Jalanhijrah.com – Pada seri sebelumnya, introduksi, telah dijelaskan bahwa manajemen teror ialah sistematisasi radikalitas-ekstrem sebagai upaya menumpas kebiadaban atau, jika tak juga berhasil, paling tidak memorak-perandakan mereka. Negara-negara Arab bekas Turki Utsmani, pasca-Perjanjian Sykes-Picot, marah besar. Namun demikian, Islam sudah terlanjur dianggap kalah. Dan sejak itu, Islam dianggap berada dalam ilusi kekuasaan thaghut—negara adidaya kafir.
Bagian ini, dalam buku Idarah al-Tawahhusy, dibahas Naji sebelum masuk ke bab pertama, dengan judul Wahm al-Quwwah; Markaziyyah al-Quwa al-‘Uzhma bayn al-Quwwah al-‘Askariyyah al-Jabbarah wa al-Halah al-‘I’lamiyyah al-Kadzibah (Ilusi Kekuasaan: Sentralitas Negara Adidaya sebagai Fungsi dari Kekuatan Militer Mereka yang Luar Biasa dan Lingkaran Media yang Menipu). Naji, pada bagian ini, memproyeksikan manajemen teror sebagai perlawanan Islam.
Naji menjelaskan, dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan Rusia, mendominasi tatanan global melalui apa yang ia sebut ‘kekuatan terpusat’, yakni kekuatan militer luar biasa yang membentang dari pusat hingga paling ujung dari negara yang mereka jajah—Negara Islam. Ketundukan, dalam bentuk utamanya yang paling sederhana, kata Naji, berarti bahwa negara yang terdominasi berutang loyalitas terhadap pusat, tunduk pada penilaiannya, dan menggaransi kepentingannya.
Namun, meskipun dua negara adidaya itu punya kekuasaan luar biasa besar, Naji menegaskan bahwa pada kenyataannya, jika dicermati, keduanya tidak dapat memaksakan otoritasnya di atas suatu negara, Mesir dan Yaman, misalnya, kecuali atas kemauan negara itu sendiri. Bahkan rezim lokal yang dua negara adidaya tersebut bentuk, al-wukala’ alias rezim bayangan dunia Islam, tidak dapat mengontrol—tidak cukup kekuatan untuk mendominasinya.
Karena itu, kedua negara adidaya itu menggunakan lingkaran media yang menipu untuk menggambarkan kekuatan-kekuatannya sebagai kekuatan yang non-otoriter dan meliputi dunia. Inilah yang Naji sebut sebagai ilusi kekuasaan, sebagai autokritik bahwa saat ini umat Islam tidak semata-mata terdominasi sistem thaghut, melainkan mereka sendiri yang berinisiatif tunduk—secara sadar dan sukarela—pada sistem tersebut.
Ilusi kekuasaan thaghut menjadi penyakit yang harus umat Islam lawan, dan manajemen teror adalah alternatifnya. Kebebasan, keadilan, dan kesetaraan yang dibingkai oleh, dan untuk, negara adidaya, adalah ilusi belaka untuk memojokkan Negara Islam sebagai tatanan yang otoriter, tidak adil, dan tidak mengakomodasi kesetaraan. Ilusi kekuasaan, kata Naji, telah sukses—Islamofobia semakin tumbuh dan umat Islam kian terpojokkan.
Melawan Thaghut; Militer vis-à-vis Media
Invasi negara-negara adikuasa, AS di sini pion, dalam supremasi militer, tidak hanya menyasar negara Arab, melainkan umat Islam secara umum di seluruh dunia. Kohesi masyarakat Islam, dalam pandangan Naji, terjerembab elemen kemusnahan peradaban (‘awamil al-fana’ al-hadhari), seperti korupsi agama (al-fasad al-‘aqadi), keruntuhan moral, dan kejahatan sosial, di samping tipuan media. Kohensi sosial inilah yang bisa jadi titik tolak perlawanan.
Runtuhnya kohesi masyarakat Islam yang menjadi elemen pembantu supremasi militer dan media tercakup dalam beberapa faktor. Pertama, ateisme versus agama. Kedua, cinta dunia, kesenangan duniawi, dan kemewahan. Ketiga, korupsi moral. Keempat, kejahatan sosial ketika situasi ekonomi melemah karena perang dan menyebabkan krisis moneter. Selain itu ketidakadilan juga melengangkan entitas sosial hingga ke titik yang selemah-lemahnya.
Melawan thaghut adalah cita memusnahkan peradaban setan (hadharah al-syaithan) yang mengontrol dunia melalui kohesi kekuatan mereka. Cita-cita ini didasarkan fakta bahwa kekuatan militer negara adidaya, yang dipersonifikasi kolonialisme, juga kekuatan tipuan media mereka yang dipersonifikasi peristiwa 9/11 dan tuduhan terorisme atas Islam, sangat lemah kecuali jika umat Islam justru terperosok ilusi kekuasaan tersebut.
Dalam prinsip manajemen teror, para jihadis percaya bahwa Allah menunjukkan mereka gagasan ihwal lemahnya musuh dan tidak berartinya kekuatan mereka—tentu saja itu disandarkan kepada ketetapan Allah. Naji membuat orasi imajiner umat yang konsekuen terhadap Islam begini, seolah mereka berkata:
“Wahai kaum! Kekejaman tentara Rusia dua kali lipat kekejaman prajurit AS. Jika jumlah orang AS yang terbunuh adalah sepersepuluh dari jumlah orang Rusia yang terbunuh di Afghanistan dan Chechnya, maka mereka (AS, red.) akan lari terbirit-birit. Itu karena struktur militer AS dan Barat saat ini tidak sama dengan struktur militer mereka di era kolonialisme. Mereka mencapai titik yang membuat mereka tidak dapat mempertahankan pertempuran jangka panjang, lalu mereka mengimbanginya dengan tipuan media. AS harus diberitahu ihwal kesulitan kepatuhan kita secara terus-menerus kepada mereka, kendali mereka atas kita, dan penjarahan mereka atas sumber daya kita. Tetapi, semua itu terjadi jika kita memutuskan untuk menolak, hanya jika kita menolak dan mengobarkan perlawanan terhadap perwujudannya.”
Lalu meledaklah gedung WTC di AS, bukti bahwa manajemen teror telah memainkan perannya. Setelah pertempuran panjang, melalui kolonialisme dan ilusi kekuasaan melalui media, umat Islam—dalam hal ini kaum jihadis—telah berhasil mengakumulasi pengalaman selama lebih dari tiga puluh tahun untuk melakukan operasi khusus yang sistematis (nizham mu’ayyan). Operasi Nairobi, juga teror-teror lainnya, adalah bentuk perlawanan Islam demi tujuan tertentu.
Tujuan Pertama, menghancurkan sebagian besar rasa hormat terhadap AS dan menyebarkan kepercayaan pada jiwa umat Islam, dengan cara:
- Mengungkapkan media yang menipu sebagai kekuatan tanpa kekuatan (lemah, sebagaimana diuraikan sebelumnya, )
- Memaksa AS untuk meninggalkan perangnya melawan Islam, dengan terus-menerus melakukan teror di wilayah terdominasi thaghut, hingga mereka takut; AS harus diberi rasa respek bahwa umat Islam sangat mampu melawan dan memanajemen kekejaman yang sama jika AS terus-terusan berulah dan ikut campur di negara-negara umat Islam.
Tujuan Kedua, membayar korban kemanusiaan akibat gerakan thaghut selama tiga puluh tahun terakhir dengan bantuan kemanusiaan, yang terjadi karena dua alasan:
- Terpesona oleh operasi yang akan dilakukan untuk melawan AS
- Kemarahan atas campur tangan AS yang jelas dan langsung pada dunia Islam, sehingga kemarahan umat Muslim terhadap itu menambah kemarahan sebelumnya, yakni dukungan AS untuk entitas Zionis.
Tujuan Ketiga, mengekspos kelemahan dan ilusi kekuasaan AS dengan mendorongnya untuk meninggalkan perang psikologis media dan perang proksi, atau perang secara langsung. Sehingga mereka akan melihat bahwa jauhnya teritori pusat mereka dari negara jajahan merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap kemungkinan pecahnya kekacauan dan kebiadaban, serta kelemahan para thaghut itu sendiri.
Refleksi Kontekstual
Bagian ini dalam buku Idarah al-Tawahhusy menjadi semacam abstraksi, sebelum strategi manajemen disuguhkan Naji secara sistematis dan komprehensif. Dari pemaparannya, sangat jelas bahwa manajemen teror merupakan personifikasi balas dendam umat Islam yang telah dikoloni selama puluhan tahun oleh thaghut melalui ilusi kekuasaan mereka. AS dianggap telah bertindak kejam dan biadab, maka mereka juga harus membayar atas kebiadaban mereka sendiri.
Autokritik Naji bahwa kebebasan, keadilan, dan kesetaraan yang dipelopori AS dan Barat sebagai thaghut-isasi yang mendapat antusiasme di kalangan umat Islam, tanpa disadari bahwa mereka tengah berada dalam supremasi Barat, sangat menarik sebagai titik tolak terorisme global—dengan asumsi bahwa tatanan thaghut telah merata, dan teror juga harus merata untuk mengatasinya. Indonesia juga tak lepas dari proyek manajemen teror ini.
Dari sini jelas, orang-orang Islam yang selama ini dianggap teroris adalah residu ilusi kekuasaan thaghut dan terorisme merupakan perlawanan umat terhadapnya. Kerangka perlawanan tersebut mengejawantah menjadi manajemen teror; pengelolaan kebiadaban dan kekejaman AS dan Barat untuk kemenangan umat Islam di masa depan. Sistematisasi teror, yang boleh jadi bagi kita menakutkan, bagi pelakunya justru adalah wujud tunggal tingginya komitmen atas Islam.
Jadi, secara kontekstual, dengan demikian, apakah terorisme di Indonesia juga tidak akan menemukan ujung penanggulangannya? Tunggu ulasan kelima bab dalam buku Idarah al-Tawahhusy-Naji ini dalam seri-seri berikutnya.
Bersambung…
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…