Memahami Hadits Harus Kontekstual (Tak Hanya Tekstual)

Jalanhijrah.com. – Mafhum, bahwa hadits tidak hanya mensyaratkan kritik sanad dan kritik matan, tapi juga (wajibnya) pemahaman yang baik dan jelas akan kandungan hadits. Yusuf Qardhawi misalnya merumuskan kaidah pemahaman hadits dalam pendekatan lain. Adalah memahami hadits menurut al-Qur’an, memahami hadits-hadits setema, memahami hadits menurut sebab, konteks (maksudnya).

Yang pasti juga lebih dari itu, memahami hadits dengan membedakan sarana yang mengubah tujuan dengan tujuan yang tetap, memahami hadits dengan membedakan alam ghaib dan alam nyata, dan memahami hadits dengan memastikan konotasi maknanya.

Satu contoh. Misalnya pendekatan kesejarahan. Kita memahami hadits dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadits disampaikan oleh Nabi. Dalam hal ini, digunakan sebagai upaya untuk memasukkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam teks hadits.

Tentunya sesuai dengan determinasi-determinasi sosial serta situasi historis kultural yang berlaku saat itu. Ini penting untuk digunakan. Sebab, kondisi masyarakat umum dan setting sosial yang melingkupi munculnya sebuah hadits, seringkali membantu dan memperjelas maksud hadits secara lebih komprehensif.

Syahdan, sepanjang sejarahnya, selama 15 abad terakhir, umat Islam telah mengkaji memaknai dan memahami substansi hadits Nabi saw, para ahli hadis telah merumuskan metode kajian hadits dalam upayanya membumikan pesan Tuhan lewat pernyataan verbal (aqwal), aktivitas (af al), dan taqrir Nabi saw.

Semua ini dilakukan agar nash hadits tidak hanya dipahami secara kata per kata dengan pendekatan filologis gramatikal yang justru dapat berakibat tidak membuminya pesan nas, dan malah jauh spiritnya di alam otopia.

Baca Juga  Hukum Bersumpah Atas Nama Allah dan Besaran Kafaratnya

Usaha semacam ini dilakukan para ulama hadis melalui perumusan pelbagai model pendekatan kajian hadits dan dikarangnya sekian kitab terkait ulum al hadits dan sharah al-hadits sebagai upaya memahani dan menjaga otensitas dan otoritas hadits.

Pendekatan yang literal akan menjadikan nas tidak mampu menyentuh problematika kontemporer yang setiap saat membelenggu aktivitas keseharian umat Islam, baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat dan negara. Semua ini terjadi akibat ketidaktepatan dalam memilih metode pemahaman nas.

Perhatian umat Islam terhadap hadits juga diwujudkan dalam bentuk penjagaan atas transmisi hadits, dari generasi sahabat hingga saat ini. Hadits menjadi satu-satunya ucapan Nabi yang tetap relatif otentik dan berlanjutnya penyebarannya hingga kini. Begitu pula dengan metodologi yang komprehensif dalam memahami teks hadits.

Misalnya dengan mempertimbangkan aspek asbab al-wurud (latar sosio-historis). Hal ini dikarenakan kandungan hadis yang begitu luas, sehingga ia memberi ruang pemahaman yang luas pula bagi siapa saja yang hendak mempelajarinya.

Ajjaj al-Khatib mendefinisikan hadits sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah saw (selain al-Qur’an) yang berisi penjelasan atas hukum syariah. Hadits merupakan wahyu dari Allah swt atau ljtihad Rasulullah saw. Meski begitu, wahyu lebih mendominasi. Jika al-Qur’an adalah narasi wahyu yang menjadikan bagian dari ibadah bagi siapa saja yang membaca, maka hadits adalah wahyu yang tidak dinarasikan, dan dibaca tidak dianggap ibadah.

Baca Juga  Mengantisipasi Kuatnya Narasi Konflik Agama antara Rusia-Ukraina

Namun demikian, hadits juga punya sejarah yang tak kalah penting dari al-Qur’an. Bahkan saling beriringan antara keduanya. Nabi Muhammad saw pernah:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهَِ وَسُنَّسةَّس

Saya telah meninggalkan kepada Anda dua masalah. Kamu tidak akan sesat selama berpegang pada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm).

Masih menggunakan hadits. Ini di buktikan dengan banyaknya penggunaan hadits dalam kitab-kitab tafsir maupun fiqh. Tentunya, kitab fiqh dari mazhab manapun, pasti menggunakan dalil-dalil dari sunnah.

Bahkan undang-undang terkait periwayatan yang telah dikembangkan sejak masa sahabat, berupa investigasi dan kualifikasi atas perawi, sudah mengkristal menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan mustalah al-Hadith.

Kita tahu, hadits merupakan jenis produk orisinil umat Islam yang tidak dimiliki oleh umat lain. Inilah yang menjamin otensisitas hadits. Ibnu Hazm berkata, peralihan hadits dari seorang perawi terpecaya kepada perawi terpecaya secara bersambung sampai pada Nabi adalah, kekhasan umat Islam yang tidak dimiliki umat agama lain.

Penampakan ini tampaknya dikuatkan oleh Abu Ali al-Jiyani yang menyatakan, umat ini memiliki tiga kepemilikan ekslusi, yaitu isnad, i’rab, dan ansab. Para ilmuwan kontemporer mengakui kejelian dan nilai kritis ilmu hadits. Bahkan, para sejarawan sekalipun juga telah mengadopsi metode ilmu hadits sebagai alat untuk mengetahui kondisi sanad dan matan.

Baca Juga  Adakah Pahala Bagi Orang Yang Gagap Membaca Al-Quran?

Tak hanya itu, ilmu hadits juga memiliki banyak cabang yang terus berkembang. Misalnya, pada masa al-Hakim, jumlah cabang ilmu hadits sudah mencapai 50 bagian. Kemudian, jumlah ini bertambah pada masa Ibnu al-Salah menjadi 65 macam. Alih-alih bertambah macam jumlah, Imam Nawawi berkomentar, bahwa jumlah itu bukanlah angka yang final, karena masih dapat diterima untuk dibagi ke dalam jumlah yang tak terhitung.

Sementara itu, Nur al-Din’ Itr menjumlah fungsi hadits, minimal, ke dalam tiga bagian. Pertama, mengawal ajaran Islam dari distorsi (melalui hadits, dapat diklasifikasi antara hadits shahi h dan dhaif ). Kedua, hadits bisa memproteksi seseorang yang meriwayatkan hadits dari sebuah ancaman kesalahan periwayatan. Sebutan diperingatkan oleh Nabi. Ketiga, hadits juga bisa menangkal akal umat Islam dari khufa r at dan israiliat. Wallahu a’lam bissyawaab.

Oleh: Salman Akif Faylasuf ( Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid sekaligus Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo).

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *