Jalanhijrah.com – Pada tanggal 27 Maret 2024 lalu, Ramadhan puasa hari ke 16 jam 16.00 WIB, kita berkumpul di kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) di Jalan Kramat Raya. Tepatnya di lantai 8. Ketua Umum KH Dr. Yahya Cholil Staquf didampingi KH Zulfa Musthofa, KH Saifullah Yusuf, dan Dr. KH Ginanjar Sya’ban duduk di depan. Para peserta diskusi duduk sambil menunggu buka puasa. Beberapa Rektor PTKI, Direktur Diktis Kemenag RI, dan para pengurus PBNU hadir.

Gus Yahya memang ngaji kitab Mudaddimah Qanun Asasi karya Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari tahun 1926. Ini pengajian kedua secara daring dan luring. Dalam kesempatan itu kita menikmati bagaimana Gus Yahya mensyarahi (menerangkan) atau menafsiri kitab itu dalam konteks kekinian dan relevan.

Sebelum jam 16.00, beberapa tokoh memang berkumpul di lantai tiga juga mendengar cerita rileks Ketua Umum menerangkan dunia kosmopolitan dan peran otoritas di dunia Muslim. Ini sebetulnya adalah pembukaan terpenting pada diskusi inti nantinya.

Dalam suasana akrab dan santai itu, beliau mengungkap bagaimana otoritas (hukumah) di dunia saat ini dan di masa lalu, bukan hanya di dunia Islam. Otoritas begitu cair dan dinamis dalam sejarah politik dan sosial. Misalnya setelah perang dunia I dan II terjadi perubahan besar di dunia ini berupa bentuk otoritas negara dan peran agama. Perubahan itu terjadi terutama di Asia termasuk negara-negara Muslim.

Baca Juga  Haji, Ijazah Doa dan Maknanya

Yang jelas, bentuk negara tidak lagi tradisional kerajaan, walaupun di Eropa seperti Inggris dan Belanda waktu itu tetap mempertahankan bentuk kerajaan tradisional. Tetapi negara-negara baru yang berdiri awal abad 20 adalah negara republik, bukan lagi kerajaan.

Ini tentu perlu pemikiran baru tentang makna berubahnya otoritas negara. Waktu itu, khilafah Turki Utsmani menurun dan runtuh, umat Islam kehilangan pegangan otoritas. Wajar jika muncul pertanyaan, khilafah itu diperlukan atau tidak? Sementara di bumi Hijaz, di mana Makkah dan Madinah berada, terjadi perubahan.

Keluarga Saud menjadi penguasa baru. Lalu, apakah keluarga Saud itu menjadi khalifah bagi umat Islam dunia sebagai pengganti Turki Utsmani? Jika tidak, siapa yang memegang otoritas atas semua umat Islam ini? Apakah khilafah Islamiyah masih diperlukan? Kenyataannya, negara-negara Muslim menjadi republik dan tidak patuh lagi pada otoritas di atasnya.

Memang di dunia ini ada beberapa perkumpulan di atas negara-negara, tetapi tidak mengikat secara otoritas (syaltoh). Yang utama diantaranya adalah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mencakup semua negara di dunia, berdiri tahun 1945. Sementara Rabithah Alam Islami (Liga Bangsa-Bangsa Islam) didirikan di Saudi tahun 1962 yang merupakan forum tersendiri. Tetapi itu bukan otoritas seperti sistem khilafah dalam sejarah Islam.

Dimana otoritas yang menyatukan Islam? Perlukah itu?

Dalam sejarah, sistem khilafah sendiri juga berkembang dan tidak statis. Setelah Nabi Muhammad wafat, penerusnya adalah empat khilafah dengan sistem kesukuan Arab di Madinah. Terpilihlah empat tokoh besar Quraysh itu. Namun, setelah itu Mu’awiyah bin Abu Sufyan mendirikan daulah (dinasti) yang berbeda dengan sistem Madinah. Daulah Umayyah lebih menyerupai Konstantinopel daripada kota yang didirikan Nabi.

Baca Juga  Hukum Membayar Pajak Dalam Islam

Sementara itu, Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam berbangsa. Sriwijaya dan Majapahit adalah model lama yang selama ini dipelajari para pendiri bangsa. Keduanya sepertinya berbentuk federasi tidak kesatuan seperti Republik Indonesia sekarang. Masing-masing kerajaan di kepulauan waktu itu tetap berdaulat tetapi mengakui Sriwijaya atau Majapahit sebagai penguasa di atas raja (emperium). Biasanya disebut raja diraja, umum dipakai dalam sistem politik India, China, atau Persia.

Dinamika Indonesia sendiri juga unik. Setelah era penjajahan Eropa berlalu, Indonesia menjadi Republik modern. Secara hukum, otoritas negara yang ditaati. Pertanyaannya, di mana letak otoritas keagamaan?

Turki modern yang dimotori Kemal Musthofa adalah negara sekuler, seperti model Eropa dan Amerika. Sementara Saudi yang baru berdiri cenderung ke kerajaan dan otoritas agama di dalamnya. Di Mesir terjadi dinamika, di mana republik memperlakukan al-Azhar setara dengan kementerian. Indonesia memilih Kementerian Agama sebagai perwakilan aspirasi umat beragama. Pilihan Indonesia memang berbeda, tidak terjadi di Turki atau Saudi.

Relasi antara agama dan negara, iman dan politik tidaklah sederhana. Dunia semakin majemuk, apalagi saat ini. Peran agama perlu dipikirkan kembali, terutama menyangkut otoritas. Masalah fatwa umat misalnya juga mempunyai kondisi  yang unik di Indonesia. Berdirilah Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975 yang cukup populer fatwa-fatwanya di mata umat.

Tetapi sebetulnya, yang mempunyai anggota resmi adalah organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahtsul Masa’il dan Tarjih sudah lama diadakan, tetapi kenapa fatwa-fatwa halal dan haram tidak seperti MUI yang banyak diberitakan media?

Baca Juga  Lahir Secara Sesar, Bagaimanakah Masa Nifasnya?

Gus Yahya justru ingin melihat persoalan secara lain, tidak sekedar otoritas fatwa halal dan haram, tetapi persoalan umat manusia yang sudah begitu kompleks. Sisi kemanusiaan, hukum-hukum politik dan budaya, gerak peradaban, dan bagaimana umat beragama menyikapinya. Fatwa agama seharusnya tidak hanya terbatas pada persoalan fiqhiyah secara konvensional. Tetapi ulama juga memikul tanggungjawab persoalan umat yang lebih kompleks.

Gus Yahya seperti biasa, memaparkan persoalan dengan kacamata global, luas, dan bervisi ke depan. Cara pandang kosmopolitan tepatnya. Kerangka berfikir fiqih peradaban jelas menjadi dasar pemahaman, tafsir, dan syarah dari ngaji Muqaddimah Qanun Asasi. Ini hanya salah satu sudut pandang mustami’ (pendengar) saja. Semoga bermanfaat.

Al Makin

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *