Jalanhijrah.com– Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Muslim dengan ideologi Pancasila. Karena itu, negara ini dikenal sebagai negara Muslim di mata dunia. Dengan penduduk yang mayoritas Muslim, seharusnya Indonesia menjadi contoh negara yang damai, santun, dan ramah kepada umat. Namun, bagaimana ketika intoleransi menghantui?
Akhir-akhir ini, Indonesia diterpa berbagai kasus intoleransi yang terjadi di sejumlah daerah. Tak hanya itu. Keragaman atau kebinekaan kita mendapatkan tantangan dalam beragam bentuk dan kesempatan. Indonesia yang seharusnya damai akhirnya terluka akibat sebagian kelompok atau oknum yang menginginkan umat bercerai berai.
Tak lama setelah perhelatan Pemilu 2014, ribuan masyarakat di Jakarta dan sekitarnya menghelat parade Bhinneka Tunggal Ika yang bertujuan untuk merajut kembali perdamaian dan kehidupan harmoni. Sebagaimana diketahui, pesta Pemilu kerap menjadi momen renggangnya persatuan dan kesatuan akibat perbedaan pilihan dan pandangan politik. Hal ini terjadi karena politik identitas sangat kental mewarnai kegiatan politik di Tanah Air.
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan ras, harusnya menjadi contoh yang baik dalam hal toleransi. Perbedaan bukanlah alasan untuk bercerai berai akibat perbedaan praktik ibadah, keyakinan agama, dan semacamnya. Mengacu pada sila pertama dan ketiga yakni “Ketuhan yang Maha Esa” dan “Persatuan Indonesia”, harusnya Indonesia menjadi contoh untuk menumbuhkan toleransi antar kehidupan beragama dan bersatu dalam perbedaan yang ada.
Ahmad Nurcholis (2017) menjelaskan, mengacu pada sila pertama dan ketiga, persatuan dan keragaman harusnya menjadikan masyarakat Indonesia merasa dalam satu kesatuan tubuh. Terlebih ketika hal tersebut dirawat dalam semangat kekeluargaan dengan jiwa gotong royong yang positif dan dinamis.
Dengan bersatu padu, Indonesia yang terdiri atas beragam suku, ras, adat, maupun agama atau keyakinan, kerekatan sebagai bangsa dan negara akan semakin terlihat erat. Dengan begitu, kehidupan damai akan tercipta meskipun hidup dalam keragaman dan perbedaan.
Belajar Toleransi pada Baginda Nabi
Muhammad Saw. adalah nabi yang dikenal dengan pribadi yang ramah dan santun. Dalam menyampaikan dakwahnya, Nabi tak pernah memperlihatkan kemarahan apalagi berbuat kasar dalam menyampaikan risalah Islam. Pribadi Muhammad yang ramah membuat umatnya segan. Bahkan, tak sedikit umat yang rela memeluk Islam karena sifat welas asih sang Rasul.
Dalam beberapa Sirah Nabi dijelaskan bahwa, dulu Nabi Muhammad kerap dicemooh dan dibenci saat menyampaikan dakwah. Bahkan, sebagian ada yang menganggap Muhammad sebagai orang gila karena membawa ajaran baru, yakni Islam. Nabi Muhammad kerap mendapatkan teror, bahkan dilempari kotoran binatang oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
Namun, Nabi Muhammad tak pernah membalas perbuatan orang-orang yang membencinya. Sebaliknya, ia terlebih dahulu membesuk orang yang pernah melemparinya kotoran, saat orang tersebut sakit.
Kebaikan, sikap santun dan welas asih yang diajarkan Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam, harusnya menjadi contoh bagi umat Muslim saat ini. Menyampaikan dakwah tidak harus dengan amarah atau emosi. Perbedaan agama atau keyakinan bukanlah alasan untuk menyalakan api permusuhan.
Pelajaran dan sikap toleransi Nabi Muhammad bisa dilihat dalam pertemuan antara umat Muslim dan kelompok Kristen Najran—di masa modern disebut Yaman—sebagaimana ditulis Craig Considine (2018) dalam bukunya Muhammad Nabi Cinta.
Pada saat itu, golongan Muslim dan Kristen secara terbuka mendiskusikan perihal pemerintahan, politik, dan agama. Mereka bersepakat pada banyak persoalan, tetapi mereka juga sepakat untuk tidak bersepakat pada persoalan-persoalan teologis. Kalau pada frase yang bisa menyimpulkan pertemuan mereka, maka itu adalah “saling menghormati”.
Setelah melakukan perbincangan diplomatik, golongan Kristen Najran pamit hendak melaksanakan ibadah kepadaTuhan mereka, sementara tidak ada gereja terdekat untuk melaksanakan ibadah. Maka mereka berjalan keluar masjid untuk bersembahyang di jalanan Madinah.
Namun, apa yang dilakukan Rasulullah? Alih-alih membiarkan kalangan Kristen Najran itu beribadah di jalanan yang padat dan berdebu, Nabi Muhammad berpaling kepada mereka dan berkata, “Kalian adalah para pengikut Tuhan. Silakan berdoa dalam masjidku. Kita semua saudara sesama manusia.”
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad adalah contoh konkret bagaimana seharusnya umat manusia senantiasa menjaga perdamaian dan menghargai perbedaan. Tak seharusnya umat agama tertentu membenci umat agama lain karena perbedaan yang ada di antara mereka. Sebaliknya, nilai-nilai toleransi harus terpatri dalam hati sehingga perdamaian akan tetap terjaga.
Hal ini senada dengan apa yang ditulis Adib Gunawan (2021) dalam bukunya Menjaga Citra Agama. Menurutnya, Islam adalah agama yang dinamis dan menjunjung tinggi nilai-nilai posoitif universal. Di antara prinsipnya adalah, muslim harus bisa memberikan rasa aman di tengah-tengah manusia dan makhluk- makhluk lainnya, seperti memelihara lidah dan tangannya untuk memberikan rasa aman bagi sesamanya.
Di era digital seperti saat ini, tak jarang perpecahan disebabkan oleh umat beragama yang tidak bisa menjaga lisan dan tindakan. Sehingga, lewat berbagai staus media sosial, mereka dengan mudah memecah belah kehidupan berbangsa dan tatanan yang sudah dijaga sedemikian rupa. Akibat sikap berlebihan yang tidak bisa menjaga toleransi dalam bermedia sosial, hubungan silaturahmi menjadi tidak harmoni. Perpecahan dan permusuhan pun tidak bisa terelakkan.
Penulis: Untung Wahyudi