Tulisan membumikan metodologi trilogi KUPI dalam parenting tak lepas dari pengamatan saya dari percakapan sebagian publik yang santer dengan tema parenting yang kembali menghangat akhir-akhir ini.
Pasalnya, sesuai algoritma sosial media, viralnya konten paradoks pola asuh antara Strawberry dan Lek Damis memicu ritme kehidupan maya. Memunculkan kasus-kasus akuistik pola asuh, misal, artikel parenting ala gus Baha, sampai sentuhan teori parenting ala Islam dan lainnya.
Di tengah derasnya guliran perbincangan parenting, terbesit suatu ide, bagusnya kasus-kasus akuistik pola asuh itu terakomodir dalam bagungan “konsep”. Hal ini penting, guna mendorong percakapan tak lagi pada strategi parenting.
Lebih dari itu, membawa dampak signifikan bahwa mengasuh anak adalah tugas mulia yang produktif. Baik dari aspek rekognisi agama, dan dapat apresiasi sosial. Alih-alih menyoroti satu pola asuh dengan yang lain, apa lagi membanding-bandingkan.
Maka “menguji” Metodologi trilogi fatwa KUPI dalam parenting cukup menantang, yang hasilnya di bawah ini.
Keadilan Hakiki dalam Parenting
Secara sederhana keadilan adalah menempatkan atau memberlakukan sesuatu pada hal-hal yang seharusnya (das sollen), bukan keadaan yang nyata (das sain). Keadilan hakiki sepeti itulah yang oleh Ibu Nur Rofi’ah canangkan. Yakni keadilan yang meniscayakan pertimbangan pada pengalamannya yang bisa berbeda secara biologis dan sosial dari laki-laki.
Sehingga dalam konteks perempuan, menurut beliau, kebaikan yang berangkat dari pengalamannya khas perempuan dan bisa berbeda dari pengalaman laki-laki. Sebagai subyek yang setara dan manusia utuh, laki-laki dan perempuan berhak atas segala kebaikan, kemaslahatan, dan kesejahteraan.
Pun keadilan yang bersinggungan antara orang tua dan anak. Di mana orang tua menempatkan atau memberlakukan pola asuh dengan apa yang seharusnya, bukan yang nyata. Artinya, pola asuhnya mempertimbangkan segi umur anak, kecenderungan anak, daya tangkap pemahaman anak sesuai porsinya. Mengasuh anak dengan pertimbangan pengalaman khas anak.
Boleh jadi sesuatu yang menurut orang tua hal serius untuk kehidupan, bagi anak tak lebih dari permainan. Bagi anak hal serius, bagi orang tua sebatas permainan.
Majalah atau Koran, misalnya, bagi orang tua adalah sesuatu yang amat penting. Bagi anak tak ubahnya kertas yang bisa buat layang-layangan. Pun layang-layangan yang bagi orang tua sebatas permainan tapi bagi anak adalah nyawa taruhannya.
Itu ilustrasi bagaimana pengalaman-pengalaman khas harus menjadi tumpuan. Melalui fatwa KUPI dalam parenting ini. Alih-alih memarahi atau memakluminya, kita mesti memberi pemahaman kepada anak sesuai kecenderungan dan psikis anak. Sehingga bisa mengukur porsi “marah-hukuman” atau “pemakluman-apresiasi” sebagai jalan menjelaskan situasi yang seharusnya kepada anak. Itulah keadilan hakiki.
Makruf dalam Parenting
Melalui fatwa KUPI dalam parenting ini, kita menyadari ada nilai keadilan hakiki, maka secara konsekuen menarik kita untuk mengasuh anak dengan Ma’ruf. Nyai Badiriyah, mendefinisikan konsep makruf sebagai: “Segala sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran dan kepantasan sesuatu dengan syari’at, akal sehat dan pandangan umum suatu masyarakat.”
Artinya, kapan anak ditindak tegas, usia berapa, kesalahan apa, intensitasnya dan jangkauannya apa, konsekuensinya bagaimana, itu mesti menggunakan konsep ma’ruf sehingga berkelindan dengan nilai keadilan hakiki.
Dari sana lagi-lagi kita menentukan dosis tindakan, hukuman misalnya, apa dan berapa levelnya. Sebaliknya, bila anak mesti diapresiasi, perbuatan anak apa? Sekiranya sesuai dengan kebaikan dan kepantasan masing-masing tindakan. Itulah kebaikan dan keadilan.
Menghukum anak tak selamanya jahat, kadang baik selama berpijak pada keadilan dan ma’ruf. Pun mengapresiasi anak dengan lemah lembut tidak selamanya baik, kadang buruk bila tak berdasar pada keadilan dan ma’ruf.
Mubadalah dalam Parenting
Setelah memahami dua nilai tadi keadilan hakiki dan ma’ruf maka perlu orang tua sadari, ada timbal balik dari anak ke orang tua dalam mendidiknya. Sehingga orang tua betul-betul sadar harus adil dan ma’ruf.
Gampangnya, mubadalah yang Kang Faqih rumuskan yaitu dengan menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subyek yang setara ketika merujuk kepada teks-teks sumber, memaknainya, membuat keputusan-keputusan hukum darinya, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.
Begitupun ketika menimba pengetahuan dan pembelajaran dari realitas kehidupan, harus dengan pendekatan mubadalah yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subyek yang setara.
Sementara dalam konteks pengasuhan anak adalah menempatkan orang tua dan anak sebagai subjek. Artinya, mubadalah yaitu timbal balik antara anak dan orang tua; baik ayah maupun ibu. Bagaimana orang tua harus memperlakukan anak berikut konsekuensinya.
Hal ini membutuhkan dua konsep (Keadilan Hakiki dan Makruf) di atas supaya tepat sasaran. Cara memperlakukan anak juga akan ada timbal balik kepada orang tua berupa perasaan “keberhasilan” orang tua mendidiknya.
Dalam mengapresiasi anak, misalkan, bila sesuai dalam menjalankan apresiasi terhadap anak, maka secara otomatis orang tua mendapat timbal balik berupa prestasi-prestasi anak selanjutnya yang menuju ke arah yang lebih baik.
Seperti prestasi dalam kejujuran, atau soal nilai ujian. Anak-anak merasa terus ingin berbuat jujur sebagai dampak dari apresiasi orang tua yang sesuai “dosisnya” dilaksanakan dengan dasar keadilan hakiki dan mu’asyarah bil makruf. Apresiasi orang tua pada prestasi anak tidak membuatnya jumawa atau merasa kecewa.
Sebaliknya, ketika anak bersikap “buruk” sesuai etik yang disepakati bahkan oleh semua manusia. Misalkan, menipu atau berbohong. Maka tindakan orang tua saat menghukum anak juga memiliki timbal balik. Yaitu anak akan berhenti atau setidaknya meminimalisir kesalahan secara bertahap lantaran hukuman itu dilaksanakan dengan nilai keadilan hakiki dan makruf.
Hukuman yang orang tua berikan pada anak, tidak membuatnya memberontak karena berlebihan (yang tentu tak adil dan tak makruf). Pun, hukumannya tidak membuat anak justru menjadi-jadi lantaran terlalu ringan.
Mubadalah Skala Luas
Dan lagi, saya kira, jangan sampai memahami mubadalah atau timbal balik secara sempit. Timbal balik yang sifatnya instan atau cepat sebagaimana paparan di atas.
Dalam “pengasuhan anak” membaca mubadalah atau timbal balik mesti melampaui zaman hal (sekarang). Artinya, timbal balik juga bisa timbul di masa depan yang akan datang. Hal ini, berpangkal dari “evolusi” manusia yang dari bayi, berkembatumbuh terus menjadi gagah, terus berkembang tapi tidak tumbuh menjadi tua layaknya bayi.
Dalam QS. Al-Rum ayat 54.
۞ اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةًۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ
Artinya: “Allah adalah Zat yang menciptakanmu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan(-mu) kuat setelah keadaan lemah. Lalu, Dia menjadikan(-mu) lemah (kembali) setelah keadaan kuat dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa”.
Ketika kita menjadi tua renta, maka pasti akan mendapat asuhan dari anak-anak kita. Baik anak secara biologis; anak-anak kandung. Boleh jadi anak-anak ideologis-spiritual-intelektual yaitu murid atau santri-santrinya. Terakhir, anak-anak ekonomi-finansial yaitu karyawan pati Jumpo, misalkan.
Dalam kondisi itu, orang tua akan mendapat timbal balik sesuai perlakuan mereka pada anak-anak dulu, baik secara teoritis (nasehat omongan atau lisanul maqal) maupun praktis (nasehat contoh atau lisanul hal) berupa nilai trilogi KUPI. Keadilan hakiki, makruf, dan mubadalah.
Kalian boleh melanjutkan mubadalah sampai mati bagaimana anak memperlakukan orang tua yang meninggal, dan sebaliknya. Itu timbal balik atau mubadalah keterputusan.
Mubadalah yang Keberlanjutan
Tidak berhenti di sana, dalam parenting juga ada timbal balik berkelanjutan. Anak-anak yang dulu diasuh orang tuanya, dan berkembang menjadi orang tua, maka mereka pun akan menerapkan pola asuh kepada anak-anaknya sesuai dengan pola asuh orang tuanya yang dulu mengasuhnya.
Mau minta contoh? Mari kita ilustrasikan Kang Faqih, seorang yang bertanggung jawab karena yang punya konsep mubadalah yang memaksa saya membacanya penuh imajinasi.
Bagaimana beliau sejak kecil mendapat pola asuh? Dan bagaimana beliau sekarang menerapkan konsep mubadalahnya pada orang tuanya yang dulu mengasuh? Terakhir, seperti apa beliau menerapkan konsep mubadalah keberlanjutannya kepada anak-anaknya? Silahkan, yang berkepentingan bisa tanyakan langsung ke yang bersangkutan.