Na’ilah binti Al-Farafishah, Potret Wanita Salihah nan Setia, Istri Khalifah Utsman bin Affan

Jalanhijrah.com- Seorang wanita yang belum dikenal di masa awal Islam, ia hanya dikenal di lingkungan keluarga dan handai tolan. Dari kampung halamannya di Samawah dekat Kuffah, ia berpindah ke Madinah al-Munawwarah sebagai istri Khalifah Utsman bin Affan ra..

Sosok wanita ini berlisan fasih, cakap dalam berpidato, pandai bersyair, setia, dan doa-doanya dikabulkan Allah Swt. Ia adalah Na’ilah binti al-Farafishah.

Menikah dengan Amirulmukminin Utsman bin Affan

Dikisahkan Ibnu ‘Asakir, Sa’id bin al-Ash al-Umawi yang merupakan gubernur Kuffah menikah dengan seorang muslimah dari bani Kalb yang bernama Hindun binti al-Farafishah bin al-Ahwash al-Kalb. Berita pernikahan Sa’id sampai kepada Utsman bin Affan. Utsman bin Affan sangat mengetahui Sa’id adalah seorang lelaki cerdas, berpikir jernih, dan tepat dalam pilihan.

Itulah sebab Utsman segera mengirim surat kepada Sa’id mengutarakan maksudnya. Isi surat tersebut adalah: “Bismillahirrahmanirrahim. Amma ba’du. Aku mendengar engkau menikah dengan wanita dari Bani Kalb, beri tahu aku tentang kehormatan dan kecantikannya. Segeralah tulis surat kepadaku.”

Dengan singkat Sa’id bin al-Ash al-Umawi menulis surat jawaban kepada Khalifah Utsman bin Affan, “Assalamualaikum warahmatullah. Adapun kehormatannya, ia adalah putri Al-Farafishah bin al-Ahwash. Adapun kecantikannya, ia putih dan tinggi. Waalaikumsalam warahmatullaah.”

Utsman lalu menjawab surat Sa’id. “Jika ia memiliki saudara perempuan maka nikahkanlah aku dengannya.” Sa’id pun menyampaikan permintaan Amirulmukminin Utsman kepada mertuanya, Al-Farafishah, agar menikahkan putrinya dengan Utsman. Al-Farafishah pun tidak keberatan jika putrinya dinikahi Utsman.

Ia memanggil anak lelakinya yang telah masuk Islam bernama Dhab, karena Al-Farafishah beragama Nasrani, dan mengatakan, “Nikahkanlah saudara perempuanmu dengan Amirulmukminin.” Saat itulah Dhab menikahkan saudara perempuannya Na’ilah binti al-Farafishah dengan Utsman bin Affan, dan Na’ilah pun diboyong ke Madinah.

Baca Juga  Kelompok Islam Radikal di Minangkabau, Bagaimana Menanganinya?

Sejak hidup di Madinah, Na’ilah sering berkunjung ke rumah Ummul Mukminin Aisyah ra. Beberapa hadis diriwayatkan oleh Na’ilah dari Ummul Mukminin Aisyah disamping hadis dari suaminya Utsman bin Affan.

Na’ilah adalah sosok istri salihah, cerdas, mahir bersyair, juga selalu menunjukkan sikap yang baik kepada suaminya, taat, amanah dan selalu berusaha mencintai dan membahagiakan suaminya sehingga mendapatkan tempat yang istimewa di hati suaminya. Dari pernikahan Na’ilah dengan Utsman bin Affan lahir seorang putri yang diberi nama Maryam binti Utsman.

Na’ilah Selalu di Dekat Utsman

Pada 35 H, terjadi fitnah yang diembuskan Abdullah bin Saba hingga fitnah itu menyulut pemberontakan kepada Amirulmukminin Utsman di Madinah. Saat para pemberontak telah menyebar di Madinah dan berhasil memasuki rumah Utsman, para pemberontak itu bermaksud membunuh Utsman.

Na’ilah dengan sigap menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindungi suaminya dari ayunan pedang yang menyasar ke tubuh Utsman, jarinya turut terputus. Tubuh dan tangan Utsman bin Affan pun tidak luput dari serangan pedang hingga berdarah-darah.

Saat itu Utsman berkata, “Demi Allah, tangan ini adalah tangan yang pertama kali menuliskan ayat-ayat surat Mufashal.” Tetesan darah pertama Utsman jatuh tepat mengenai ayat:

فسيكفيكهم الله وهو السميع العليم

Maka Allah akan memelihara kamu dari neraka, Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS Al-Baqarah: 137)

Pemberontak itu datang lagi. Kali ini pedangnya mengayun dan melukai tubuh Amirulmukminin Utsman bin Affan hingga syahid. Sungguh peristiwa di waktu duha hari Jumat itu telah membuat Na’ilah sangat berduka. Ia menangis sangat sedih, air matanya membasahi kedua pipinya.

Baca Juga  Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra., Putri Pembunuh Firaun Umat Ini

Untuk menghormati suaminya, Na’ilah turut menyalati dan hadir dalam pemakaman Utsman bin Affan di Baqi’. Na’ilah adalah sosok istri salihah, kesetiaannya kepada suami tidak diragukan lagi. Pada banyak kesempatan, Na’ilah sering menyebut kebaikan-kebaikan Utsman.

Islam tidak melarang seorang janda menikah lagi, setelah masa idahnya selesai. Namun, banyak janda yang enggan menikah lagi karena rasa cinta dan kesetiaannya kepada suami yang telah meninggal. Begitu pula dengan Na’ilah yang tidak menikah lagi sepeninggal Utsman bin Affan.

Doa yang Terkabul

Sungguh Allah Swt. tidak menyia-nyiakan amal seorang hamba yang salihah, doa-doanya tidak ada hijab antara hamba yang salihah dengan Allah. Begitupun doa-doa Na’ilah binti al-Farafishah.

Ibu Asakir meriwayatkan, dari beberapa gurunya yang berasal dari bani Rasib, beliau berkata, “Ketika aku sedang melakukan tawaf di Kakbah, kulihat ada seorang buta yang sedang melakukan tawaf. Orang itu berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah aku, tetapi aku lihat Engkau tidak mengampuniku.’ Aku berkata kepadanya, ‘Wahai saudaraku, bertawakallah kepada Allah Swt., mengapa engkau berkata seperti itu?’ Laki-laki itu menjawab. ‘Aku mempunyai sebuah masalah. Aku dan seorang temanku pernah bersumpah, kalau Utsman bin Affan terbunuh, kami akan menampar wajahnya. Setelah Utsman bin Affan terbunuh kami masuk rumahnya, kami dapati Utsman bin Affan sudah terbujur di pangkuan istrinya, Na’ilah binti al-Farafishah.’

Temanku berkata kepada wanita itu, ‘Bukalah wajahnya.’ Na’ilah bertanya, ‘Untuk apa?’ ‘Aku ingin menampar wajahnya,’ jawab temanku. Maka Na’ilah berkata, ‘Apakah engkau tidak tahu tentang lelaki ini? Tentangnya, Rasulullah saw. pernah berkata ini dan itu (banyak sekali keutamaannya).’

Baca Juga  Sinta Nuriyah Wahid, 21 Tahun Merawat Keberagaman dengan Sahur Keliling

Maka temanku malu dan mundur pergi. Namun, aku maju dan mendekati. Kukatakan kepada Na’ilah, ‘Bukalah wajahnya.’ Na’ilah pun bangkit dan bermaksud mengusir. Aku berhasil menampar wajah Utsman bin Affan dan Na’ilah marah. Na’ilah berdoa, ‘Semoga Allah Swt. mematikan tanganmu, membutakan matamu dan tidak mengampunimu.’

Demi Allah tidak lama kemudian, tanganku tidak bisa digerakkan, dan mataku tidak bisa melihat. Aku pun tahu bahwa Allah Swt. tidak mengampuni. Muhammad bin Sirin berkata, ‘Sungguh aku melihat tangannya benar-benar mati kering seperti sebatang kayu.’”

Demikianlah, Na’ilah binti Al Farafishah selalu menjaga kehormatan suaminya, meski suaminya telah wafat.

Khatimah

Binar cahaya kebaikan selalu terpancar, tidak lekang oleh waktu. Catatan sejarah tidak melupakan setiap ukiran keindahan. Sungguh sejarah Islam telah menyemai sosok-sosok fenomenal yang terus dikenang masa, yang bisa diambil ibrah darinya.

Dari kisah Na’ilah binti Al Farafishah kita bisa belajar untuk menjadi istri salihah, istri yang setia kepada suami, mendampinginya dalam suka dan duka untuk mengharapkan keridaan Allah Swt.. Selalu menjaga kehormatan suami semasa hidupnya maupun setelah tiada semata karena Allah Swt..

Di tengah arus kapitalisme dan materialisme yang mendominasi dunia saat ini sangat perlu bagi muslimah untuk mengukuhkan iman dan takwa agar tidak terseret dalam ingar bingar dunia yang kerap kali menjerumuskan dalam kebinasaan.

Penulis

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *