi dianggap thaghut. Umat Islam yang demikian menggunakan kemundurannya sendiri untuk mencegah seluruh umat maju.
Bagi para pengusung ideologi teror, produk modern dianggap menyalahi dan tidak sesuai dengan agama. Mereka menutupi fakta yang sebenaranya bahwa, mereka tertinggal oleh dinamika sosial-masyarakat. Karena kebencian tersebut, spirit terorisme mencuat ke permukaan. Aksi teror menjadi senjata akhir dan klimaks dari perang ideologi dengan Barat. Tetapi apakah dengan demikian para teroris berasal dari kelompok yang sama? Jelas: tidak.
Dalam beberapa jenis teror, lone wolf jadi salah satu teror yang susah dicari motifnya. Ia bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, baik ikhwan maupun akhwat. Kalau harus ditelisik dari batin kenapa ia berani sampai nekat melakukan bom bunuh diri, misalnya, maka akan ditemukan fakta bahwa di dalam batinnya berkecamuk ideologi teror tadi. Bahwa Islam sedang terancam dan ia harus melawan, dan balasan menjadi syahid adalah surga.
Bukan kemajuan yang harus meraih, melainkan kemunduran yang harus dipertahankan. Begitu dalam pandangan mereka. Kalau perang ideologi tidak mempan, teror solusinya. Jika ditanya, apakah mereka tidak berpikir bahwa mereka akan memperburuk citra Islam? Sebenarnya mereka berpikir ke arah itu, tetapi kalah pada dendam karena kekalahan perang ideologi dengan Barat. Ideologinya menyuruh ia berjuang untuk Islam melalui teror.
Ideologi teror, yang perlu digarisbawahi, tidak akan menjelma sebagai gerakan teror. Ia pasti berpenampilan sebagai “ideologi Islam”, “kemurnian Islam”, “perjuangan Islam”, dan “khilafah Islam”. Cara mereka pun beragam. Ada yang pakai cara birokratis, ada juga yang pakai cara kepartaian Islam. Selain itu ada juga yang bergaya dakwah murni. Tapi jika tidak berhasil, pada akhirnya mereka akan menganjurkan teror sebagai jihad terakhir.
Indonesia dan Islam Reformis
Klimaks ideologi teror ini yang perlu diwaspadai bersama. Islam bagi mereka bukan hanya agama, tapi sepenuhnya kekuatan politik. Karena itu, sebrutal apa pun sepak terjang mereka, Islam akan dibawa ke cengkeramannya sebagai legitimasi di hadapan umat. Globalisasi punya empat mesin: peradaban, ekonomi, teknologi, dan agama. Sekarang, tiga mesin pertama ini dimiliki Barat, sehingga agama tersebut yang diperkosa ramai-ramai untuk kepentingan sendiri.
Di Indonesia, umat Islam berkompromi dengan modernisasi sejak masa kolonial. Para reformis Islam bahkan menyerukan Resolusi Jihad, yang kelak menjadi sumbangsih umat untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Tetapi terdapat kelompok lain yang juga mengklaim diri sebagai reformis Islam dengan gagasan yang berbeda; mereformasi sistem pemerintahan kolonial yang dianggap thaghut. NII adalah awal, dan kroni-kroninya masih hidup hingga hari ini.
Meskipun Franz Magnis mengatakan bahwa sedari awal, umat Islam di Indonesia selalu nasionalis dan demokratis, perlu juga dicatat bahwa sedari awal, ada juga umat Islam yang selalu islamis dan teokratis. Jenis kedua ini yang memerlukan perhatian dan langkah mitigasi. Ini semua tidak bisa dipandang sempit sebagai gejolak keumatan. Lebih dari itu, ini adalah perang ideologi. Dan yang paling berbahaya dari ideologi tersebut adalah propaganda teror itu sendiri.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Bacaan lanjutan bisa dicek di…
Ayubi, Nazih N. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. Canada: Routledge. 1994.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi dan Partai Jemaat Islami. Jakarta: Paramadina. 1999.
Mazrui, Ali A. Islam: Between Globalization and Counter-Terrorism. England: Africa World Press. 2006.
Suseno, Franz Magnis. “Will Indonesia Go Islamist?,” dalam Jihad Nammour (Ed.), State and Religion: Comparing Cases of Changing Relations. Beirut: Friedrich Ebert Foundation. 2011