Jalanhijrah.com – Santri bagaikan mozaik peradaban. Istilah santri telah mewakili corak keagamaan di Nusantara yang hidup selama ribuan tahun. Sebagai suatu tradisi, kultur santri bahkan melampaui usia Islam di Nusantara itu sendiri. Dan, corak keagamaan yang dimaksud adalah asketisme (olah batin dan rohani) demi kesentosaan hidup.
Itulah corak keagamaan yang dipraktikan secara dominan oleh masyarakat Jawa dan Nusantara, sejak periode Hindu dan Buddha. Kehadiran Islam tidak mengubah orientasi keagamaan yang bersifat sufistik itu, tetapi justru melanjutkan dan memperkayanya. Di tengah masyarakat yang sangat menggandrungi olah rohani itulah, kultur santri tumbuh sumbur, berkembang melintasi zaman, bahkan melintasi sekat agama-agama.
Tentu saja, saya tidak menyangkal adanya toponimi bahwa istilah santri merupakan evolusi dari istilah sashtri dalam bahasa Sanskerta. Istilah yang memiliki akar kata yang sama dengan sastra, sejauh dikaitkan dengan kitab-kitab suci keagamaan. Karel Steenbrink disebut-sebut sebagai salah satu ilmuwan kontemporer yang mendukung teori tersebut karena istilah santri memang berkonotasi pada makna, kumpulan murid yang berguru pada seorang Kiai untuk mengaji kitab-kitab keagamaan (Iswara N Raditya, 2022).
Meski begitu, bermodal toponimi saja tidak akan cukup untuk menjelaskan akar-akar pembentukan kultur santri, terutama bila kultur tersebut dikaitkan dengan corak utama keagamaan di Nusantara. Adakah data-data kesejarahan yang mendukung pandangan ini?
Justus M van der Kroef dalam New Religious Sects in Java (1961) menyebut kultur santri sebagai kelanjutan dari pola keagamaan lama, Sivaisme yang diperan oleh para rși dalam merawat, membaur, sekaligus mewakili imajinasi masyarakatnya dalam menjalankan agama. Mereka umumnya adalah para petapa dan pencari kesejatian. Hidup dikelilingi oleh para sahstri yang juga belajar olah batin (sufistik), tetapi sekaligus mengabdi, merawat dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para rși.
Sebelum abad ke-15 M, keberadaan para rși dibedakan dengan para pendeta Siva dan Buddha. W.F. Stutterheim dalam Het Hinduisme in de Archipel (1951) memberikan petunjuk lebih jauh bahwa, sementara para pendeta Siva dan Buddha menjalankan peran struktural mereka yang lebih bersifat seremonial keagamaan, para rși justru lebih berorientasi pada mistisisme (sufisme). Melalui jalan itu, mereka menyerap dan mewakili spirit keagamaan masyarakatnya.
Tetap penting dicatat, keberadaan para rși relatif berjarak dan mandiri dari kekuasaan, juga dari pengaruh para pendeta Siva dan Buddha. Mereka mendiami tempat-tempat yang diotonomisasi. Sebagiannya melalui penetapan dan penghargaan kawasan sima-swatantra. Merupakan kawasan yang dibebaskan dari segala macam urusan pajak karena dihormati sebagai kawasan spiritual. Kawasan-kawasan itu lazim disebut dengan ka–rși-an. Menimbang para rși juga menyandang gelar guru, maka kawasan yang sama juga lazim disebut ka-dewataguru-an.
Keberadaan para rși dan ka–rși-an yang begitu menjamur, telah menjadi corak utama keagamaan di masanya. Karya-karya sastra jawa kuno mendokumentasikannya dengan baik. Kakawin Rāmāyana yang ditulis pada abad ke-10 M, telah mengirim kisah tentang banyaknya rși yang mendiami wanasrama atau ka–rși-an dan membantu perjuangan para ksatria. Begitu juga Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 M, juga mengisahkan keberadaan para spiritualis dan kehidupan mereka di kawasan hutan dan lereng gunung (Zoetmulder, 1983).
Bukan tanpa alasan, bila pada abad ke-15 M dan sesudahnya, pola keagamaan seperti ini diterima dan dilanjutkan oleh komunitas Muslim yang sudah mendapat pengakuan di Jawa. Bukan hanya pola pembelajaran keagamaan yang menyerap kultur ka–rși-an yang diwarnai oleh relasi Kiai dan santri, tetapi juga corak keagamaan Islam yang berdiri kokoh di atas kultur keagamaan pendahulu yang lebih berorientasi pada asketisme dan mistisisme.
Inilah corak yang paling mudah diterima oleh Masyarakat Jawa. Islam mistis—yang melampaui urusan syariat, jauh lebih masuk akal bagi masyarakat Jawa karena begitulah akar keagamaan yang berlaku selama ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya.
Dalam praktik Islam yang bernuansa mistisisme inilah, fungsi dan peran Kiai menyerap dan sekaligus memodifikasi peran dan fungsi yang pernah dimainkan oleh para rși pada masa Hindu dan Buddha. Di posisi yang sama persis, istilah santri bukan hanya menyerap bahasa lama, tetapi sekaligus melanjutkan semangat pembelajaran agama yang mengharuskan para murid untuk hidup bersama Kiainya. Relasi Kiai dan santri lebih bisa digambarkan sebagai komunitas mistisisme daripada sekadar urusan teknis pembelajaran agama (van der Kroef, 1961).
Sudah barang tentu, melalui Kiai, para santri belajar dasar-dasar keagamaan Islam, seperti shalat, zakat, puasa, serta mengaji. Meski begitu, relasi tersebut tidak pernah berlaku hanya untuk urusan ortodoksi agama, sehingga para santri menjadi individu-individu yang saleh dalam ukuran syariat. Bisa dikatakan, sebagai komunitas mistisisme, relasi Kiai dan santri bersifat primordial dan berlangsung di semua level kehidupan. Mempertimbangkan bahwa sebagian Kiai sekaligus merupakan pimpinan tarekat, mereka sekaligus disebut sebagai guru—sebutan yang tentu saja dipinjam dari zaman Hindu dan Buddha.
Dalam kehidupan sufistik seperti itu, hubungan primordial Kiai dan santri sudah sampai pada kadar hidup-mati. Para santri seolah-olah menyerahkan hidupnya secara total kepada Kiai dan guru tarekatnya. Itulah mengapa hingga saat ini, kita masih menerima adagium yang khas santri, “urip mati nderek Kiai” (hidup mati ikut Kiai). Dan, sabagaimana halnya kehidupan di ka–rși-an, para santri juga berperan sangat besar dalam menopang kehidupan para Kiai dan guru tarekat mereka.
Masyarakat Jawa yang sudah sangat terbiasa dengan kehidupan keagamaan seperti digambarkan di atas, tidak memiliki hambatan apapun untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari pada Kiai, sebagaimana dahulu mereka melakukan hal yang sama kepada para rși. Meski, tentu saja, kali dengan dengan bahasa ortodoksi keagamaan yang berbeda. Zakat maupun zakat fitrah menjadi ‘pajak’ keagamaan yang bukan hanya berfungsi menghidupi para Kiai atau guru tarekat, tetapi sekaligus menjadikan relasi Kiai-santri berlangsung pula di ranah ekonomi dan politik.
Dalam relasi yang kompleks seperti digambarkan di atas, komunitas-komunitas mistik yang dibangun oleh para Kiai, berkembang menjadi komunitas yang mandiri dan berjarak dengan kekuasaan. Itulah mengapa dari zaman ke zaman, kita akan selalu mendapatkan kisah perlawanan sekaligus rekonsiliasi antara kelompok santri atau pesantren dengan pusat-pusat kekuasan.
Berdasar pada gennya, kultur keagamaan santri atau pesantren sejak awal kelahirannya, lebih berorientasi pada kehidupan asketisme yang menekankan olah jiwa dan batin dalam rangka kesontasaan. Inilah kultur keagamaan yang mampu menyerap dan mencari titik temu dengan khazanah agama-agama pendahulu. Dan karenanya, alih-alih membangun benteng ortodoksi yang kaku, kultur santri justru menghadirkan corak keagamaan inklusif dan menyerap tradisi-tradisi lama yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ketauhidan.
Dengan begitu, santri—baik ditinjau dari segi aspek kebahasaan maupun kultur keagamaan—adalah anak kandung kebudayaan Nusantara yang bukan hanya bercorak sufistik, tetapi juga berdamai dengan tradisi keagamaan yang sangat beragam. Bila kultur ini datang dari masa lalu ka–rși-an, maka secara keagamaan, santri mempraktikan Islam melampui sekat-sekat ortodoksi yang kaku. Dan, secara sosial-politik, memiliki kemandirian dan terus berjarak dengan kekuasaan.