Jauhkan Kami dari Oknum 25 Desember

Jalanhijrah.com – “Kita ini terlahir untuk saling menguatkan jiwa yang berdiri di tanah air bernama Indonesia. Jangan beri ruang benci, jika cinta membuat semua berdamai dgn apa dan siapa saja. Selamat Natal dan Tahun baru 2022. Damailah kita semua, terkasihilah seluruh jiwa demi kemajuan Indonesia.”

Kalimat ucapan di atas dikutip dari akun Twitter resmi bapak Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah.

Ya, kalimat itu adalah kalimat yang tentu berpotensi menarik respon positif hingga negatif netizen se-jagat maya. Kenapa bisa begitu? Tidak lain tidak bukan adalah karena Pak Ganjar muslim, dan hubungan antaragama atau antara kelompok-kelompok yang berbeda agama tidak selalu harmonis dan bersahabat di Indonesia. Hubungan itu kadang-kadang atau sering diwarnai oleh konflik, kebencian, dan permusuhan. Bentuk-bentuk hubungan antaragama, baik harmoni maupun konflik meskipun lebih sering ditimbulkan oleh faktor sosial-politik tidak pernah terlepas dari faktor keagamaan. (Anwar, 1994)

25 Desember dan dangkalnya lisan-lisan orang yang seolah-olah beriman

25 Desember merupakan hari mulia bagi umat Kristen. Pada hari itu umat Kristen merayakan Natal, yaitu hari raya umat Kristiani untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus. Natal dirayakan oleh umat Kristiani secara khidmat dan kebesaran, baik di dalam gereja ataupun di rumah-rumah. (Roham, 2009)

Namun, dari pihak lain, orang yang sering melakukan perbuatan memalukan, atau penyebutan lebih halusnya dalam bahasa Indonesia “oknum”, menjadikan hari itu sebagai momen yang tepat untuk berdebat kusir. Salah satu hal yang seringkali diperdebatkan yaitu tentang boleh atau tidaknya mengucapkan selamat natal bagi penganut agama lain kepada umat beragama Kristen.

Baca Juga  Cara Skakmat Wahabi dan Mematahkan Argumentasi Mereka

Mungkin, penjelasan ini memang perspektif pribadi lewat pengalaman yang juga sangat terbatas tempat dan waktu, tapi saya haqqul yaqin teman-teman di luar sana juga merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan.

Ceritanya seperti ini: Tahun lalu, saya membuat insta-story atau cerita pendek di instagram, berisikan konten ucapan selamat natal. Sontak, setelah beberapa menit cerita pendek itu dilihat oleh teman-teman saya-teman di instagram tentunya. Tiba-tiba, banyak dari mereka yang menyalurkan empati kepada saya, dengan berkomentar begini “kon, kok ngunu, hati-hati loh!”

“Ups, ada apa ini?” ucap saya dalam hati. “Gawat! Jangan sampai saya dihakimi mereka, kita bisa berdebat,” lanjut saya. Usut punya usut, mereka mengkhawatirkan saya. Hal itu karena saya muslim, dan saya sudah mengucapkan ucapan yang menurut mereka sangat bahaya. “Heran, kok iso loh, awakmu ngucapno natal, imanmu bakal hilang loh, ojo asal-asalan ngono” Ujar mereka kepada saya.

Saya pun lebih heran lagi ke mereka, kok bisa hanya dengan ucapan selamat natal keimanan saya akan hilang? Padahal, saya mengucapkan selamat natal tentu bukan sebagai bentuk pengakuan atas keyakinan saya, namun sebagai penghormatan kepada umat Kristiani sebagai saudara sebangsa saya dalam rangka menghargai mereka yang sedang melakukan ritual keagamaan dan tidak mengganggu mereka untuk melaksanakan aktivitas tersebut.

KH Muhammad Cholil Nafis Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI berpendapat bahwa, mengucapkan selamat natal dalam arti mendoakan selamat atas kelahiran Nabi Isa binti Maryam dengan keyakinan Nabi Isa sebagai Nabi bukan Tuhan maka hal itu tidak dilarang karena Nabi Isa sendiri mendoakan atas kelahirannya seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran Surat Maryam ayat 33. (Kastolani, 2021).

Baca Juga  Tugas Ulama: Berdakwah, Bukan Berpolitik!

Memperhatikan pendapat di atas, saya kemudian bertanya, “Iman siapa yang hilang sebenarnya?”

Perbedaan Hadir Secara Alami

Seringkali, konflik di negara ini dipicu oleh perbedaan kehidupan beragama. Bahkan, agama seringkali menjadi alasan kebencian. Padahal, Isalam memaknai hakikat agama itu adalah mengajarkan kebaikan dan kemanusian Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 4. Terlebih, Islam melihat perbedaan sebagai realitas sosiologi dan teologis (Sunnatullah) Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 62.

Oleh karenanya, sangat disayangkan ketika kita masih memperdebatkan perihal perbedaan agama yang ada di sekeliling kita, karena perbedaan hadir secara alami sebagai sunatullah.

Gus Dur menyampaikan bahwa dalam rangka menerapkan sikap toleransi, bukan sekadar dengan cara penghormatan dan pengakuan. Tapi, lebih dari itu, yaitu penerimaan terhadap perbedaan agama dan status sosial. (Suwardiansyah, 2017)

Kenyataan demikian harus diyakini umat Islam sebagai kunci keberlangsungan dalam menjalankan kehidupan beragama yang harmonis. Maka dari itu, marilah kita bersama berdoa agar dijauhkan dari oknum 25 Desember.

By Aunia Ulfah

Mahasiswa Program Pascasarjana PAI UIN Maliki Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *