Naouelle Garnoussi adalah seorang muslimah taat yang dibesarkan di Prancis: salat lima waktu, menikmati pekerjaannya ´dan aktif di komunitasnya dan merupakan warga lokal. Ia dibesarkan oleh kakek-neneknya yang satu satunya muslim, anggota keluarga yang lainnya Katolik. Perempuan berusia 36 tahun ini mengidentifikasi diri sebagai orang Prancis. Ia membela nilai-nilai sekuler Prancis yang memisahkan agama dari negara di ruang publik.
Namun setelah rentetan serangan teror, ia mulai merasa semakin terasing di negaranya sendiri. Rekan se-negaranya cenderung melihatnya sebagai sosok berbeda, katanya. Respon pemerintah terhadap kekerasan membuatnya bertanya-tanya: Apakah seorang muslim benar-benar setara di mata republik tersebut?
“Nenek saya orang Prancis. Nenek buyut saya orang Prancis, dia dipanggil dengan sebutan Antoinette. Anda tidak akan mendapatkan lebih banyak bahasa Prancis dari hal itu. Tapi terkadang saya dibuat merasa bahwa saya bukan lagi orang Prancis. Hanya seorang muslimah,” kata Garnoussi dikutip dari Reuters di kawasan kelas pekerja pinggiran kota Paris.
Sikap anggota masyarakat terhadap muslim tampak mengeras, lanjutnya. “Kadang-kadang saya lupa mematikan notifikasi ponsel saat Adzan berkumandang. Suatu hari saya diludahi, jadi situasinya mulai menjadi sangat buruk.”
Beberapa tokoh Muslim terkemuka mengkhawatirkan masyarakat luas memandang mereka seperti kelompok militan. Minggu ini, pernyataan dari sekelompok pemimpin muslim di Prancis mendesak pemerintah untuk bertindak. “Mayoritas umat Islam yang sangat mengutuk serangan teroris baru-baru ini tidak disamakan dengan dengan pemicu kebencian.”
Garnoussi dibuat bingung oleh majalah satire, Charlie Hebdo. Keputusan Hebdo pada bulan September untuk menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad membakar kemarahan di sejumlah negara muslim.
Majalah itu melakukannya untuk menandai persidangan tersangka kaki tangan teroris. Ia melakukan serangan pembunuhan pada tahun 2015 di mana 12 orang, termasuk beberapa kartunis terkenalnya, terbunuh.
Beberapa minggu setelah publikasi ulang kartun tersebut, seorang pemuda berusia 18 tahun asal Chehnya memenggal seorang guru sekolah menengah. Pasalnya ia telah menggunakan kartun itu di kelas ekspresi kebebasan.
Minggu lalu seorang perempuan dipenggal dan dua orang lain tewas di Nice dalam serangan pembunuhan yang diduga dilakukan teroris Islamis. Pemerintah Prancis membela publikasi karikatur itu dengan mengatakan, mengizinkan kebebasan berekspresi.
Bagi Garnoussi, publikasi ulang karikatur itu merupakan tindakan provokatif yang berisiko membuat hidup lebih sulit bagi banyak orang di antara sekitar lima juta penduduk muslim Prancis yang, seperti dia, yang mengutuk kekerasan atas nama agama. “Itu menyakiti kami dan membuat kami merasa negara tidak mencintai kami,” katanya tentang tindakan Charlie Hebdo dan pembelaan pemerintah atas mereka.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron menanggapi pembunuhan guru Samuel Paty dan para korban di Nice dalam pidatonya beberapa hari kemudian, dengan janji untuk menindak apa yang disebut beberapa pejabat publik sebagai “musuh di dalam”.
Setidaknya ada tiga perkumpulan muslim yang diduga mengobarkan pandangan ekstremis telah dibubarkan pemerintah. Selain itu pemerintah Prancis berjanji untuk mempercepat legislasi untuk melawan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Republik Prancis.
Tetapi dalam upaya untuk memperbaiki kesalahpahaman tentang hubungan Prancis dengan umat muslim, Macron menekankan dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, Prancis sama sekali tidak anti Islam.
Presiden Prancis itu berbicara tentang menciptakan “Islam di Prancis”, atau apa yang baru-baru ini dia sebut sebagai “Islam yang Tercerahkan” yang sesuai dengan nilai sekuler negaranya.
Namun ini adalah konsep yang tidak masuk akal menurut Garnoussi.“Jika saya di Jepang, Papua Nugini atau Perancis saya akan salat lima kali sehari dengan cara yang sama, sajadah saya tetap menghadap Mekah, mungkin hanya posisinya saja menunjuk ke arah yang berbeda”, pungkas muslimah Prancis itu.
***
Prancis, negara yang membanggakan nilai-nilai sekularisme, kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, seringkali menjadi sorotan dalam wacana mengenai kebebasan beragama. Namun, realitas yang dihadapi muslimah seperti Naouelle Garnoussi menunjukkan kontradiksi mendalam antara prinsip-prinsip republik dan pengalaman hidup warga Muslim di sana.
Naouelle, seorang Muslimah taat yang mengidentifikasi diri sebagai orang Prancis, adalah simbol dari harapan dan tantangan yang dihadapi komunitas Muslim di Prancis. Dibesarkan dalam lingkungan multikultural dengan kakek-nenek Muslim dan anggota keluarga Katolik, Naouelle mencerminkan harmoni lintas identitas yang semestinya dirayakan dalam negara sekuler. Namun, rentetan serangan teror yang terjadi beberapa tahun terakhir mengubah dinamika ini secara signifikan.
Prancis mempraktikkan laïcité (sekularisme), prinsip yang memisahkan agama dari negara. Pada dasarnya, sekularisme bertujuan melindungi kebebasan individu untuk beragama atau tidak beragama tanpa campur tangan negara. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering kali memarginalkan Muslim, terutama Muslimah yang mengenakan hijab.
Larangan hijab di ruang publik, seperti sekolah atau pekerjaan, dijustifikasi dengan alasan mempertahankan netralitas negara. Tetapi langkah ini justru mempersempit ruang gerak Muslimah untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Keputusan pemerintah seringkali diwarnai bias yang menganggap simbol keagamaan tertentu, terutama Islam, sebagai ancaman terhadap identitas nasional.
Gelombang serangan terorisme di Eropa memunculkan narasi keamanan yang menargetkan komunitas Muslim secara tidak proporsional. Naouelle, seperti banyak Muslim lainnya, mulai merasa terasing di negaranya sendiri karena pandangan stereotip yang mengaitkan Islam dengan kekerasan. Pemerintah merespons insiden ini dengan kebijakan yang seringkali diskriminatif, seperti pengawasan yang berlebihan terhadap masjid atau penutupan lembaga-lembaga Islam.
Akibatnya, Muslimah seperti Naouelle harus menanggung beban ganda: mereka harus membuktikan kesetiaan mereka kepada negara sekaligus melawan stigma yang melekat pada identitas keislaman mereka. Pertanyaan mendasar pun muncul: Apakah Muslim benar-benar setara di mata republik?
Fenomena diskriminasi terhadap Muslim tidak hanya terjadi di Prancis. Di Eropa, gelombang populisme sayap kanan dan retorika anti-imigran memperparah Islamofobia. Banyak negara Eropa menghadirkan undang-undang yang membatasi ekspresi keagamaan Muslim, seperti larangan burkini di pantai atau pembatasan pembangunan masjid. Semua ini menciptakan ruang sosial yang semakin tidak ramah bagi warga Muslim.
Muslimah, terutama yang mengenakan hijab, seringkali menjadi sasaran utama diskriminasi di Eropa. Mereka menghadapi tantangan berlapis: sebagai perempuan, sebagai Muslim, dan sebagai minoritas etnis. Diskriminasi ini tidak hanya terjadi di ruang publik tetapi juga di sektor pendidikan, pekerjaan, dan perumahan.
Kasus Naouelle menggambarkan bagaimana seorang Muslimah yang membela nilai-nilai sekuler tetap dianggap “lain” hanya karena agamanya. Ironisnya, nilai-nilai yang ia junjung tinggi tidak selalu melindunginya dari diskriminasi.
Editorial ini mengajak kita untuk merenungkan kontradiksi dalam narasi kebangsaan yang mengklaim inklusivitas tetapi dalam praktiknya meminggirkan komunitas tertentu. Prancis, dan Eropa pada umumnya, harus membuka ruang dialog yang lebih inklusif untuk mengakui kompleksitas identitas warganya.
Muslimah seperti Naouelle tidak meminta keistimewaan; mereka hanya ingin setara di mata hukum dan masyarakat. Mereka ingin diterima sebagai bagian integral dari bangsa mereka tanpa harus menanggalkan identitas keagamaan.
Jika Eropa terus mempertahankan sikap eksklusivitas yang membatasi, mereka berisiko kehilangan potensi besar dari komunitas Muslim yang seharusnya menjadi aset dalam membangun masa depan yang inklusif. Tantangan ini bukan hanya tentang Prancis, tetapi juga tentang masa depan harmoni sosial di Eropa.
Eksistensi Muslimah seperti Naouelle Garnoussi adalah pengingat bahwa sekularisme sejati harus melindungi kebebasan beragama, bukan menjadi dalih untuk diskriminasi. Prancis dan Eropa memiliki peluang untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai republik benar-benar berlaku universal. Namun, hal ini membutuhkan keberanian untuk mengakui kesalahan masa lalu dan membangun kebijakan yang lebih adil di masa depan.