Hari ini, dunia akan menyaksikan pelantikan Donald Trump sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, sebuah peristiwa yang membawa dampak jauh melampaui batas politik domestik Amerika. Dengan janji “persatuan dan kekuatan” dalam pidatonya, Trump kembali memimpin negara yang terpolarisasi secara mendalam.
Namun, tantangan yang ia hadapi jauh lebih kompleks dibandingkan periode pertamanya. Dunia berada di tengah transisi multipolaritas, di mana rivalitas kekuatan besar, dinamika ekonomi global, dan ancaman perubahan iklim menuntut kepemimpinan yang cerdas dan kooperatif. Dalam konteks ini, kebijakan Trump yang cenderung proteksionis dan unilateral dapat memperburuk ketegangan global sekaligus mengancam stabilitas tatanan dunia.
Rivalitas antara Amerika Serikat dan China menjadi salah satu isu paling mendesak. Selama periode pertama Trump, perang dagang menjadi tonggak kebijakan luar negeri yang tidak hanya mengguncang ekonomi kedua negara tetapi juga rantai pasok global. Laporan dari Pusat Penelitian Ekonomi Internasional Peterson menunjukkan bahwa tarif Trump terhadap barang-barang China antara 2018 dan 2019 menyebabkan kerugian hingga $316 miliar bagi ekonomi global.
Dengan kembalinya Trump, ketegangan ini diperkirakan meningkat, terutama dengan rencananya untuk menaikkan tarif impor hingga 25 persen. Kebijakan ini membawa implikasi besar bagi negara-negara seperti Indonesia, yang bergantung pada China sebagai mitra dagang terbesar dengan nilai perdagangan mencapai $110 miliar pada 2022. Dalam situasi ini, Indonesia menghadapi dilema: bagaimana menjaga hubungan dengan kedua kekuatan besar tanpa mengorbankan stabilitas ekonominya sendiri.
Persaingan teknologi antara Amerika Serikat dan China semakin memperumit situasi. Trump, yang sebelumnya memblokir Huawei, kini kemungkinan akan memperketat aturan terhadap perusahaan teknologi China lainnya. Dalam laporan Brookings Institution, disebutkan bahwa persaingan dalam pengembangan kecerdasan buatan dan semikonduktor akan menjadi medan tempur utama.
Kebijakan ini tidak hanya berpotensi memperburuk hubungan bilateral, tetapi juga menempatkan negara-negara seperti Indonesia dalam posisi sulit. Di satu sisi, Indonesia memanfaatkan teknologi China untuk mendukung transformasi digitalnya, tetapi di sisi lain, ketergantungan ini dapat menjadi penghalang untuk memperkuat kemitraan strategis dengan Amerika Serikat.
Dalam konteks kawasan Indo-Pasifik, pendekatan Trump kemungkinan besar akan fokus pada memperkuat aliansi Quad bersama Jepang, India, dan Australia untuk menekan pengaruh China. Namun, strategi ini menghadapi tantangan besar karena ketergantungan ekonomi negara-negara Quad terhadap China. Jepang, misalnya, memiliki nilai perdagangan dua arah dengan China sebesar $340 miliar, sementara India menghadapi dilema antara mempertahankan hubungan ekonomi dan keamanan.
Sementara itu, ASEAN, dengan prinsip sentralitasnya, harus semakin waspada terhadap tekanan untuk memilih kubu dalam persaingan ini. Indonesia, sebagai pemimpin de facto ASEAN, memiliki peluang untuk memainkan peran sebagai mediator. Namun, keberhasilan diplomasi ini sangat bergantung pada kemampuan Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan domestik dan kebutuhan regional.
Selain itu, kebijakan energi Trump memberikan tantangan baru bagi dinamika geopolitik. Dengan membatalkan kebijakan energi hijau dan mendeklarasikan keadaan darurat energi nasional, Trump mengirimkan sinyal bahwa Amerika Serikat tidak lagi memprioritaskan kerja sama global untuk memerangi perubahan iklim. Data dari Climate Action Tracker menunjukkan bahwa selama periode pertama Trump, emisi karbon Amerika Serikat meningkat hingga 2,5 persen, sementara Uni Eropa dan China berhasil menurunkannya.
Langkah ini tidak hanya mengancam komitmen global terhadap keberlanjutan lingkungan, tetapi juga memperlemah posisi AS di panggung internasional. Negara-negara seperti Indonesia, yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, akan kehilangan mitra penting dalam pendanaan dan transfer teknologi untuk transisi energi.
Di Timur Tengah, kembalinya Trump membuka kembali babak baru ketegangan geopolitik. Selama masa jabatan pertamanya, Trump memelopori Perjanjian Abraham yang memperkuat hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab. Namun, pendekatan ini sering mengabaikan isu Palestina, yang tetap menjadi inti konflik kawasan. Dengan dukungannya yang tegas kepada Israel, Trump kemungkinan akan memperburuk ketegangan di Timur Tengah.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, harus memantau perkembangan ini dengan cermat, terutama dalam hubungannya dengan komunitas internasional dan posisinya di Organisasi Kerja Sama Islam. Selain itu, kebijakan Trump yang agresif terhadap Iran, termasuk potensi penerapan sanksi baru, dapat menciptakan ketidakstabilan yang meluas di kawasan tersebut. Iran, sebagai salah satu penghasil minyak utama dunia, memiliki pengaruh besar terhadap pasar energi global.
Ketegangan ini berpotensi memicu kenaikan harga minyak yang akan berdampak signifikan pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hubungan Trump dengan NATO juga layak mendapat perhatian khusus. Selama periode pertama, Trump sering mengkritik sekutu-sekutunya di Eropa karena dianggap tidak memenuhi kewajiban anggaran pertahanan.
Jika pendekatan ini berlanjut, solidaritas NATO dapat melemah, terutama dalam konteks perang Rusia-Ukraina yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Rusia, yang terus berusaha memperluas pengaruhnya di Eropa Timur, dapat memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisinya. Bagi Indonesia, dinamika ini relevan karena ketegangan di Eropa akan memiliki implikasi terhadap tatanan global yang lebih luas, termasuk pasar energi dan stabilitas ekonomi.
Pelantikan Trump adalah momen penting dalam sejarah geopolitik modern. Dengan pendekatan kebijakan yang cenderung proteksionis, populis, dan unilateral, Trump tidak hanya menghadapi tantangan domestik tetapi juga ancaman terhadap kredibilitas Amerika Serikat sebagai pemimpin global.
Dunia kini berada di persimpangan sejarah, di mana setiap keputusan yang diambil oleh Washington akan memiliki dampak besar terhadap dinamika internasional. Bagi Indonesia, ini adalah saat kritis untuk memperkuat peran dalam forum-forum multilateral seperti G20 dan ASEAN. Sebagai negara dengan posisi strategis di Indo-Pasifik, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi jembatan antara kekuatan besar, memastikan kawasan tetap stabil, dan mendorong kerja sama yang inklusif. Kembalinya Trump mengingatkan kita bahwa tatanan dunia tidak pernah statis.
Perubahan dalam kepemimpinan Amerika Serikat adalah ujian bagi kemampuan dunia, termasuk Indonesia, untuk mengelola transisi ini dengan bijaksana. Pertanyaannya bukan lagi apakah Trump akan membawa perubahan, tetapi seberapa siap dunia menghadapi perubahan itu. Cetak PDF Virdika Rizky Utama Peneliti PARA Syndicate, Alumni Master Ilmu Politik dari Shanghai Jiao Tong University.
*Artikel ini telah tayang di Arina.Id. Jika ingin baca aslinya, klik tautan ini: https://arina.id/perspektif/ar-VuOQr/kembalinya-trump-dan-ujian-tatanan-dunia