Nyai Hajjah Dlomroh Perempuan Tanggih di Balik Kebesaran Lirboyo

Jalanhijrah.com-Pernikahan Kiai Manab dan Nyai Dlomroh lima tahun berlalu sejak Kiai Manab datang ke Tebuireng. Mulanya ia bermaksud berguru kepada KH. Hasyim Asy’ari yang mendirikan pondok pesantren di sana. Alih-alih, sang pengasuh justru memintanya ikut bantu mengajar. Sebab, Kiai Hasyim adalah sahabatnya kala menimba ilmu dari Syaikhona Kholil di Bangkalan, Madura, sehingga mengerti betul kapasitas keilmuannya.

Usia Kiai Manab telah mencapai setengah abad. Soal keilmuan, beragam fan ilmu agama mahir dikuasainya, apalagi ilmu alat yang Kiai Manab sering menjadi rujukan dalam menjawab persoalan-persoalannya yang merumitkan. Akan tetapi, masih saja ia tak mengisyaratkan tanda-tanda hendak menanggalkan status lajangnya. Kiai Hasyim pun berinisiatif mencarikannya jodoh yang sesuai.

Kiai Hasyim mempunyai kerabat di Banjarmlati, Kediri. Kiai Sholeh namanya. Kelak kita mengenal Kiai Sholeh Banjarmlati ini sebagai kiai yang hampir semua anak dan menantunya menjadi pendiri beberapa pondok pesantren besar di Kediri. Kiai Hasyim mengutus salah satu santrinya sowan kepada Kiai Sholeh sembari menghaturkan tanya apakah Kiai Sholeh mempunyai anak gadis yang siap dinikahkan.

Utusan Kiai Hasyim pulang ke Tebuireng dengan membawa jawaban yang sesuai harapan. Selanjutnya, Kiai Hasyim mengirim kembali utusannya kepada Kiai Sholeh, kali ini guna mengajukan lamaran agar kiranya Kiai Sholeh berkenan menikahkan putrinya dengan sosok alim bernama Kiai Manab yang tengah tinggal di pesantren milik Kiai Hasyim.

Tak lama berselang, Kiai Sholeh datang mengunjungi Tebuireng demi melihat langsung sosok Kiai Manab. Pada kesempatan itu pula, Kiai Sholeh menerima lamaran yang telah diajukan sebelumnya. Kiai Manab pun dinikahkan dengan Dlomroh, putri Kiai Sholeh yang berusia 15 tahun. Tarikh menunjukkan pernikahan tersebut dilangsungkan pada 8 Shafar 1328 hijriah yang bertepatan dengan tahun 1908 masehi.

Dari Banjarmlati ke Lirboyo

Kisah hidup bersama Kiai Manab dan Nyai Dlomroh bermula di desa Banjarmlati. Setahun berselang, setelah kelahiran Hannah, putri mereka yang pertama, mereka hijrah ke desa Lirboyo yang jaraknya dari desa Banjarmelati adalah sekitar 3,9 km.

Baca Juga  Perusakan Masjid Jama’ah Ahmadiyah Membuktikan Betapa Bahayanya Intoleransi

Kepindahan Kiai Manab dan Nyai Dlomroh dari Banjarmlati ke Lirboyo bukanlah inisiatif mereka sendiri, melainkan atas perintah Kiai Sholeh. Ayah Nyai Dlomroh itu telah membeli sebidang tanah di sana serta membangun rumah sederhana di atasnya. Kepala Desa Lirboyo pernah memohon kepada Kiai Sholeh agar menempatkan salah satu menantunya di desa Lirboyo demi mengatasi keadaan desa yang semakin meresahkan. Kiai Sholeh menunjuk Kiai Manab untuk melaksanakan misi tersebut yang diterima oleh Kiai Manab dengan patuh.

Jangan bayangkan kondisi desa Lirboyo saat itu adalah sebagaimana yang kita lihat saat ini. Perusuh, maling, dan perampok yang bermarkas di sana membuat kondisinya berbahaya. Belum lagi keberadaan jin-jin jahat di sana menambah suasananya menjadi angker. Permohonan Kepala Desa Lirboyo kepada Kiai Sholeh tadi semacam jurus demi menentramkan desa, yaitu dengan menempatkan seorang yang alim agar bertempat tinggal dan mendakwahkan ajaran-ajaran agama Islam di sana.

Kiai Manab lebih dulu pindah ke desa Lirboyo. Nyai Dlomroh menyusul beberapa saat kemudian bersama putri kecil mereka, Hannah. Cobaan demi cobaan datang silih berganti menerpa mereka pada masa-masa awal tinggal di sana. Misalnya, barang-barang milik keluarga Kiai Manab sering dicuri sampai-sampai Nyai Dlomroh pernah mengenangnya demikian, “Gek aku lagi tas-tasan nang kene, aku mbiyen duwe lading sitok we nek lali ra dilebokke ilang, wedhus ya ilang.” (Saat saya pertama kali tinggal di sini (Lirboyo), saya hanya mempunyai satu pisau, itu saja jika lupa tidak dimasukkan ke rumah pasti hilang, kambing pun hilang.) Meski begitu, segala cobaan mereka hadapi dengan tegar dan sabar.

Peran Penting Nyai Dlomroh

Cikal bakal pendirian Pondok Pesantren Lirboyo berawal dari kedatangan Umar, santri pertama Kiai Manab asal Madiun. Sejak saat itu—seiring nama Kiai Manab yang kian masyhur—kediaman Kiai Manab semakin ramai oleh kehadiran santri-santri. Apalagi, setelah tahu Kiai Manab merintis pesantren, konon Syaikhona Kholil menolak santri-santri yang hendak berguru kepadanya, dan justru mengarahkan mereka agar berguru saja kepada Kiai Manab.

Baca Juga  Mengapa Perempuan Banyak yang Terlibat dalam Kejahatan Terorisme?

Setiap orang butuh tempat bernaung, demikian pula para santri Kiai Manab yang makin hari makin banyak jumlahnya. Tempat yang tersedia, yakni rumah keluarga Kiai Manab, tentu saja tidak muat menampung mereka semua. Nyai Dlomroh-lah yang kemudian mengusahakan pembangunan kamar-kamar santri. Dan saat lahan yang tersedia tak lagi memadai untuk dibangun, Nyai Dlomroh pula yang memperluas kawasan dengan membeli lahan-lahan baru dengan merogoh kocek sendiri, hingga Pondok Pesantren Lirboyo memiliki kawasan yang luas. Menurut KH. Ibrahim A. Hafidz, total keseluruhan lahan yang dibeli Nyai Dlomroh menggunakan uang pribadinya guna kebutuhan Pondok Pesantren Lirboyo adalah sekitar 4,8 hektar.

Tak hanya itu saja, Nyai Dlomroh juga merupakan figur penting di balik pendirian masjid. Awalnya, kegiatan para santri—khususnya shalat berjamaah dan mengaji—berpusat di sebuah langgar yang temboknya hanya berupa anyaman bambu, sedangkan atapnya sekadar daun kelapa. Lama-kelamaan langgar tersebut tak cukup lagi menampung para santri sebab ukurannya yang kecil. Nyai Dlomroh akhirnya meminta kepada ayahnya agar berkenan membangunkan sebuah masjid.

Kiai Sholeh pun dengan senang hati mengabulkan permintaan putrinya tersebut. Di kemudian hari, masjid yang didirikan Kiai Sholeh atas permintaan Nyai Dlomroh ini dikenal dengan sebutan Masjid Lawang Songo.
Perlu pembaca ketahui bahwa Kiai Manab adalah kiai yang waktunya terserap habis untuk mengajar, mengimami jamaah, dan muthala’ah. Waktu yang seharusnya dipakai beristirahat pun masih dipangkasnya guna mengerjakan shalat sunnah, wiridan, dan mendoakan para santri. Dengan demikian, praktis tak ada lagi waktu yang tersisa untuk memperhatikan hal-hal lainnya. Nyai Dlomroh berperan penting mengisi peran-peran yang tidak sempat ditunaikan suaminya tersebut, termasuk dalam membangun sarana dan prasarana pesantren. Bahkan, bisa dibilang sosok yang menjadi tulang punggung keluarga Kiai Manab adalah Nyai Dlomroh dengan ketrampilannya berdagang, bertani, dan memelihara ternak.

Mbah Qowaid, keponakan Kiai Manab, pernah menuturkan sebuah kisah. Kiai Manab pernah diminta oleh para kerabatnya yang ada di Magelang, Jawa Tengah, agar pulang ke tanah kelahirannya tersebut. Di sana telah disediakan sebuah lahan yang bisa digunakan Kiai Manab membangun rumah, masjid, dan pesantren. Mengetahui hal ini, Nyai Dlomroh berkata kepada Kiai Manab, “Menawi njenengan sak estu badhe pindah wonten Magelang, kawula ndereaken, kawulo purun diajak. Nanging, wonten mrika kawula mboten njamin saged ngladeni njenengan. Menawi wonten nggih tak ladeni, menawi mboten wonten nggih mboten kawulo ladeni. Ning menawi tetep wonten Lirboyo, kawulo njamin saged ngladeni, panjengan namung ngibadah lan ngaos.” (Jika Anda bersungguh-sungguh akan pindah ke Magelang, saya pasrah dan bersedia diajak. Namun, di sana saya tidak berani menjamin dapat melayani Anda. Jika ada, ya saya layani, jika tidak ada, ya tidak. Akan tetapi, apabila Anda tetap bersedia tinggal di Lirboyo, saya berani menjamin dapat melayani Anda. Anda cukup konsentrasi ibadah dan mengaji). Setelah dipertimbangkan, Kiai Manab menolak permintaan tersebut dan memutuskan tinggal di Lirboyo.

Baca Juga  Pasukan Keamanan Sudan Bunuh Demonstrans Penentang Kekuasan Militer

Nafkah memanglah kewajiban suami. Namun, bukan berarti Kiai Manab adalah suami yang tidak bertanggung jawab terhadap nasib keluarganya. Nyai Dlomroh justru melarang suaminya tersebut bekerja, supaya dapat senantiasa fokus mengaji dan beribadah, sementara kebutuhan keluarga dan pesantren biarlah ia yang menopangnya. Betapa pengorbanan Nyai Dlomroh ini sangat menunjang keberhasilan Kiai Manab sebagai kiai yang santri-santrinya banyak menjadi orang besar.

Penutup

Narasi perjalanan pondok pesantren biasanya berpusat pada figur kiai, sehingga tak sedikit peran bu nyai yang luput dari pencatatan. Padahal, banyak peran bu nyai yang haram dikesampingkan, sebab ikut menentukan kemajuan pesantren, seperti peran Nyai Dlomroh yang sangat mempengaruhi kemajuan Pondok Pesantren Lirboyo. Bila Lirboyo diibaratkan tubuh, Nyai Dlomroh adalah sosok yang sangat memperhatikan urusan lahirnya, seperti membangunkan kamar, memperluas kawasan, dan sebagainya, selagi Kiai Manab fokus membina urusan batinnya.

Zahid Murtadlohttps://alif.id/read/m-zahid-murtadho/nyai-hajjah-dlomroh-perempuan-tanggih-di-balik-kebesaran-lirboyo-b241060p/

 

Advertisements

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *