Melihat Lebih Jauh Potret Pemberdayaan Perempuan di Pakistan

Jalanhijrah.com – Mendengar kata “Pakistan”, ingatan kita tentu kepada Islam, negara Timur Tengah, bahkan Arab. Benar, bahwa Negara Pakistan merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim yang terbanyak. Dilansir dari Republika.co.id, Pakistan merupakan negara Islam yang ideal dengan pelbagai alasan, di antaranya:

Pertama, dalam kondisi Covid-19, masyarakat saling membantu, memberikan support satu sama lain, menolong dan terus menjaga kerukunan. Kedua, Pakistan adalah benteng kuat bagi seluruh dunia muslim. Pemuda Pakistan memiliki pengaruh untuk mengubah nasib negerinya itu.

Penjelasan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Nasional Pakistan, Qasim Khan Suri, mengatakan pandangan ini saat berpidato pada upacara penutupan Konferensi Nasional dua hari bertajuk “An inclusive and peaceful society in Pakistan: Challenges and Opportunities“, di Universitas Islam Islamabad.

Dalam penyampaiannya juga, diharapkan untuk masyarakat Pakistan, khususnya anak muda berperan aktif untuk menebarkan toleransi, ajaran damai disertai dukungan para ulama, lembaga pendidikan yang terus memberikan pengajaran tentang toleransi kepada masyarakat Pakistan.

Dengan kondisi ideal tersebut? bagaimana kehadiran perempuan dalam jenjang karir, kesempatan berkiprah di ranah publik di Pakistan? Seperti apa pemberdayaan perempuan di Pakistan? Mari kita lihat!

Masyarakat Muslim Pakistan sangat misoginis

Salah satu masalah yang kerap dialami oleh perempuan di Pakistan “standar baik” yang disematkan. Hal itu terjadi mungkin karena norma-norma yang diberlakukan sesuai dengan syariat Islam. Meskipun demikian, posisi perempuan yang kerap kali menjadi korban dari pengaruh budaya patriarki, tidak jarang mengalami diskriminasi dan ketimpangan.

Baca Juga  G20, MuslimahNews, dan Propaganda Bejat Aktivis Khilafah di Website

Mengapa penulis katakan bahwa Pakistan misoginis? Ada beberapa bukti yang mendukung statement tersebut?

Tentu kita masih ingat kisah Qandeel Baloch yang dibunuh dengan alasan “kehormatan”. Perempuan yang aktif di media sosial. dia dibunuh oleh kakaknya sendiri lantaran mengunggah foto dengan salah seorang ulama.

2017 ada Mahira Khan, aktris perempuan yang dihakimi masyarakat akibat mengenakan gaun pendek dan tertangkap kamera sedang merokok di Jalanan Kota New York. Perempuan-perempuan Pakistan yang memilih jalan hidupnya kerap kali diolok-olok karena telah menyebabkan Islam dan Pakistan tidak terhormat.

Sebenarnya, kejadian semacam itu bukan hal yang baru. Sebab pada beberapa tahun silam, tepatnya tahun 2007, perempuan yang bernama Zill-e-Huma seorang menteri provinsi, dibunuh lantaran pakaiannya dianggap tidak pantas.

Di tahun yang sama, ada Nilofar Bakhtiar yang dipermalukan oleh partainya sendiri karena alasan “standart baik” tersebut. Fatwa tentang keharaman bagi perempuan, standar baik yang harus dimiliki oleh perempuan, mengakibatkan para perempuan yang berdikari, prestasi serta fokus pada bidang tertentu, melepaskan karirnya dan tidak lagi mendapat simpati dari masyarakat.

Pemberdayaan perempuan bagian dari SDGS

Dengan fenomena demikian? bagaimana seharusnya pemberdayaan dilakukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di Pakistan? Seperti yang kita ketahui bahwa, salah satu pilar untuk mewujudkan Substainable Development Goals adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (Women Empowerment).

Baca Juga  Ustaz Basalamah: Umat Islam Dilarang Bersahabat dengan Nonmuslim?

Pemberdayaan perempuan ditentukan oleh empat dimensi, yaitu harga diri perempuan, kontrol mereka atas sumber daya, mobilitas dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Berdasarkan hasil penelitian yang ditulis oleh: Sajid Husainkan dan Syafiq Jullandhry yang berjudul “Are urban women empowered in Pakistan? A study from a metropolitan city” menemukan bahwa sebanyak 49% perempuan tidak memiliki kendali atas pengeluaran tabungan dalam keluarga. 70-85% perempuan tidak memiliki hak kepemilikan atas properti, seperti tanah dan rumah.

Sebanyak 80% dan 55% perempuan memiliki keterbatasan mobilitas dalam lembaga keuangan. Hasil penelitian tersebut dilakukan di Kota Lahore, yakni kota kedua terbesar di Pakistan. Sebanyak 260 orang menjadi objek dalam penelitian tersebut.

Selain itu, dalam relasi internal keluarga, tidak banyak perempuan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan untuk berdaya sesuai dengan keinginan dan minat yang dimiliki. Meskipun demikian, ada perbedaan yang cukup menarik antara perempuan yang sudah menikah dengan yang belum menikah.

Keterlibatan perempuan pasca-menikah, kemudian memiliki anak, sebagian besar dari mereka justru merasa lebih berdaya dibandingkan dengan sebelum menikah. Perempuan Lajang hanya memiliki sedikit peran bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan.

Jika dilihat dari Indeks ketidaksetaraan gender, Pakistan menempati peringkat 136. Artinya, keterlibatan perempuan untuk mengambil peran masih terhalang oleh budaya patriarki, ditambah dengan dogma dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

Baca Juga  Menempatkan Feminisme pada Tempatnya

Berdasarkan data tersebut, pemberdayaan perempuan di Pakistan masih rendah karena faktor terkuatnya adalah budaya patriarki yang masih melekat kuat pada masyarakat Pakistan.

By Redaksi Jalan Hijrah

Jalanhijrah.com adalah platform media edukasi dan informasi keislaman dan keindonesiaan yang berasaskan pada nilai-nilai moderasi dan kontranarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *