MUI Itu Pengayom Apa Provokator?

Jalanhijrah.com-Klaim bahwa Fikri Bareno (pengurus MUI) tidak mewakili “kepentingan” MUI dalam aksi demo tentang Toa memang sah-sah saja. Apalagi yang mau dibahasakan anggota MUI jika tidak hal itu. Sejak dulu kita tahu, tangan yang kotor harus dibasuh atau membasuhnya dengan segala macam rupa-rupa penyangkalan. Tapi yang pasti, Fikri Bareno adalah pengurus MUI Pusat, di mana, ia menjadi mitra tertinggi dalam penentuan kebijakan dan sikap di dalam semua jalannya program MUI.

Kehadiran Fikri Bareno dalam aksi demo toa, yang meminta Yaqut (Menteri Agama) dicopot itu sesungguhnya bentuk pengingkaran diri sebagai pengurus MUI. Di sini, MUI yang diandaikan dan dipercaya sebagai “khadimul ummah (pelayan umat) menjadi mitra Pemerintah dan sosoknya tidak perlu diragukan lagi komitmen kebangsaannya” gagal total.

Apa yang bisa dibanggakan dari MUI di mana sosok-sosoknya menjadi pengkhianat pemerintah? Sudah dalam beberapa hal MUI menjadi oposisi yang sama sekali tidak menudukung program pemerintah dan malah menyerangnnya. Dan pada saat yang sama pula, MUI ini juga menjadi sarang teroris. Padahal, MUI seharusnya menjadi teladan lembaga-lemabaga lain, yang seharusnya bersih dari segala macam yang merusak tatanan program pemerintah, karena ia digaji oleh negara.

MUI Tidak Efektif

Tapi faktanya, sejak berjalannya sampai sekarang, MUI terlihat mandul. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa kehadiran MUI dinilai tidak efektif dalam mendukung-menjalankan program yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Jadi sungguh sia-sia negara membiayai segala operasional MUI, tatapi oknum MUI sendiri tidak mengindahkan dan loyalitasnya sangat memprihatinkan.

Baca Juga  Kontestasi Gerakan Politik Islam dari Arab hingga Indonesia

Apalagi, diperkuat dengan fakta tak indah, oknum MUI menjadi pemimpin dalam aksi demo yang aktivitas itu bertabrakan dengan visi-misi pemerintah. Di lapangan ternyata, onkum MUI ini tidak hanya menjadi pemimpin aksi demo, tetapi juga ia menjadi provokator negatif tentang kebijakan pemerintah Indonesia.

Kita jadi bertanya, sesunggunya LSM MUI ini dibentuk untuk membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslim di seluruh Indonesia, atau menjadi perusak, provokator, dan penghasut umat di seluruh Indonesia?

Jika ingin membimbing kaum muslim di seluruh Indonesia, seharusnya MUI melakukan kerja-kerja kreatif yang membuat kaum Islam menjadi lebih progresif. Jika ingin membina, maka MUI harus juga melakukan perberdayaan pada sumber daya muslim sehingga lebih berkualitas. Jika ingin mengayomi, setidaknya MUI juga melakukan kerja-kerja tingkat tinggi yang tidak sekadar program dialog atau memberikan fatwa-fatwa fatalistik seperti kebiasaannya.

BACA JUGA  Akhir Hayat PA 212; Senja Kala Konservatisme?

Harapan Umat Kepada MUI

Kehadiran MUI, meski sangat politis, tetapi umat muslim Indonesia masih memberikan respons positif dan kepercayaan kepada MUI. Dengan itu, setidaknya, MUI harus memberikan kerja-kerja terbaik demi keberlangsungan umat muslim di Indonesia. Paling tidak, MUI tidak membuat fatwa yang menimbulkan kegaduhan. MUI harus terlepas dari kepentingan-kepentingan politis yang sangat terlalu akut dan telah menjadi kangker di tubuhnya. Sejarah pemenjaraan Ahok di mana MUI menjadi inisioator utama karena fatwanya, harus menjadi catatan penting dan mulai menyadari bahwa hal itu adalah fatwa yang sangat buruk yang pernah dikeluarkan MUI.

Baca Juga  Mengapa yang Diperingati Kelahiran Nabi, Bukan Wafatnya?

Statemen MUI Pusat yang sering buruk, wajib dikelola kembali. MUI kini sudah seharusnya menata dan memperindah tubuhnya. Bahasa dan kebijakannya harus menguntungkan orang banyak, tidak hanya kepada panganut agama Islam, tetapi juga kepada umat agama lain, di mana mereka adalah sama-sama penduduk Indonesia.

Yang dilihat publik bukan statemen atau status personal anggota MUI di Facebooknya. Melainkan adalah wujud dari kebijakan-kebijakan atas nama MUI sendiri. Jika personal MUI di luar berkata “ini”, dan di dalam berkata “itu”, sudah kelihatan bahwa MUI sesungguhnya rusak dan mengindap penyakit di dalam tubuhnya. Atau, para pengurus MUI tidak memiliki komitmen organisatoris dan koordinasi yang mapan, atau memang tidak ada yang dihormati sehingga yang terjadi kontradiktif antara pengurus MUI. Maka di sini, seperti dikatakan di atas, sudah waktunya MUI menyembuhkan itu.

Harapan umat Islam kini tidak banyak, yakni MUI harus membuktikan bahwa dirinya memang tidak menjadi sarang teroris dan ternak ideologisasi radikalisme. Karena, sebagaimana Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan katakan, ia mengaku prihatin terhadap ulah MUI. Dan bahkan mengatakan bahwa kebaradaan MUI kini, tidak streril dari paham radikalisme dan terorisme, karena teroris beberapa bercokol dan ditangkap di tubuh MUI. Berani?

*Penulis: Agus Wedi

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *