Marriage With Benefits merupakan sebuah judul series Indonesia yang diproduksi oleh Viu Originals pada tahun 2023 garapan Ferry Pei Irawan dan dibintangi oleh Jessica Milla, Abimana Aryasatya, Ayushita, dan Tora Sudiro. Series ini bercerita tentang sebuah pernikahan yang dilakukan tidak atas dasar cinta sebagaimana umumnya, akan tetapi atas dasar kepentingan masing-masing dan hanya sebagai status sosial.
Berawal dari kasus skandal perselingkuhan Aksandito (Abimana Aryasatya) dengan Sonya (Ayushita) seorang istri calon gubernur Jakarta Adi Jamal (Tora Sudiro) viral di media sosial. Aksandito pun mempunyai ide untuk menutupi skandal itu dengan menikahi Ghea (Jessica Milla) yang sedang membutuhkan biaya hidup dan tabungan untuk menggapai mimpinya menjadi makeup artist di Paris.
Mereka sepakat untuk menjalankan pernikahan sampai selesai Pilkada DKI Jakarta. Mereka akan bercerai dan Ghea akan mendapatkan nominal uang yang telah disepakati. Setelah itu Sonya berencana untuk menceraikan Adi Jamal kemudian menikah dengan Aksandito.
Perlu diketahui bahwa marriage with benefits merupakan model pernikahan tanpa cinta yang dilakukan untuk menunjukkan status sosial di mata masyarakat. Pada praktiknya, pelaku pernikahan ini tidak menjalankan pernikahan sebagaimana mestinya. Mereka hanya mengambil keuntungan dari status sosial yang mereka dapatkan sebagai suamu/istri orang. Sedangkan mereka bebas melakukan apa saja tidak sebagaimana pasutri sah pada umumnya.
Marriage with benefits hampir bisa dikatakan sebagai kawin kontrak jika disederhanakan dalam pemahaman masyarakat Indonesia. Hal ini karena terdapat kesepakatan tentang batas waktu dalam melaksanakan pernikahan tersebut.
Namun, dalam ranah realita yang ada, hal ini berbeda dengan kawin kontrak. Sebab kawin kontrak lebih disebut sebagai prostisusi berkedok pernikahan yang tujuan utamanya adalah seks. Sedangkan dalam marriage with benefits tidak terjadi hubungan seks meskipun tinggal satu atap.
Sebenarnya dalam sudut pandang fiqih Islam, tidak ada hal yang bisa didalihkan untuk menjadikan praktik pernikahan model ini menjadi tidak sah. Pasalnya dalam praktik pernikahan ini, tidak ada syarat dan rukun yang tidak terpenuhi. Terkait kesepakatan batas waktu pernikahan juga tidak bisa dijadikan dalih ketidak sahan model pernikahan ini selama batas waktu itu tidak disebutkan dalam akad.
Akan tetapi model pernikahan ini mengarah pada cacat etika secara tananan ajaran Islam. Sebab, tidak mengajarkan konsep sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Rum ayat 21 berikut:
وَمِنْ اٰيٰتِه اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Prof. Wahbah al-Zuhaili menafsirkan ayat tersebut sebagai bentuk manifestasi pernikahan seorang manusia yang menjadi salah satu tanda bukti kekuasaan Allah yang telah menciptakan manusia berpasangan dan bisa saling mencintai dan mengasihi. Zuhaili mencatat berikut:
وجعل بين الجنسين المودة أي المحبة، والرحمة أي الشفقة ليتعاون الجنسان على أعباء الحياة، وتدوم الأسرة على أقوى أساس وأتم نظام، ويتم السكن والاطمئنان والراحة والهدوء، فإن الرجل يمسك المرأة ويتعلق بها إما لمحبته لها، أو لرحمة بها بأن يكون لها منه ولد، أو محتاجة إليه في الإنفاق، أو للألفة بينهما وغير ذلك
Artinya: “Dan mewujudkan cinta kasih antara pria dan wanita agar keduanya saling membantu menghadapi beban kehidupan bersama, mengabadikan hubungan keluarga dengan pijakan kuat dan manajemen yang sempurna, dan menyempurnakan kedamaian dan ketenangan. Sebab seorang pria hidup bersama wanita dalam ikatan pernikahan ada kalanya karena cinta, atau karena belas kasih agar dia mendapat keturunan, atau wanita itu membutuhkannya untuk diberi nafkah, atau untuk saling memadu kasih antara keduanya.” (Tafsir al-Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1991], juz 21, hal. 70.).
Tidak menutup kemungkinan dalam Marriage with benefits, antara suami dan istri mempunyai kekasih masing-masing dan berpotensi untuk terjadinya dosa-dosa yang tidak seharusnya terjadi dalam hubungan rumah tangga.
Tidak ada intervensi antara keduanya khususnya dari seorang suami yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas dunia dan akhirat istrinya. Keduanya tidak memperdulikan urusan pribadi masing-masing dikarenakan pernikahan mereka hanya sebagai status sosial.
Sikap tidak mengintervensi istrinya yang melakukan dosa ini justru sangat bertentangan dengan Al-Qur’an surat al-Tahrim ayat 6 berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Marriage with benefits juga merupakan model membina pernikahan yang tidak sesuai dengan cara mu’asyarah bil ma’ruf yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Nisa ayat 19 berikut:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Artinya: “Pergaulilah mereka dengan cara yang patut.”
Al-Zuhaili menjelaskan secara gamblang tentang perintah mu’asyarah bil ma’ruf ketika menafsiri ayat ini sebagai berikut:
والمقصود من هذا الأمر الإلهي بحسن صحبة النساء بعد الزواج توفير مناخ السعادة والهدوء والاستقرار وهناءة العيش، لكل من الزوجين، وهذا واجب ديانة على الزوج
Artinya: “Yang dimaksud dari perintah transedental ini yakni dengan menemani wanita setelah menikah adalah menyempurnakan iklim kebahagiaan, ketenangan, stabilitas dan kegembiraan hidup bagi masing-masing suami istri. Perintah ini adalah wajib secara tuntunan agama bagi suami.” (Tafsir al-Munir, juz 4, hal. 305.).
Walhasil, meskipun tidak terkait dengan sah dan tidaknya akad pernikahan yang dilakukan, Marriage with benefit (menikah dengan mengembil keuntungan tertentu tanpa didasari cinta), masuk dalam cacat etika dan tidak sesuai dengan tuntutan akhlak patustri Muslim. Model pernikahan seperti itu tidak sesuai dengan konsep sakinah, mawadah, dan rahmah serta juga tidak sesuai dengan konsep mu’asyarah bil ma’ruf sebagaimana yang telah diajarkan dalam konsep pernikahan Islam. Wallahu a’lam bish shawab.
*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/syariah/ar-KR5RV/pandangan-islam-tentang-pernikahan-yang-berlandas-kepentingan-tertentu